Indahnya Toleransi Hindu dan Muslim di Glanggang

Heny Rahayu
2016.03.10
Malang
160310_ID_Tolerance_1000 Suasana Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Malang, sehari setelah Hari Raya Nyepi, 10 Maret 2016.
Heny Rahayu/BeritaBenar

Rumah Sucipto tak pernah sepi. Tamu keluar masuk silih berganti. Teman dan saudara datang untuk meminta maaf dan mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi. Meja ruang tamu rumahnya berjajar aneka hidangan: kue, pisang dan minuman mineral.

Sucipto sangat dihormati sebagai tokoh agama Hindu di Dusun Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

“Tamu paling ramai malam hari, ruang tamu tak muat,” tutur Sucipto saat BeritaBenar bertandang ke rumahnya, Kamis, 10 Maret 2016.

Para tamu yang datang bukan hanya umat Hindu, tapi juga warga Muslim setempat. Selain ke rumah Sucipto, mereka juga datang ke rumah umat Hindu lain bersama keluarga.

Anjang sana ke rumah pemeluk Hindu berlangsung tiga hari. Suasana desa menjadi riuh, penuh keakraban dan toleransi. Kebiasaan saling menghormati itu sudah terjalin sejak puluhan tahun silam.

Muriadi, teman semasa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sucipto. Dia rutin ke rumah Sucipto sehari setelah Hari Raya Nyepi. Muriadi datang untuk mengucapkan selamat dan minta maaf.

Sebaliknya, saat Muriadi merayakan Idul Fitri, Sucipto tak pernah absen bersilaturahmi untuk berucap selamat lebaran dan meminta maaf.

“Kita saling menghormati dengan keyakinan masing-masing,” tutur Muriadi.

Dia membekali anak dan keluarganya untuk menjaga toleransi. Apalagi, rumah Muriadi di Desa Bendo, Pakisaji, banyak warga beragama Hindu. Sehingga mereka terbiasa hidup berdampingan dan saling menghormati keyakinan.

“Semua berjalan secara alami dan toleransi terbangun dengan sendirinya,” kata dia.

Wahyuni, keponakan Sucipto datang bersama suami dan anaknya. Warga Ngajum, Malang ini berkendara sepeda motor sejauh 50 kilometer untuk bersilaturahmi ke rumah pamannya. Setiap tahun sehari usai Nyepi, Wahyuni selalu berkunjung ke rumah Sucipto.

Demikian pula sebaliknya, ketika Hari Raya Idul Fitri, Sucipto yang datang ke rumah keluarga Wahyuni.

“Keluarga kami ada yang beragama Hindu, Islam dan Kristen. Kami tetap saling menghormati,” ujar Wahyuni.

Didampingi istrinya, Sucipto bersalaman dengan keponakannya Wahyuni yang datang ke rumahnya di Desa Glanggang, 10 Maret 2016, untuk mengucapkan Hari Raya Nyepi. (Heny Rahayu/BeritaBenar).

Saling berdampingan

Sekitar 170 Kepala Keluarga (KK) dari 1.000-an KK di Glanggang merupakan warga beragama Hindu.  Selebihnya pemeluk agama Islam, Kristen dan Katolik. Meski beda keyakinan, sikap saling menghormati terasa sejak masuk ke perkampungan warga.

Sejumlah penjor berjajar di depan rumah umat Hindu. Mayoritas warga Karang Tengah adalah pemeluk Hindu. Di kampung itu berdiri sebuah Pura bernama Eka Kapti, untuk tempat beribadah umat Hindu. Dua penjor terpasang di depan Pura. Hanya berjarak 100 meter dari pura berdiri sebuah masjid.

Saat Nyepi pada Rabu, 9 Maret 2016, suasana desa lengang. Seluruh lampu rumah dimatikan. Tak hanya umat Hindu yang tengah menggelar Nyepi dengan ritual agama mereka, hal yang sama juga dilakukan umat Islam.

Kasir, seorang pemeluk Islam yang taat. Ia mematikan seluruh lampu dan berdiam diri dalam rumah. Hal itu dilakukannya untuk menghormati sejumlah tetangga yang tengah melakukan ritual Nyepi.

“Agar mereka khusus beribadah,” ujarnya.

Tetangga sebelah dan depan rumah Kasir adalah penganut Hindu. Seluruh keluarga umat Hindu tengah melakukan ritual Nyepi, sehingga Kasir menghormati mereka.

Misenah, seorang warga lain, rela tak memproduksi tempe. Saat malam hari biasanya ia mengolah kedelai untuk menjadi tempe. Untuk membuat tempe harus menyalakan mesin yang mengeluarkan suara. Untuk menghormati tetangganya agar tak terganggu beribadah, dia tidak bekerja.

“Enggak apa-apa, tak berjualan sehari. Demi menghormati tetangga beragama Hindu,” ujarnya.

Tak ada yang memerintah maupun melarang umat selain Hindu turut mematikan lampu penerangan selama Nyepi. Sikap itu, menurut Kasir, merupakan kesadaran bersama untuk saling menghormati antar-sesama pemeluk agama.

Ketika waktu shalat tiba, suara adzan di masjid berkumandang. Umat muslim beribadah berjamaah. Adzan tetap melalui pengeras suara. Usai shalat, mereka kembali ke rumah  dan tetap berada dalam rumah agar tak mengganggu umat Hindu yang sedang Nyepi.

“Kami juga menghormati umat Islam beribadah,” ujar Sucipto, seraya mengaku selalu hadir saat Muslim menggelar pengajian dan kegiatan keagamaan lain.

Bahkan, membersihkan makam desa digelar dua kali dalam setahun yakni menjelang Ramadhan dan Nyepi. Kerja bakti membersihkan makam desa dilakukan secara gotong royong, tanpa memandang agama dan keyakinan.

Selama ini, tak pernah terjadi konflik agama di Glanggang. Warga saling menghormati perbedaan keyakinan dan agama. Mereka selalu bekerjasama dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan.

Kasir, yang beragama Islam, ikut berjaga mengamankan upacara Tawur Kesanga yaitu ketika umat Hindu membuat dan membakar ogoh-ogoh di lapangan desa setempat. Hal ini untuk menunjukkan betapa indahnya toleransi dan keharmonisan umat beragama di Glanggang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.