Radio Komunitas Asia - Pasifik Sepakat Menjadi Pembawa Pesan Perdamaian
2018.11.19
Yogyakarta

Asosiasi Radio Komunitas Asia - Pasifik (AMARC) sepakat untuk menjadi pembawa pesan perdamaian dan tak memberikan toleransi sedikitpun bagi tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Yogyakarta yang dihasilkan konferensi AMARC keempat di Yogyakarta yang berakhir, Senin, 19 November 2018.
Dalam Deklarasi Yogyakarta antara lain disebutkan AMARC berkomitmen untuk bekerja sama dengan komunitas lokal dalam segala hal untuk merekam dan menjaga kearifan lokal.
Selain itu, juga menegaskan kembali komitmen AMARC mendukung pembentukan radio komunitas di wilayah-wilayah konflik untuk menjadi sarana perdamaian dan rekonsiliasi serta menyerukan pemerintah untuk memastikan perlindungan bagi orang terdampak.
Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Sinam M Sutarno, pilihan radio komunitas untuk corong perdamaian sangat tepat karena menyesuaikan dengan kondisi saat ini ketika banyak intoleransi beragama yang menyulut konflik di masyarakat.
“Tantangan kita saat ini politik identitas berbasis agama, tentu harus diimbangi dengan tafsir moderat. Kita memilih menggunakan pendekatan budaya lokal yang humanis yang nantinya mengingatkan dan mengajak supaya bisa menerima perbedaan,” kata Sinam, yang terpilih jadi Vice President AMARC Asia Tenggara.
Kontra narasi
Rofarhan, seorang aktivis radio komunitas pesantren dan peserta konferensi AMARC, mengatakan bawa akhir-akhir ini dia merasa terganggu dengan adanya radio komunitas yang menyiarkan dakwah dengan konten intoleran.
Hal seperti itu jika dibiarkan, menurutnya, akan menjurus ke arah radikalisme.
Selama ini, dia dan aktivis radio pesantren mencoba mengatasi dengan kontra naratif yaitu menyiarkan dakwah toleran sehingga harapannya bisa memupus pengaruh dari dakwah intoleran yang terlanjur tersiar.
“Tetapi di situ letak kesulitannya. Ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang basisnya agama, itu sangat sensitif sehingga kami harus berhati-hati jangan sampai memunculkan konflik baru,” ujarnya.
Rofarhan menyadari bahwa saat ini di Indonesia cukup sensitif terhadap isu radikalisme dan intoleransi.
“Sedikit saja masalah itu muncul, maka akan dibawa ke ranah agama,” ujarnya.
Bekas Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta yang juga Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme, Abdul Muhaimin, menyayangkan ada radio komunitas dikuasai jaringan tertentu.
“Proses pendewasaan, proses pencerahan lewat radio komunitas kurang begitu efektif karena saya rasa sudah ada misi-misi yang dibangun oleh radio komunitas,” katanya.
Tidak hanya di Indonesia
Informasi yang menyebarkan intoleransi, radikalisme, ekstrimisme memang tak hanya terjadi di Indonesia, sehingga masalah tersebut menjadi salah satu bahasan dalam konferensi AMARC.
Koordinator Media Darurat dan Komunikasi untuk PECOJON, sebuah jaringan jurnalisme konflik dan damai di Filipina, Charlie Saceda, mengungkapkan betapa media di negaranya cukup direpotkan dengan berbagai berita palsu tentang sesuatu yang radikal di media sosial.
Menurutnya, berita palsu begitu mudah dipercaya di era digital saat ini karena semakin menipisnya kontak atau hubungan personal secara langsung antara sesama manusia.
Charlie mencontohkan tentang informasi yang disebarkan akun Facebook di Filipina yang postingannya hanya bisa dibaca oleh aggota grup saja.
Akun-akun itu, menurutnya, menyebarkan postingan yang tidak jarang bersifat radikal dan intoleran, tetapi orang hanya bisa melihat postingan itu tanpa bisa meng-klik-nya untuk membaca lebih jelas dan memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Di Filipina, kami ada Facebook yang itu gratis tapi ada postingan yang hanya bisa dilihat secara terbatas sehingga ketika ada berita palsu kau tidak bisa memverifikasinya karena kau harus membayar untuk bisa membuka linknya,” ujarnya.
Meski tidak bisa dibaca secara utuh dan lengkap, tambahnya, postingan-postingan yang sangat provokatif mampu memunculkan reaksi dari orang yang melihat postingan itu.
Charlie berasumsi bahwa mereka bereaksi dan melakukan kekerasan tanpa benar-benar mengerti dan menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam kasus seperti itu, menurutnya, radio komunitas perlu memiliki daya jangkau yang lebih luas dengan cara memahami apa yang ingin didengar masyarakat, apa yang mereka sukai dan apa yang mereka inginkan untuk dibahas.
“Ketika radio komunitasmu sangat kuat, itu bisa menjangkau komunitas lain. Radio komunitas bisa menangkal dengan mengingatkan masyarakat untuk tidak terpancing berita palsu begitu saja, tetapi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” tuturnya.
Isu baru
Budi Hermanto, seorang pegiat di Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) melihat bahwa isu radikalisme baru mulai dibicarakan radio komunitas akhir-akhir ini karena sebelumnya radio komunitas lebih sering membicarakan mengenai intoleransi.
“Sebelumnya, radio komunitas lebih sering membicarakan atau mengampanyekan soal toleransi, bukan radikalismenya,” katanya.
Budi meyakini, sejauh ini radio komunitas yang masuk jaringan JRKI masih terhindar dari siaran-siaran yang mengarah pada ajakan intoleransi ataupun radikal.
“Tapi ada radio komunitas yang tidak berjaringan dengan JRKI yang siarkan dakwah intoleran,” pungkasnya.