DPR sahkan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura, buru koruptor serta asetnya
2022.12.15
Jakarta

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia pada Kamis mengesahkan undang-undang perjanjian ekstradisi dengan Singapura yang diharapkan oleh para pegiat hukum dapat membantu pemerintah memburu dan mengadili buronan koruptor yang lari ke negara-kota tersebut.
Berbicara setelah persetujuan DPR, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Yasonna Laoly mengatakan bahwa undang-undang tersebut akan memberikan kepastian hukum bagi kedua negara dalam proses ekstradisi buronan.
"Singapura kerap menjadi tujuan akhir atau tujuan transit pelaku kejahatan. Adanya kerja sama ekstradisi dengan Singapura akan memudahkan aparat penegakan hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura," ujar Menteri Yasonna dalam rapat paripurna di gedung DPR di Jakarta, Kamis (14/12).
Menurut perjanjian ekstradisi tersebut, warga yang telah melakukan 31 jenis kejahatan – di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme – akan dapat diekstradisi dan berlaku bagi pelanggaran yang dilakukan hingga 18 tahun yang lalu, kata Indonesia.
Sebelum diratifikasi DPR, perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsion Loong pada Januari 2022 lalu. Kesepakatan tersebut juga menyatakan bahwa orang tidak akan dapat melarikan diri dari pengadilan meski telah mengubah kewarganegaraan mereka.
Menurut Menteri Yasonna, tidak adanya perjanjian ekstradisi tersebut telah menjadi masalah sensitif bagi Indonesia yang kesulitan memburu beberapa buronan yang dituduh menggelapkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pasca krisis ekonomi Asia pada 1997-1998.
Menteri Senior Singapura Teo Chee Hean mengatakan pada Februari lalu dirinya berharap undang-undang baru itu akan membantu upaya Indonesia “untuk mencegah tersangka kriminal melarikan diri ke luar negeri dan agar mereka bisa ditangkap di Indonesia”.
Indonesia telah membentuk Satuan Tugas BLBI pada 6 April 2021 untuk mengejar dana talangan Rp110,4 triliun yang diberikan kepada pemilik bank dan kreditor setelah krisis keuangan yang belum dilunasi.
Indonesia telah lama berusaha mengesahkan undang-undang tersebut. Pada tahun 2007, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong melakukan penandatanganan perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerja sama pertahanan, namun tidak pernah diratifikasi oleh DPR.
Sebelum pengesahan perjanjian tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh menyampaikan laporan tentang pembahasan dan penyusunan RUU perjanjian ekstradisi tersebut, dan memandang penting agar rancangan aturan tersebut segera disahkan menjadi Undang-Undang.
"Khususnya dalam mendukung efektivitas sistem penegakan hukum dan peradilan pidana," ujar Pangeran.
“Terkhusus dengan Singapura, RUU ini nantinya berguna untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara yang bersifat saling menghormati dan saling menguntungkan,” ucap Pangeran.
KPK kejar koruptor dan aset korupsi
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengungkapkan setidaknya masih ada lima orang buronan pemerintah Indonesia dari 2017 hingga sekarang, yaitucKirana kotama (2017), Izil Azhar (2018), Harun Masiku (2020), Paulus Tanos (2021), dan Ricky Ham Pagawak (2022).
“Keberadaan para DPO (daftar pencarian orang) belum diketahui apakah di Singapura atau negara lain, namun terus kami cari,” kepada BenarNews.
Ali mengatakan KPK tidak hanya mengejar para koruptor, tapi juga aset-aset hasil korupsi mereka. Karena penyelesaian perkara KPK selalu mengejar aset hasil korupsinya sekalipun para tersangka tersebut buron.
“Efek jera tidak hanya pemidanaan badan, namun perampasan aset menjadi penting untuk juga dibebankan kepada para koruptor,” kata Ali.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mengatakan pengesahan perjanjian ekstradisi ini harus dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memburu para penjahat kerah putih.
“Prioritas yang berkaitan dengan kejahatan kerah putih. Data siapa saja. Lalu minta kepada Singapura. Kalau Singapura tidak menyerahkan, maka perjanjian ekstradisi hanya pemanis saja agar Singapura mendapatkan tempat latihan militer melalui Perjanjian DCA (Defence Cooperation Agreement),” ujar Hikmahanto kepada BenarNews.
Perjanjian ekstradisi tersebut merupakan salah satu dari paket kesepakatan yang ditandatangani kedua pemimpin negara tersebut pada 25 Januari lalu di Pulau Bintan, yang mencakup pengelolaan wilayah udara, ekstradisi, dan kerja sama pertahanan.