Terancam Pidana karena Pertahankan Hutan
2017.12.04
Balikpapan

Tekwan Ajat kini menjadi sosok pendiam. Pemangku adat Dayak Bahau di pedalaman hutan Long Isun Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur ini, kian irit bicara. Padahal sebelumnya ia adalah pria yang lantang.
“Sekarang ini harus hati-hati dalam bertutur, segala sesuatu dipikirkan masak-masak untung ruginya,” katanya saat ditemui BeritaBenar, akhir pekan lalu.
Ia mengaku masih trauma dengan suasana sel tahanan, saat menjadi tersangka dalam kasus perusakan alat berat, milik PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT), perusahaan yang memegang hak pengelolaan hutan di daerahnya. Saat itu ia ditahan selama 107 hari di Polres Kutai Barat.
Meski tak lagi di penjara karena mendapat penangguhan penahanan, Tekwan Ajat hingga kini masih berstatus sebagai tersangka. Bahkan kepolisian setempat akan kembali menyelidiki kasus tersebut.
“Saya ditahan atas tuduhan yang mengada-ada. Saya dianggap melakukan perusakan atas lahan, dilaporkan PT Kemakmuran Berkah Timber. Polisi langsung saja menahan saya usai panggilan pemeriksaan,” katanya.
Konflik antara warga adat Dayak Bahau dengan perusahan Kemakmuran Berkah Timber itu bermula kala perusahan itu membabat hutan seluas 13.150 hektare yang diklaim oleh warga setempat sebagai tanah adat milik suku Dayak Bahau, pada 2014 lalu.
Dipimpin Tekwan Ajat, warga melakukan protes, dan meminta perusahaan menghentikan penebangan hutan. Warga adat juga menyita seluruh peralatan penebangan pohon berupa traktor dan gergaji mesin milik perusahaan.
Pihak perusahaan akhirnya melaporkan aksi protes warga itu ke polisi.
“Meskipun saat itu ada puluhan orang lain warga kampung, namun hanya saya yang menjadi tersangka dan langsung ditahan,” ujarnya.
Lusang Aran, Ketua Adat Long Isun, mengaku kecewa dengan pemerintah Kalimantan Timur yang mengeluarkan izin pembukaan hutan kepada perusahaan di tanah adat mereka. Padahal masyarakat adat telah menjadikan kawasan itu sebagai lahan mata pencarian mereka dengan berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan untuk dijadikan obat.
“Itu mata pencaharian kami sebagai warga tradisional Kalimantan, tempat kami mencari nafkah,” ujarnya.
Diselidiki ulang
Kepolisian Polda Kalimantan Timur mengaku akan kembali menyelidiki kasus perampasan alat produksi KBT oleh warga Adat Long Isun. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kaltim, Komisaris Besar Ade Yaya, mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan gelar perkara.
“Akan ada penyidik dari Polres Kutai Barat dan Direktorat Reserse Umum Polda Kaltim,” tuturnya.
Sementara Direktur Produksi PT KBT, Suherianto, mengaku pihaknya memiliki izin pengelolaan area hutan seluas 1.897,69 hektare, yang dikeluarkan Bupati Mahakam Ulu. Areal itu termasuk berada di Dusun Long Isun dan Naha Aruq.
Pihaknya terpaksa melaporkan Tekwan Ajat ke polisi lantaran tak kooperatif dan tidak menyerahkan kembali kunci traktor dan alat berat yang mereka sita. “Mereka sama sekali tidak membuka komunikasi dengan kami,” katanya saat dihubungi.
Akibat berkonflik dengan warga setempat, PT KBT terpaksa memindahkan operasinya ke daerah lain.
“Kalau dibilang rugi, pastinya kami rugi investasi dan waktu . Namun demikian, kami tetap berupaya menjalin komunikasi dengan tetua adat Long Isun,” ujarnya.
Ibarat gunung es
Konflik antara warga adat dengan perusahaan pemilik HPH ini, menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, hanyalah puncak fenomena gunung es.
Selama ini, Walhi mencatat penguasaan korporasi atas hutan Kaltim mencapai 5,9 juta hektare atau 71 persen dari total keseluruhan luasan cakupan seluas 8,3 juta hektare.
“Mayoritasnya sudah dikuasai perusahaan korporasi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Dominasi korporasi ini pula yang membuat aparatur negara cenderung menjadi alat perusahaan, dengan mengabaikan kepentingan masyarakat. Kasus Tekwan Ajat hanya segelintir kecil contoh kriminalisasi perusahaan terhadap warga yang berupaya melawan.
“Keberpihakan aparat negara sudah jelas di sini, Tekwan Ajat bertahun tahun tersandera menjadi tersangka hingga kini. Kasus ini terkesan dipaksakan kepolisian untuk menakut-nakuti warga setempat,” tegasnya.
Walhi sedang mengupayakan permintaan penghentian penyidikan kasus Tekwan Ajat kepada Polda Kaltim. Penggiat lingkungan ini menuntut agar Polisi secepatnya menerbitkan surat perintah dihentikannya penyidikan (SPDP) kasus Tekwan Ajat. Apalagi kasus tersebut telah berlarut-larut selama tiga tahun.
“Polda Kaltim berjanji mengkaji kembali proses penyidikan kasus ini,” ujarnya.