Kemnaker: Indonesia dan Malaysia Sepakati Perjanjian Penempatan Pekerja Domestik

Malaysia mengatakan akan menerima 10.000 tenaga kerja Indonesia bulan depan usai penandatangan nota kesepahaman.
Arie Firdaus
2022.01.24
Jakarta
Kemnaker: Indonesia dan Malaysia Sepakati Perjanjian Penempatan Pekerja Domestik Seorang pekerja rumah tangga asal Indonesia membersihkan rumah majikannya di Kuala Lumpur 26 Juni 2009.
[Reuters]

Pemerintah Indonesia pada Senin (24/1) menyatakan bahwa Malaysia telah menyetujui seluruh draf nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) penempatan pekerja domestik Indonesia, menyusul rangkaian kecelakaan kapal yang diduga hendak membawa tenaga kerja ilegal tenggelam di perairan Malaysia.

Sementara itu Malaysia menyatakan akan menerima 5.000-10.000 tenaga kerja Indonesia pada fase awal yang dilabeli sebagai masa perintisan bulan depan.

Persetujuan terhadap seluruh draft MoU dicapai setelah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bertemu Menteri Ketenagakerjaan Malaysia, Murugan Saranavan, di Jakarta pada Senin.

"Pemerintah Malaysia telah menyetujui seluruh draf MoU penempatan pekerja domestik dari Indonesia dan dalam waktu dekat akan segera dilakukan penandatanganan," ujar Ida dalam keterangan tertulis.

Penekenan MoU direncanakan digelar dalam waktu dekat, kata Ida.

Kementerian Ketenagakerjaan Malaysia dalam keterangan tertulis pada Minggu (23/1) menyatakan bahwa MoU bakal diteken pada 7-8 Februari 2022 di Bali.

Ida tidak memerinci keseluruhan poin MoU yang disepakati kedua negara, selain skema One Channel System yang merupakan satu-satunya kanal untuk merekrut dan mempekerjakan pekerja migran Indonesia (PMI) pada rumah tangga.

Skema tersebut adalah peleburan aplikasi online SIAPkerja milik Indonesia dan Foreign Workers Centralized Management System milik Malaysia dan diyakini Ida dapat memudahkan pengawasan dan menekan bea perekrutan serta penempatan PMI.

Ia pun menyebut bahwa MoU yang akan ditandatangani nanti akan mampu memberikan perlindungan memadai dan mengurangi risiko buruk bagi pekerja domestik Indonesia di Malaysia karena memuat tentang penegakan hukum terhadap majikan atau agen yang kedapatan melanggar perjanjian kerja.

MoU tersebut mencakup klausul tentang hukuman bagi majikan dan agen perekrutan, yang melanggar kontrak kerja migran, dan akan menghentikan skema perekrutan daring dan mencegah konversi ilegal visa kunjungan menjadi visa kerja, tambahnya.

"Sistem satu kanal itu akan menekan secara signifikan jumlah PMI yang masuk ke Malaysia secara tidak prosedural," lanjut Ida.

Pemerintah kedua negara hingga kini memang masih kesulitan membendung laju pekerja migran ilegal yang kini diperkirakan berjumlah 3 juta orang.

Mereka kerap memasuki Malaysia menggunakan kapal yang tak jarang berujung kecelakaan di lautan. Kasus terbaru terjadi pada 18 Januari, kala enam orang warga negara Indonesia yang diduga hendak bekerja di Malaysia, tenggelam di perairan Malaysia.

Adapun jumlah pekerja migran Indonesia legal, menurut data kementerian, dilaporkan sebanyak 800 ribu hingga 1 juta orang.

Selain itu, pekerja domestik asal Indonesia di Malaysia kerapnya diperlakuan buruk, mulai dari jam kerja yang tinggi, pelecehan seksual hingga kekerasan yang berujung kematian.

Dalam kejadian terbaru, tenaga kerja wanita asal NTT, Adelina Sau, meninggal di Malaysia pada 11 Februari 2018 setelah mengalami penyiksaan berat oleh majikannya.
Menteri Saravanan, dalam kesempatan sama, berharap MoU yang tengah dibahas dapat segera diteken otoritas kedua negara.

"Pemerintah Malaysia berharap percepatan penyelesaian MoU untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional Malaysia," kata Saravanan dalam pernyataan tertulis.

Baik Ida maupun Saranavan tidak memerinci jumlah PMI yang akan diberangkatkan usai MoU ditandatangani.

Dalam keterangan tertulis yang dirilis Minggu, Kementerian Ketenagakerjaan Malaysia mengumumkan bahwa pengiriman tenaga kerja Indonesia akan dimulai sepekan usai penandatangan nota kesepahaman tersebut, dengan total pekerja yang diberangkatkan bisa mencapai 10.000 orang.

Jumlah tersebut merupakan permulaan dari total 32.000 pekerja asing, sebagaimana diputus Mesyuarat Jemaah Menteri pada 7 April 2021.

"Proyek rintis ini amat penting dan signifikan untuk melihat pelaksanaan MoU dan seterusnya memperbaiki kelemahan yang timbul," demikian termaktub dalam keterangan tersebut.

CNN Indonesia melaporkan Saranavan beberapa waktu lalu mengatakan bahwa TKI yang diterima akan ditempatkan pada sektor konstruksi, manufaktur, dan pekerja domestik.

Khusus untuk sektor domestik, Saravanan mengatakan bahwa kementeriannya akan membentuk komite khusus yang mengatur tentang perlindungan nasib pegawai pekerja domestik Indonesia (PDI).

"Kami setuju melindungi pekerja Indonesia dengan membentuk komite demi memenuhi janji kami," ujar Saravanan kala itu, seperti dikutip CNN Indonesia.

Ditambahkan Saravanan, Indonesia meminta Malaysia menetapkan upah minimum bagi TKI sebesar RM1.500 per bulan atawa Rp5,1 juta. Namun Saravanan menilai hal tersebut masih sulit diwujdukan lantaran Malaysia masih menetapkan gaji minimum sebesar RM1.200 per bulan atau sekitar Rp4,1 juta.

"Kami telah menginformasikan ke mereka (Indonesia) bahwa kami tidak akan menetapkan gaji RM1.500," ujar Saravanan di laman tersebut.

Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) Suhartono, saat dihubungi, belum memastikan jumlah TKI yang akan diberangkatkan dan penempatan kerja dan besaran gaji yang disepakati.

"Setelah ditandatangani, baru bicara soal penempatan pekerja migran kita di sana," ujarnya.

Malaysia baru-baru ini meneken MoU dengan Pemerintah Bangladesh tentang rekrutmen tenaga kerja, setelah pembahasan MoU dengan Indonesia berlarut-larut dalam beberapa tahun terakhir.

MoU pemberangkatan TKI sendiri berakhir pada 2017.

Dikutip dari Tempo, Direktur Migrant Care Malaysia Alex Ong menilai kesepakatan Malaysia dan Bangladesh tak ubahnya upaya meningkatkan posisi tawar kepada Indonesia.

"Itu hanya wayang untuk menekan Indonesia karena banyak isu terkait pekerja Bangladesh. Sabah menolak total, Sarawak juga tidak mau karena mereka bukan pekerja migran, tapi ingin menjadi imigran," ujar Ong.

Terkait rencana penandatanganan MoU PMI dalam waktu dekat, peneliti Migrant Care Indonesia Anis Hidayah mengkritisi langkah Menteri Ida yang tidak pernah melibatkan akademisi dan pegiat perlindungan PMI saat pembahasan poin-poin kesepahaman dengan Malaysia.

Maka, ia pun pesimis MoU yang diteken dapat melindungi pekerja Indonesia di Malaysia.

"Semoga titik lemah yang ada selama ini tidak diulangi dan mampu menjami hak dasar pekerja kita," kata Anis kepada BenarNews.

Selama ini, terang Anis, perlindungan hak-hak dasar PMI merupakan masalah mendasar di Malaysia, seperti seperti jam kerja yang tidak pasti, tidak ada libur, gaji yang rendah, dan mekanisme perlindungan jika terjadi wanprestasi.

"Berkaca dari kasus yang ada selama ini, jika ada perselisihan, berat bagi pekerja migran kita," pungkasnya.

"Join Task Force yang kemarin disepakati untuk mengurusi wanprestasi juga akhirnya kan tidak berjalan."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.