Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus 5,32 Persen, Terendah Dalam 20 Tahun Karena COVID-19

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan Pilkada serentak 2020 bisa menggerakkan kembali ekonomi pada akhir tahun.
Ronna Nirmala
2020.08.05
Jakarta
200805_ID-economy_1000.JPG Crane terlihat di Tanjung Priok di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19) di Jakarta, 3 Agustus, 2020.
(Reuters)

Perekonomian Indonesia sepanjang triwulan kedua terkontraksi 5,32 persen karena penurunan konsumsi rumah tangga hingga belanja pemerintah akibat pembatasan aktivitas selama wabah COVID-19, demikian kata Badan Pusat Statistik (BPS) Rabu.

Pertumbuhan minus ini merupakan yang pertama sejak tahun 1999, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia dengan ambruknya sistem perbankan.

“Kalau kita melacak kembali pertumbuhan ekonomi secara triwulan, ini adalah terendah sejak triwulan I tahun 1999 yang mengalami kontraksi sebesar 6,13 persen,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, dalam telekonferensi.

Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi 57,85 persen dari produk domestik bruto (PDB) jatuh 5,5 persen, sementara investasi yang menyumbang 30,61 persen dari PDB juga minus 8,61 persen, sebut data BPS.

Konsumsi pemerintah dengan porsi 8,76 persen dari PDB ikut turun hingga 6,9 persen.

“Ke depan, karena ekonomi kita dipengaruhi konsumsi dan investasi, kita harus cari cara agar dua komponen ini bergerak lagi di triwulan III-2020," kata Kecuk.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kinerja ekonomi Indonesia turut dipengaruhi oleh jatuhnya perekonomian Cina pada triwulan I dan II tahun 2020.

Merujuk data BPS, Cina merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia dengan porsi mencapai 20,82 persen, disusul Amerika Serikat dengan 11,42 persen. Sementara, pada triwulan I/2020, kinerja ekspor Indonesia ke Cina turun hingga 6,8 persen.

“Tentu kita berharap ada efek perbaikan perekonomian baik itu dari Cina maupun negara lain,” kata Airlangga dalam telekonferensi terpisah.

Di sisi lain, Airlangga optimistis ekonomi akan membaik pada triwulan III dan IV karena penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang didorong peningkatan belanja untuk kontes politik yang bakal digelar pada 9 Desember di sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota tersebut.

“Dana yang beredar untuk Pemilukada sekitar Rp24 triliun, dan mungkin dana dikeluarkan para calon bupati, wali kota, gubernur itu bisa minimal Rp10 triliun sendiri,” sambungnya.

Sementara itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Rabu menekankan penerapan protokol kesehatan yang ketat di dalam pelaksanaan seluruh tahapan Pilkada serentak 2020 untuk menghindari kemunculan klaster baru penularan COVID-19.

“Yang paling penting adalah tetap aman COVID-19. Sehingga ada dua hal yang menjadi tekanan, bahwa Pilkada 2020 harus berkualitas dan juga aman COVID-19,” kata Jokowi saat membuka rapat di Istana Negara, Jakarta, Rabu.

Belum resesi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia belum memasuki masa resesi akibat penurunan kinerja ekonomi hingga mencapai level minus pada triwulan kedua ini.

“Sebetulnya kalau dilihat dari yoy (year-on-year) belum. Karena ini baru pertama kali kontraksi. Resesi bisa terjadi jika yoy untuk dua kuartal berturut-turut berkontraksi,” kata Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan pemerintah menargetkan adanya perbaikan ekonomi pada triwulan III dan IV dengan meningkatkan daya beli masyarakat melalui optimalisasi alokasi insentif dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk usaha kecil dan menengah, korporasi, dunia usaha, dan daerah.

“Sehingga pada akhir 2020 diharapkan (pertumbuhan ekonomi) bisa tetap terjaga di zona positif, 0 sampai 1 persen,” katanya.

Peneliti Institute for Development of Economics (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai jatuhnya kinerja ekonomi Indonesia terjadi karena pemerintah tidak melakukan langkah-langkah yang responsif dalam menangani pandemi virus corona.

Hal tersebut bisa dilihat dari jatuhnya belanja pemerintah pada periode ini dibandingkan periode sebelumnya, kata Bhima.

“Kuartal II ini cukup aneh ya, masa pertumbuhan belanja pemerintah bisa lebih rendah dari pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” kata Bhima, merujuk pada data BPS yang menyebut konsumsi pemerintah pada periode ini yang minus 6,9 persen.

“Hal ini menunjukkan bagaimana belanja pemerintah itu ditahan, bukan kemudian dicairkan. Jadi ini jangan kaget kalau resesi terjadi di kuartal III,” tambahnya.

Kementerian Keuangan menyebutkan, hingga akhir Juli 2020, realisasi anggaran untuk penanganan COVID-19 melalui program PEN baru mencapai 19 persen atau sekitar Rp136 triliun dari total yang dianggarkan sebesar Rp695 triliun.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi kinerja ekonomi masih akan mengalami kontraksi pada akhir tahun nanti, namun dia meminta publik untuk tidak panik.

“Negara-negara yang bergantung kepada ekspor lebih rentan mengalami double hit, sehingga kontraksi ekonomi akan jauh lebih dalam," kata Piter kepada BenarNews.

“Namun semua negara rentan mengalami ini, jadi masyarakat tidak perlu panik. Resesi sudah menjadi sebuah kenormalan baru di tengah wabah,” ujarnya.

Klaster Secapa AD

Gugus Tugas COVID-19 pada Rabu melaporkan, kasus terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah 1.815, sehingga total keseluruhan menjadi 116.871.

Sementara, kematian bertambah 64 kasus menjadi 5.452 dengan total kesembuhan sebanyak 73.889 atau bertambah 1.839 dalam 24 jam terakhir.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa mengumumkan sebanyak 86 persen dari klaster  Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat (Secapa) AD Bandung, Jawa Barat, sudah dinyatakan sembuh.

“Jadi dari total 1.308 pasien positif COVID-19 di Secapa AD, pada pagi ini sudah berkurang 1.136 orang atau 86,8 persen sudah menjadi negatif,” kata Andika dalam keterangan persnya.

Jumlah kasus terkonfirmasi positif yang ditemukan di Secapa AD ini sempat membuat penambahan angka infeksi COVID-19 melonjak drastis hingga 2.657 orang dalam satu hari.

“Juga pada Rabu, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.

Pada salah satu poin Inpres disebutkan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan berupa teguran lisan dan tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian sementara penyelenggaraan usaha. Namun tidak dijelaskan lebih detail terkait berapa nilai denda maupun jenis kerja sosial dalam sanksi tersebut.

Protokol kesehatan yang harus dipatuhi meliputi penggunaan masker yang menutup hidung hingga dagu, mencuci tangan, pembatasan jarak antarorang, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sanksi berlaku bagi perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum.

“Ketentuan ini juga berlaku di area publik yang dapat menimbulkan kerumunan massa, tempat dan fasilitas umum dalam protokol kesehatan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” sebut Inpres tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.