Kisah Alumnus Kamp Pelatihan Militer Aceh Ingin 'Jihad' ke Palestina
2016.02.01
Banda Aceh

Seorang narapidana kasus terorisme yang sedang menjalani pembebasan bersyarat, Imam Rosidi (30) memberikan kesaksian tentang keterlibatannya dalam pelatihan militer di pegunungan Jalin, Kabupaten Aceh Besar, awal 2010.
“Saya hanya tahu pelatihan di Jalin untuk keperluan jihad ke Palestina yang melawan tentara Israel. Apalagi waktu itu, Israel sedang membombardir Jalur Gaza,” tuturnya kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Kamis petang, 28 Januari.
Pria kelahiran Jakarta yang divonis 5 tahun penjara itu mengaku tak tahu apakah peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ditanamkan doktrin paham radikalisme, karena dia hanya tiga hari berada di kamp pelatihan Jalin.
“Peran saya hanya sebagai penghubung dan pengantar logistik. Saya tiga hari belajar cara menembak dan selama itu tidak pernah ada doktrin paham radikalisme, apalagi terorisme,” jelas Imam.
DPO masih data lama
Imam memberikan kesaksian setelah Polisi Resor Kota Banda Aceh menyebarkan fotonya bersama sembilan terduga teroris dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), Jumat, 22 Januari. Daftar itu disebarkan dan ditempel di tempat keramaian di Banda Aceh.
Difasilitasi Tim Pembela Muslim (TPM) Aceh, Imam menggelar konferensi pers untuk “membersihkan namanya”, sebab istrinya merasa ketakutan dan khawatir. Apalagi, beberapa tetangga sempat bertanya tentang kebenaran informasi tersebut.
Ketua TPM Aceh, Safaruddin juga menyebut Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh merilis data lama DPO teroris, karena beberapa nama di dalamnya ada yang sudah bebas murni seperti Heru Komaruddin dan Beni Asri. Selain itu ada juga sedang menjalani pembebasan bersyarat seperti Imam, Yadi Al Hasan, dan Nanang Irawan.
“Anehnya ada satu orang yang masuk dalam DPO tersebut yaitu Ahmad Yosepa alias Dayat, sudah tewas karena dia merupakan pelaku bom bunuh diri di Solo tahun 2011 lalu,” kata Safaruddin kepada BeritaBenar.
Kapolresta Banda Aceh Komisaris Besar Polisi Zulkifli dalam pernyataan pers Sabtu 30 Januari lalu mengakui data DPO yang disebarkan pihaknya merupakan data lama.
“Nama-nama tersebut belum sepenuhnya dihapus karena masih ada yang diduga pelaku tindak pidana terorisme seperti Santoso,” katanya.
Dikunjungi Dulmatin
Imam bercerita, pada awal 2010 beberapa peserta pelatihan sempat singgah di rumahnya sebelum dijemput untuk dibawa ke kawasan Jalin yang berjarak sekitar 80 kilometer tenggara ibukota Banda Aceh.
Di antara yang pernah singgah di rumah Imam adalah Dulmatin, tokoh Jemaah Islamiyah paling dicari aparat keamanan saat itu. Dulmatin, yang dikatakan sebagai salah satu otak serangan bom Bali 2002, tewas dalam penggerebekan polisi di Pamulang, Tangerang Selatan, 9 Maret 2010.
Pelatihan militer itu sempat dipublikasi di internet oleh Tandzim Al Qoidah Indonesia Serambi Mekkah, Maret 2010. Dalam video terlihat puluhan pria berpakaian hitam sedang bergulingan di antara pepohonan serta menembak dengan senjata otomatis AK-47, M-16 dan pistol.
Pelatihan itu terbongkar aparat keamanan, awal Februari 2010. Polisi meyakini kamp pelatihan dibentuk kelompok militan Jemaah Islamiyah. Beberapa dari mereka tewas ditembak polisi dan sebagian lainnya ditangkap.
Imam yang pernah menjadi relawan tiga bulan setelah tsunami melanda Aceh awal 2005, ditangkap polisi saat berada di Jakarta pada 2011 setelah ia melarikan diri dari Aceh. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonisnya 5 tahun penjara. Ia ditahan di penjara Nusakambangan bersama para narapidana teroris lainnya.
“Saya sekarang merasa seperti tertipu sebab kepada kami diberitahukan pelatihan itu untuk membela bangsa Palestina,” tuturnya.
Dia mengaku dia ingin hidup tenang bersama istri dan ketiga anaknya setelah bebas murni pada akhir tahun ini. Selama menjalani hukuman, Imam rutin mendapat pembinaan dari pihak Lembaga Pemasyarakatan dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Saya pikir program deradikalisasi yang dilakukan BNPT sudah cukup bagus. Mereka sering mendatangkan ulama dan psikolog untuk berdiskusi dengan terpidana kasus terorisme,” jelasnya.
Kenal penembak teror Thamrin
Imam menjelaskan setelah mendapatkan pembebasan bersyarat pada 24 Desember 2014, dia secara rutin melapor keberadaannya kepada Balai Permasyarakatan (Bapas) Jakarta Barat dalam tiga bulan sekali sesuai ketentuan yang berlaku.
Dia mengaku kenal Afif alias Sunakim, yang dikatakan polisi sebagai salah satu pelaku serangan teror di Jakarta 14 Januari lalu, ketika mereka bersama-sama mengikuti pelatihan militer di kamp Jalin. Afif adalah orang yang tertangkap kamera sedang mengarahkan senjatanya ke massa dalam aksi teror di Jalan Thamrin itu.
Ketika ditanya mengapa menurutnya Afif sampai melakukan serangan teror, Imam menjawab, “Bisa jadi sudah kepalang tanggung karena selama ini melihat tindakan Densus 88 yang main tangkap saja.”
Pengacaranya, Safaruddin, mengkritisi pola operasi Densus 88 Polri yang terkesan mengedepankan kekerasan. “Cara-cara seperti selama ini dilakukan dapat menciptakan dendam dan kemarahan. Apalagi Densus 88 sering melakukan operasi di daerah padat penduduk dan disaksikan masyarakat,” katanya.
Dia berharap pimpinan Polri mengubah strategi operasi memberantas terorisme di Indonesia dengan mengedepankan pendekatan lembut sambil meningkatkan peran intelijen. Dengan demikian, pengaruh paham radikalisme dapat dibendung.
“Jangan sampai operasi Densus 88 bertolak belakang dengan program deradikalisasi BNPT,” ujar Safaruddin.