Perusahaan Raksasa Penyedia Konten Diminta Buka Kantor Tetap di Indonesia
2016.03.03
Jakarta

Pemerintah akan menerapkan peraturan kepada perusahaan penyedia konten yang beroperasi di luar negeri atau over the top (OTT) seperti Facebook, Google, Twitter, WhatsApp, dan Youtube untuk membuka kantor dan memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
“Ini sudah merupakan kebijakan Indonesia dan harus dipatuhi. Jika tidak dipatuhi, akan ada sanksinya. Kita akan melakukan business friendly approach, tidak main langsung sabet tapi juga tidak mengalah,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara kepada wartawan di Jakarta, Rabu 24 Februari 2016 lalu.
Meskipun sudah didesak wartawan bagaimana bentuk sanksi yang akan dijatuhkan terhadap perusahaan raksasa penyedia konten bila tak mempunyai BUT, dia enggan menjelaskan secara detil.
Rudiantara beralasan, peraturan tersebut diterapkan untuk melindungi masyarakat Indonesia supaya ada customer service dan administrasi pajak yang jelas.
“Saat ini kita sering memakai WhatsApp, datanya tidak tahu mau diapain, mau komplain juga tidak tahu kemana,” ujarnya.
Berdasarkan sebuah penelitian, tambahnya, pada tahun 2015 nilai iklan digital di Indonesia mencapai US$830 juta baik secara individu maupun korporasi.
“Kalau dihitung, perusahaannya beroperasi di luar kan tidak adil juga,” tegasnya.
Juru bicara Kemenkominfo, Ismail Cawidu yang dikonfirmasi menyatakan peraturan ini nantinya akan berbentuk Peraturan Presiden (Perpres) dan dikerjakan lintas sektor dengan melibatkan 10 kementerian.
“Saat ini peraturannya masih dibahas, akhir Maret akan diputuskan,” ujarnya kepada BeritaBenar, Rabu 2 Maret 2016.
Menurut Ismail, syarat BUT antara lain memiliki kantor di Indonesia, mempunyai jumlah karyawan tetap dan mentaati seluruh hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk membayar pajak.
Jika perusahaan tidak ada kantor, opsi yang ditawarkan adalah bekerjasama dengan perusahaan operator di Indonesia. Misalnya, payment gateway harus menggunakan badan hukum Indonesia dengan transaksi rupiah.
“Kalau kita lihat beberapa perusahaan sudah ada di sini tapi sifatnya representative office. Kita tidak ingin representative office karena kalau orang komplain ke Kominfo, nanti kami tanya lagi ke sana. Ini kan tidak efektif,” paparnya.
Menjadi pemain aktif
Ismail menambahkan Indonesia memiliki potensi sangat besar karena banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berkembang dari OTT yang jumlahnya lebih dari 50 juta UMKM dan memberikan 56 persen kontribusi pada Gross Domestic Product (GDP).
“Indonesia jangan jadi pasar saja tapi harus menjadi pemain aktif dari digital ekonomi ini,” ujarnya.
Hal senada dikatakan seorang anggota DPR Komisi I, Syarif Hasan. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia berperan aktif dalam digital ekonomi karena banyak perusahaan berkonten meraup untung dari iklan yang ditampilkan.
“Artinya kalau sesuai undang-udang yang berlaku di Indoensia silahkan beroperasi. Tapi kalau dia hanya menghasilkan untung, ya harus bayar pajak,” katanya.
Syarif menambahkan, pemerintah tidak perlu takut kalau investor akan kabur dan meninggalkan Indonesia karena pengguna Facebook dan Twitter terbesar berasal dari Indonesia.
Dia berharap Kemenkominfo dapat membuat peraturan yang jelas terkait masalah ini.
“Kalau tidak jelas, nanti akan menimbulkan ketidakpastian di dunia usaha dan digital,” tutur politisi Partai Demokrat itu.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Daniel Tumiwa mendukung rencana pemerintah tersebut.
“Kami dorong Menkominfo untuk mengambil posisi tegas. Jika tidak mau bikin BUT, ya baiknya memang tidak perlu di Indonesia,” ujarnya kepada BeritaBenar, Kamis.
Dia menyebutkan sebagaimana berlaku di banyak negara, pengguna layanan bisnis dari pelaku asing juga dikenakan pajak di negara asal.
“Jadi memang sudah seharusnya berlaku sama,” ujarnya.
Tidak realistis
Tetapi pakar IT dari Insitut Teknologi Bandung (ITB), Onno Purbo mengatakan yang mencari keuntungan dari iklan bukan hanya Facebook, Twitter, Google, tapi banyak situs lainnya.
Bahkan, saat ini banyak blog pribadi dan android application yang juga mengambil keuntungan dari iklan.
“Mau disuruh semua bikin kantor di Indonesia? Kayaknya gak realistis deh,” katanya.
Para pelaku e-commerce, tambahnya, akan berpikir kalau kantor tak penting karena mereka bisa kerja dari mana saja.
“Bisa saja kantor di Singapura tapi pelakunya di Indonesia, jadi buat apa?” ujarnya.
Dampak apabila aturan itu diterapkan kemungkinan akan terjadi balas dendam dari OTT, sehingga mereka menerapkan juga untuk para programmer Indonesia yang mencari iklan dari Google, Facebook dan Twitter untuk membuka kantor di negara mereka.
“Banyak programmer dan blogger kita yang cari duit dari iklan. Apa mau programmer kita disuruh buka kantor di Amerika?,” pungkas Onno.