Hidup Dalam Stigma, Ibu Rumah Tangga Pengidap HIV
2016.12.08
Denpasar

Ni Putu Harnum, begitu perempuan 38 tahun itu minta dipanggil, merasa sudah diambang ajal pada Oktober 2012. Saat itu, Harnum baru selesai tes HIV, virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, AIDS.
Kesehatan ibu satu anak itu menurun drastis tiga bulan sebelumnya, ditandai berat badannya yang turun sampai 10 kg. Ia juga menderita batuk berkepanjangan, susah tidur, demam, diare, mual, dan lemas.
“Rambutku rontok semua sampai aku cepak,” kisahnya, saat ditemui BeritaBenar, Selasa, 6 Desember 2016.
Harnum memberanikan diri tes HIV karena mantan pacarnya telah meninggal setahun sebelumnya. Hasilnya positif. Setelah sempat patah semangat, perempuan kelahiran Badung, Bali, berusaha bangkit.
Sejak Januari 2013, ia mulai minum obat anti-retroviral (ARV) guna mengembalikan sistem kekebalan tubuhnya (CD4). Dari semula tinggal 29, kini CD4 Harnum sudah sampai 404 yang masuk kategori normal.
CD4 merupakan indikator tingkat kekebalan tubuh seseorang. Makin sedikit berarti makin lemah. Tingkat CD4 orang sehat berkisar antara 400 hingga 600.
Selain minum ARV, Harnum juga memeriksakan darah enam bulan sekali termasuk fungsi hati, ginjal, dan kolesterol dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dia juga sesekali melakukan rontgen untuk cek dada.
“Syukurlah tidak ada batuk sama sekali,” tambahnya.
Tinggal di Denpasar, pusat ekonomi dan pemerintahan Bali, membuat Harnum lebih beruntung. Ia mudah mengakses layanan kesehatan di rumah sakit swasta maupun daerah yang memberi layanan bagi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA).
Nasib berbeda dialami Ni Putu Kesiut, ibu rumah tangga (IRT) lain yang tertular HIV dari suaminya. Sebagai ODHA yang tinggal di pedesaan Kabupaten Tabanan, ia tidak hanya menghadapi stigma dan diskriminasi tapi juga susah akses layanan kesehatan.
Sebulan sekali, Kesiut harus menempuh 5 km jalan rusak di kampungnya ke Klinik Pelangi di Rumah Sakit Tabanan yang berjarak sekitar 10 km dari rumahnya.
Suaminya telah meninggal dunia enam tahun lalu karena HIV yang menularkan pada Kesiut dan anak semata wayangnya.
Terus bertambah
Harnum dan Kesiut hanya dua dari 3.367 perempuan Bali yang positif HIV menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali per Oktober 2015.
Jumlah itu menempatkan perempuan yang mengalami penularan dari hubungan seksual di urutan teratas. Ini lebih besar dari penularan di kalangan laki-laki heteroseksual sebanyak 2.919 kasus, atau di kalangan kaum homoseksual dan lesbian sebanyak 1.349 kasus.
Terus bertambahnya kasus penularan HIV kalangan IRT menjadi fenomena baru dalam penanggulangan AIDS di Bali.
“Tiga tahun terakhir memang banyak ibu-ibu yang berobat ke rumah sakit,” kata Ni Ketut Rediten, pendamping ODHA di Klinik Nusa Indah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar.
Menurutnya, sekitar 2.000 ODHA berobat di klinik tersebut. Pendampingan yang diberikan mulai dari pengurusan saat berobat hingga penguatan psikologis.
Mangku Karmaya, Koordinator KPA Provinsi Bali, mengatakan tingginya penularan HIV pada IRT terjadi karena lima hal. Pertama, kurangnya pengetahuan tentang HIV. Kedua, infeksi menular seksual pada perempuan sering tanpa gejala.
Ketiga, adanya mitos laki-laki yang suka berganti pasangan dianggap jagoan. Keempat, masih adanya ketidakadilan gender.
“Perempuan selalu terpinggirkan dan tidak punya posisi tawar dalam negosiasi seksual dengan suaminya. Bahkan pekerja seks komersial dan pelanggannya,” kata Mangku, yang juga seorang dokter.
“Terakhir, anatomi vagina dengan selaput lendir tipis memang rentan menyisakan luka kecil saat berhubungan seks yang dapat berlaku sebagai pintu gerbang HIV,” tambahnya.
Menurut data KPA Nasional, Bali merupakan daerah dengan prevalensi kasus HIV-AIDS tertinggi ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat.
Hingga Oktober 2016, menurut data KPA Provinsi Bali, terdapat 15.200 kasus HIV-AIDS di Bali.
Stigma ganda
Menjadi perempuan positif HIV, mereka harus menghadapi stigma ganda.
Kesiut, sudah menjanda setelah suaminya meninggal. Padahal, sebagai perempuan Bali, dia sudah pamit secara adat dari keluarganya ketika menikah. Di sisi lain, kini dia merasa ditolak keluarga almarhum suaminya karena status tersebut.
Dia juga menghadapi tatapan miring dari para tetangga, termasuk kepada anaknya.
“Anak saya pernah menangis tidak mau sekolah karena tak ada yang mau berteman,” kata Kesiut.
Harnum pun mengalami stigma dengan cerita berbeda. Dalam sebuah acara ketika dia melakukan testimoni, Harnum mendapat cibiran sebagai perempuan murahan karena berhubungan seks tanpa kondom sebelum menikah.
“Aku jawab saja ke bapak itu agar menjaga anaknya,” ujarnya.
Keduanya mengaku tidak mudah membuka statusnya kepada orang lain.
Harnum yang segera menikah lagi akhir Desember nanti mengatakan sudah membatasi diri untuk melakukan testimoni, sesuatu yang dulu sering dia lakukan.
Dia tak mau statusnya sebagai ODHA menjadi beban bagi calon suami dan keluarganya.
Adapun Kesiut lebih sering mengikuti pertemuan sesama kelompok dukungan sebaya di Tabanan, untuk saling mendukung sesama ODHA dan dalam layanan kesehatan.