Indonesia Mengizinkan Pengungsi Rohingya Mendarat di Aceh
2021.12.29
Jakarta
Pemerintah Indonesia pada Rabu (29/11) memutuskan mengizinkan sekitar 120 pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di atas kapal di laut dengan mesin rusak untuk mendarat di Provinsi Aceh, menyusul desakan dari lembaga kemanusiaan dan badan pengungsi PBB.
Kapal yang membawa Rohingya tersebut ditemukan pada Minggu di perairan timur dekat Aceh dengan mesin dilaporkan mengalami kerusakan.
”Pemerintah Indonesia pada hari ini Rabu, 29 Desember 2021 memutuskan, atas nama kemanusiaan, akan menampung pengungsi Rohingya yang saat ini terapung-apung di atas sebuah kapal di lautan dekat Kabupaten Bireuen, Aceh,” kata Ketua Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN) Pusat, Armed Wijaya.
“Keputusan ini dibuat setelah mempertimbangkan kondisi darurat yang dialami pengungsi di atas kapal tersebut,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Armed mengatakan penumpang kapal tersebut didominasi oleh perempuan dan anak-anak yang jumlahnya baru akan diketahui setelah pendataan lebih lanjut.
Kapal pengungsi saat ini sedang berada sekitar 50 mil laut lepas pantai Bireuen dan akan ditarik ke daratan, kata Armed.
Pada Selasa, badan pengungsi PBB UNHCR mendesak pemerintah untuk mengizinkan masuk pengungsi Rohingya.
“Untuk mencegah hilangnya nyawa, UNHCR mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengizinkan kapal itu mendarat dengan selamat,” kata juru bicara UNHCR di Indonesia, Mitra Suryono.
Di hari yang sama, Bupati Bireuen Muzakkar A. Gani mengatakan pengungsi di kapal akan diberi bantuan makanan dan bahan bakar agar dapat melanjutkan perjalanan ke Malaysia sesuai tujuan mereka. Dia mengatakan pemerintah tidak memiliki dana untuk mengurus pengungsi di tengah pandemi COVID-19.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyelamatkan pengungsi yang dalam kesulitan, ujar Armed.
Satgas pengungsi akan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan pemangku kepentingan terkait lainnya agar pengungsi mendapatkan penampungan, logistik dan akses kesehatan, ujarnya.
“Mengingat situasi pandemi, keseluruhan pengungsi akan menjalani screening kesehatan untuk selanjutnya akan dilakukan pendataan dan pelaksanaan protokol kesehatan bagi para pengungsi,” ujar dia.
Reza Maulana, Ketua Yayasan Geutanyoe Aceh, sebuah lembaga kemanusiaan, mengatakan saat ini ketua tim nelayan dan panglima laut di Aceh sedang bernegosiasi untuk mengupayakan pendaratan hari ini.
“Kondisi sekarang belum ditarik tapi akan ditarik ke daratan hari ini. Mungkin malam ini kalau memungkinkan karena jaraknya itu 60 mil dari pantai agak jauh,” ujar dia kepada BenarNews.
Reza menjelaskan kondisi kapal boat tidak bocor namun mengalami mati mesin sehingga kapal terombang-ambing di lautan.
Ditambah lagi, ujar dia, dengan kondisi cuaca buruk seperti hujan dan angin kencang membuat air laut terus masuk ke dalam kapal sehingga berpotensi membuat kapal terbalik.
“Upaya pendaratan ada koordinasi dari tim Satgas yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemda, IOM dan UNHCR yang akan berbagi peran. Tapi kemungkinan besar mereka akan dites PCR dan ditempatkan di lokasi karantina terpusat selama 10 hari,” kata dia.
Dengan mendaratnya pengungsi Rohingya ini, ujar Reza, maka mereka akan dianggap sebagai pengungsi dari luar negeri ke Indonesia yang status kewarganegaraannya nantinya akan ditentukan oleh UNHCR.
“Mereka tidak mungkin lagi ke Malaysia. Seharusnya dari awal diizinkan karena segala unsur kedaruratan sudah terpenuhi. Setelah ini pemerintah tidak boleh telat dalam bersikap dan harus cepat tanggap dalam bertindak,” kata dia.
Sementara itu Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengatakan bantuan pasokan makanan, bahan bakar, pakaian dan obat-obatan sudah diantarkan ke kapal pengungsi.
“Bantuan itu diantar langsung Komandan Pangkalan TNI AL (Lanal) Lhokseumawe serta aparat kepolisian,” kata Bakamla dalam pernyataan tertulisnya.
Menurut Bakamla, kapal tersebut menuju ke Malaysia sebelum akhirnya terdampar di perairan Aceh Timur.
Menetukan hidup dan mati
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyambut baik keputusan pemerintah untuk menampung pengungsi Rohingya dan menilai langkah tersebut sesuai dengan kewajiban hukum Internasional Indonesia dan konvensi PBB.
“Kami berharap sekali pengungsi itu segera mendapatkan pelayanan dasar setelah mereka berada dalam kondisi yang berbahaya dan melelahkan selama berada di laut dari mulai kesehatan, makanan dan juga konseling psikologi,” kata dia kepada Benarnews melalui telepon.
Agar masalah ini tidak berulang, Usman menyarankan peraturan mengenai pengungsi perlu dievaluasi apa yang menjadi kelemahan di lapangan sehingga pembahasan izin tidak memakan waktu yang lama.
“Padahal hitungan jam itu sangat menentukan hidup dan mati di lautan. Harusnya bisa lebih diantisipasi dengan tindakan cepat, kejelasan koordinasi cepat. Harus ada petunjuk teknis operasional yang praktis,” kata dia
“Yang paling penting itu adalah kepekaan dan kesadaran untuk menolong siapapun yang tengah mengapung di laut,” katanya.
Terkait pendanaan terbatas, pemerintah diharapkan mampu mengambil peran lebih aktif dari negara tetangga sahabat untuk berbagi tanggung jawab termasuk soal pendanaan.
“Tentu tidak cukup biayanya mengurus pengungsi hanya dari Pemda saja, Jadi pemerintah harus mengupayakan mendapat bantuan dari negara lain melalui berbagai konferensi internasional,” katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari gabungan beberapa LSM seperti KontraS, SUAKA, LBH Aceh, JRS dan Dompet Dhuafa juga memuji inisiatif baik warga Aceh yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya.
“Menetapkan dan memfasilitasi lokasi penampungan sementara yang ditentukan Pemerintah Daerah dalam kondisi darurat. Hal ini, salah satunya, dapat dilakukan dengan pemanfaatan fasilitas penampungan yang sudah tersedia serta memadai di BLK Lhokseumawe,” ujar statement tersebut.
Etnis Rohingya tak mendapatkan pengakuan dari aparat di Myanmar karena dianggap sebagai imigran Bangladesh dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Pada Agustus 2017, tentara Myanmar melakukan operasi militer terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine menyusul penyerangan terhadap pos perbatasan oleh militan oleh pemberontak dari etnis minoritas itu.
Operasi militer brutal menyebabkan eksodus lebih dari 725.000 pengungsi ke negara tetangga Bangladesh, di mana mereka terus tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak, bersama dengan Rohingya lainnya yang melarikan diri dalam gelombang kekerasan sebelumnya.
Menurut data UNHCR per September 2021, terdapat total 13,273 pengungsi di Indonesia, 7,458 diantaranya merupakan pengungsi dari Afghanistan. Sementera tercatat, 665 pengungsi Rohingya sudah mendarat di Indonesia per Oktober 2021.