Ima Matul, Orang Indonesia Pertama yang Berpidato di Konvensi Nasional Partai Demokrat AS

Ika Inggas dan Heny Rahayu
2016.07.27
Washington DC & Malang
160727_ID_IMA_1000.jpg Ima Matul (kiri) didampingi Senator Amerika, Amy Klobuchar, saat berpidato pada Konvensi Nasional Partai Demokrat AS, di Philadelphia, Selasa, 26 Juli 2016.
AFP

Berpidato di panggung politik bergengsi untuk memilih calon presiden Amerika, mungkin tidak akan pernah terbayang dalam benak Ima Matul Maisaroh sembilan belas tahun yang lalu ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Amerika dan putus harapan setelah disiksa majikannya.

“Tidak pernah dalam mimpi saya, bahkan yang paling gila sekalipun, bahwa saya akan sepanggung dengan begitu banyak pemimpin dan visioner,” demikian Ima membuka pidatonya di depan puluhan ribu orang yang memadati ruang Konvensi Nasional Partai Demokrat, di Philadelphia, Selasa, 26 Juli, 2016.

“Saya dibesarkan di sebuah desa miskin di Indonesia. Ketika saya berumur 17 tahun saya dibawa ke Los Angeles dengan janji pekerjaan sebagai nanny, namun saya menghabiskan tiga tahun disiksa dan diperbudak sebagai pembantu rumah tangga,” kata Ima lantang dalam bahasa Inggris yang fasih.

Setelah berhasil melarikan diri dari sekapan majikannya, ia bekerja di organisasi yang membantunya, Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST). Pada Desember 2015, Presiden Obama menunjuknya sebagai salah satu anggota dewan penasehat pemerintah Amerika untuk penanggulangan perdagangan manusia.

"Setelah saya mendapat dukungan yang saya butuhkan, saya menemukan kekuatan untuk mengorganisir para penyintas dari berbagai pelosok Amerika," kata Ima dalam pidato pada malam dimana secara resmi Hillary Rodham Clinton terpilih sebagai kandidat presiden Partai Demokrat.

Bekas luka itu masih terlihat

Ima berhenti sekolah di SMA karena dijodohkan dengan pria yang 12 tahun lebih tua darinya, kata ayahnya, Turiyono (65) kepada BeritaBenar, di rumahnya Dusun Krajan RT 24 RW 3, Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa hari yang lalu.

Pada 1997, setelah lima bulan bercerai, Ima mendaftar sebagai calon tenaga kerja wanita sebagai pembantu rumah tangga di sebuah perusahaan jasa tenaga kerja di Malang.

Ia mengikuti pelatihan dan magang pada sebuah keluarga di Malang. Sang majikan menawarkan Ima untuk bekerja di rumah sepupunya yang tinggal di AS.

“Saudara sepupunya membutuhkan pembantu di Amerika,” kata Turiyono seraya menyebutkan bahwa putrinya ditawari gaji sebesar 150 dolar per bulan.

Perusahaan jasa tenaga kerja malah meminta Turiyono untuk mengganti biaya pendidikan dan pelatihan Rp600 ribu. Ima batal berangkat ke Hongkong seperti peserta pelatihan lain dan memilih pergi ke AS.

“Saya jual gabah hasil tani untuk menebus biaya di penampungan dan ongkos keberangkatan ke Amerika,” ujarnya.

Di Amerika, Ima yang tak mampu berbicara Bahasa Inggris, diperlakukan kasar dan dianiaya oleh majikannya yang asal Indonesia namun telah menjadi warga negara Amerika.

“Dia banyak menerima siksaan, bahkan bekas luka akibat siksaan membekas di sejumlah bagian tubuhnya,” kata Alimah (52), Ibunda Ima.

Agustin Hariwati, Kepala SMA Khairudin – tempat Ima pernah sekolah - mengatakan pihaknya tengah melacak buku induk sekolah untuk mengetahui rekam jejak Ima. Menurut sejumlah guru, katanya, Ima hanya sempat sekolah tak sampai setahun karena memutuskan keluar dan menikah.

“Pada 1990-an, memang banyak siswa putus sekolah karena harus bekerja atau menikah. Salah satunya Ima yang putus sekolah karena menikah,” ujarnya.

‘Bekerja di Amerika sulit’

Turiyono (kanan) dan istrinya Alimah memperlihatkan foto Ima Matul Maisaroh saat ditemui di Desa Kanigoro, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 27 Juli 2017. (Heny Rahayu/BeritaBenar)

“Dia bilang sekarang kerja kantoran di Amerika,” tutur Turiyono yang bekerja sebagai petani. Kedua orang tua Ima tidak bisa menyambunyikan kebahagiaan atas pencapaian Ima sekarang ini.

Kedutaan Besar Indonesia untuk AS dalam pernyataan pers 25 Juli 2016 menyatakan Ima sudah jadi warga negara Amerika dan tinggal di Los Angeles.

Menurut ayahnya, Ima pernah beberapa kali pulang setelah menikah. Mereka dikaruniai tiga anak. Dia juga sering menghubungi keluarga lewat telepon. Ima juga rutin mengirimkan uang untuk biaya pendidikan kedua adiknya.

“Kalau pulang dia sering berpesan pada adik dan keponakannya agar jangan mengadu nasib di Amerika karena bisa mengulang penderitaan yang dialaminya. Bekerja di Amerika sulit, apalagi yang tak punya keterampilan,” tutur Alimah.

Tak hanya sekolah yang melacak identitas Ima, tapi petugas pemerintahan desa dan kecamatan juga melakukan hal yang sama: melacak identitas Ima yang telah meninggalkan kampung sejak 19 tahun silam.

Sejumlah daerah di Malang memang dikenal sebagai lumbung tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka pergi ke luar negeri karena himpitan ekonomi. Mengadu nasib di negeri orang dianggap sebagai salah satu solusi mengatasi masalah ekonomi keluarga.

Dinas Tenaga Kerja Malang mengaku pihaknya juga tidak memiliki rekam jejak dan catatan soal Ima yang dulu pergi bekerja di Amerika.

“Nyaris tak ada data TKI ke Amerika. Indonesia tak memiliki perjanjian penempatan TKI dengan AS,” kata Sukardi, Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang.

Sementara itu, di belahan dunia yang lain, penyintas perdagangan manusia dari Malang itu menjadi orang Indonesia pertama yang berbicara di depan ajang politik bergengsi Amerika itu.

“… Kini ada semakin banyak komitmen untuk menemukan solusi inovatif untuk memastikan bahwa generasi penyintas yang ini adalah yang terakhir. Saya berharap kita bisa menghentikan perdagangan manusia,” kata Ima mengakhiri pidatonya.

Sesudah Ima, di panggung yang sama tampil berbicara mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright, Mantan Presiden Bill Clinton, dan artis Meryl Streep.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.