Dikeluarkan Karena Demo Pro-Papua, Mahasiswa Ternate Tuntut Ganti Rugi Dari Kampus
2020.08.06
Jakarta

Seorang mahasiswa yang dikeluarkan sepihak oleh Universitas Khairun, Ternate, karena terlibat demonstrasi pro-Papua pada akhir tahun lalu, meminta penggantian kerugian materi dari rektor apabila gugatannya terhadap kampus ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, Maluku.
Arbi M Nur (26), bersama tiga rekannya--Ikra Alkatiri (21), Fahyudi Kabir (25), dan Fahrul Abdullah Bone (24), pada bulan April mendaftarkan gugatan melawan rektor Universitas Khairun, Husen Alting, meminta pencabutan surat keputusan penghentian studi tertanggal 12 Desember 2019 kepada empat pelajar tersebut.
Surat keputusan yang dikeluarkan pihak kampus itu menyebut keempatnya telah mencemarkan nama baik universitas, melanggar etika sebagai mahasiswa dan mengancam keamanan nasional sebagai dalih pemecatan.
“Kami tetap berharap menang. Semisal kalah, kami menuntut rektor mengembalikan apa-apa yang sudah kami keluarkan selama kuliah,” kata Arbi, kepada BenarNews, Kamis (6/8).
“Kalau memulihkan nama baik, agak sulit dilakukan kampus,” lanjutnya.
Arbi dan ketiga temannya telah berupaya mengajukan negosiasi dengan pihak kampus baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum, namun tidak pernah mendapat respons dari rektor. “Jadi tidak ada pernah ada mediasi, negosiasi. Sama sekali tidak ada komunikasi,” kata mahasiswa semester akhir jurusan kimia ini.
Dalam gugatan tersebut, Arbi turut mempertanyakan proses pengambilan keputusan pemecatan studi yang menurutnya tidak melalui prosedur yang sistematis.
“Semua informasi tentang (keterlibatan) kami didapat Wakil Rektor III dari media sosial yang kemudian didiskusikan dengan Rektor. Hasil obrolan itu direkomendasikan jadi keputusan DO (drop out) ke Senat,” katanya.
BenarNews telah mencoba menghubungi Wakil Rektor III Universitas Khairun, Syawal Abdul Ajid, namun tak mendapatkan respons.
Sidang pertama gugatan Arbi dan tiga temannya telah dimulai sejak 23 April dengan putusannya diperkirakan berlangsung pada akhir September.
Peneliti senior Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak pihak kampus untuk mengembalikan hak keempat pelajar ini untuk mendapatkan pendidikan. Andreas menyebut pihak kampus seharusnya mendukung kebebasan berekspresi para mahasiswanya, bukan membatasi hak yang dilindungi hukum tersebut.
“Mereka harus segera dikembalikan ke bangku kuliah, alasan kampus untuk mengeluarkan mereka tidaklah tepat,” kata Andreas kepada BenarNews.
M. Fadly Abd Rachman, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Ternate, menyatakan bahwa keputusan untuk mengeluarkan Arbi dan ketiga rekannya dari kampus tidak didukung berkas-berkas yang resmi.
“Mereka tersandera, tidak bisa pindah kampus juga karena surat DO [pemberhentian] dari kampus juga belum diterima,” kata Fadly.
Sementara, Arbi mengaku belum memiliki rencana untuk pindah kuliah jika gugatannya ditolak PTUN Ambon. “Saya sebenarnya masih bingung, karena seharusnya sekarang sudah mau selesai (kuliah),” ujarnya.
Tuduhan makar
Selain dikeluarkan dari kampus, Arbi juga harus menghadapi tuduhan makar dan penghasutan karena keterlibatannya dalam aksi demonstrasi menuntut pembebasan tahanan politik Papua, 2 Desember 2019.
Pada 13 Juli, Polres Ternate mengeluarkan surat pemanggilan pemeriksaan kepada Arbi karena disangka melanggar Pasal 106 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP tentang perbuatan makar.
Arbi tidak memenuhi pemanggilan tersebut lantaran tengah berada di Ambon untuk mengikuti persidangan terkait gugatannya kepada kampus. Namun Ardi mengelak dirinya sengaja menghindar dari pemanggilan kepolisian.
“Tidak menghindar, saya siap saja dipanggil. Tapi untuk ke Ternate dari Ambon itu kalau mau cepat harus lewat jalur udara, sementara saya sedang fokus di Ambon untuk persidangan,” katanya.
Kapolres Ternate AKBP Aditya Laksimada dalam laporan AntaraNews menyebut kasus Arbi memang sudah naik ke tingkat penyidikan namun kepolisian belum menetapkannya sebagai tersangka.
Hingga saat ini, Arbi belum menerima surat pemanggilan pemeriksaan kedua dari Polres Ternate.
Sementara itu, Andreas dari HRW juga mendesak kepolisian untuk mencabut tuduhan makar dan penghasutan karena Arbi tidak melakukan kesalahan apapun saat menyampaikan dengan damai tuntutan bagi pembebasan tahanan politik dan hak menentukan nasib sendiri di Papua.
“Tidak perlu ada tuduhan itu. Polisi seperti tidak ada kerjaan saja,” kata Andreas kepada BenarNews.
Sebaliknya, kepolisian seharusnya menindaklanjuti adanya kemungkinan penyiksaan oleh aparat kepada mahasiswa yang berdemo di depan Universitas Muhammadiyah, Desember lalu itu, sambung Andreas.
“Para mahasiswa itu sempat dipukuli, ditendang saat diperiksa polisi pasca-demo itu. Seharusnya itu yang diselidiki,” katanya.
Pada 2 Desember 2019, puluhan mahasiswa dari beberapa kampus di Maluku Utara melakukan aksi damai di depan Universitas Muhammadiyah, Ternate, menuntut pembebasan tahanan politik Papua.
Hanya berselang beberapa menit dari dimulainya orasi, aparat gabungan polisi dan TNI membubarkan paksa aksi mahasiswa tersebut. Sepuluh mahasiswa, termasuk Arbi, dibawa ke Polres Ternate untuk diinterogasi.
“Saat diinterogasi kami dipukuli, ditendang. Bukan hanya sama polisi, tapi juga ada tentara dan dosen. Pemukulan itu di dalam Polres,” kata Arbi, seraya menambahkan bahwa dosen yang memukulinya berasal dari kampus lain, bukan dari Universitas Khairun.
Kendati demikian, Arbi mengakui bahwa dirinya belum menindaklanjuti kekerasan fisik yang diterimanya kepada pihak yang berwajib. Dirinya mengaku bingung karena khawatir tidak ada yang bersedia mendampingi.
“Tidak ada tindak lanjut. Mau lapor tapi siapa yang mendampingi?” ujarnya.
Pertengahan Juni lalu, tujuh orang aktivis Papua dianggap bersalah melakukan makar dalam aksi demonstrasi dan kerusuhan di Papua dan Papua Barat, tahun lalu. Ketujuhnya divonis hukuman penjara 10 hingga 11 bulan.
Empat dari tujuh aktivis--Irwanus Uropmabin, Ferry Gombo, Hengki Hilapok dan Alexander Gobai--merupakan mahasiswa dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dan Universitas Cenderawasih, Papua.
Kerusuhan di Papua bermula saat mahasiswa menggelar demonstrasi berkekuatan 10 ribu massa di Jayapura, September lalu. Mereka memprotes hinaan rasis yang diterima mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada pertengan Agustus tahun lalu.
Namun beberapa aksi demo berujung rusuh dengan dirusaknya fasilitas publik dan rumah warga. Polisi akhirnya menuduh aksi demo berafiliasi langsung KNPB, kelompok yang memperjuangkan referendum kemerdekaan untuk Papua.