Indonesia serukan ASEAN atasi gelombang pengungsi Rohingya

PBB: terjadi “peningkatan yang mengkhawatirkan” atas kematian minoritas asal Myanmar itu yang melarikan diri melalui laut.
Tria Dianti
2023.01.19
Jakarta
Indonesia serukan ASEAN atasi gelombang pengungsi Rohingya Pengungsi Rohingya yang diselamatkan oleh nelayan terlihat di kapal di belakang kapal patroli polisi di dekat Pantai Seunuddon di Aceh Utara, 24 Juni 2020.
[Rahmad/Antara Foto/via Reuters]

Indonesia pada Kamis (19/1) menyerukan upaya regional untuk mengatasi krisis pengungsi Rohingya yang terdampar di laut setelah meninggalkan negara asal mereka, Myanmar, di mana mereka dianiaya, atau melarikan diri dari padatnya kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.

ASEAN perlu bekerja sama dalam operasi penyelamatan para pengungsi Rohingya, sehingga tanggung bebannya tidak hanya pada Indonesia, demikian pernyataan seorang pejabat dari Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu), sementara pada saat yang sama PBB mengatakan peningkatan jumlah kematian yang mengkhawatirkan dari kelompok minoritas Myanmar itu di laut.

“Ke depan perlu dilakukan kerja sama di kawasan terkait dengan operasi penyelamatan tersebut, yang jadi PR bersama bukan hanya Indonesia tetapi juga oleh negara lain di kawasan ini,” kata Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kemlu, Achsanul Habib di Jakarta, Kamis.

Tahun lalu adalah yang paling mematikan sejak 2014 bagi Rohingya yang menempuh perjalanan laut yang berbahaya, kata badan pengungsi PBB, UNHCR, Rabu.

“UNHCR telah mencatat peningkatan jumlah kematian yang mengkhawatirkan. Setidaknya 348 orang meninggal atau hilang di laut pada 2022, menjadikannya salah satu tahun paling mematikan sejak 2014,” kata juru bicara UNHCR Shabia Mantoo kepada wartawan di Jenewa.

Satu kapal dengan sekitar 180 pengungsi tenggelam pada bulan Desember, kata lembaga tersebut.

Lebih dari 3.500 orang Rohingya mencoba melakukan perjalanan laut yang mematikan dalam 39 perahu di Laut Andaman dan Teluk Benggala pada tahun 2022, menurut data UNHCR terbaru, kata Mantoo. Ini mewakili peningkatan 360% dari tahun 2021, ketika sekitar 700 orang menempuh perjalanan serupa.

Para pengungsi berusaha melarikan diri dari kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di Cox’s Bazar di Bangladesh atau dari negara bagian Rakhine di Myanmar, yang merupakan negara asal mereka.

Sejak Desember, setidaknya tiga kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya telah mendarat di Provinsi Aceh. Dua dari kapal ini telah berada di laut selama berminggu-minggu, dan sekitar 40 orang tewas di dalamnya, kata para pejabat terkait.

Kemlu mengatakan awal bulan ini bahwa kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh melonjak tahun lalu menjadi 574 orang. Sebagai perbandingan, antara tahun 2020 dan 2022, pejabat mencatat kedatangan 1.155 pengungsi Rohingya di Aceh.

Motif melarikan diri

Sementara itu, Achsanul dari Kemlu mengatakan bahwa para pengungsi yang mendarat di Aceh itu melakukan perjalanan laut bukan lagi semata untuk melarikan diri dari penganiayaan di negaranya, tetapi mereka juga terlibat jaringan tertentu untuk bisa menetap di negara kawasan Asia Tenggara.

“Motif mereka bukan lagi (melarikan diri) dari penganiayaan, tetapi (untuk mencari) pekerjaan, ekonomi dan reuni keluarga,” katanya.

Ia melihat adanya penyebaran sistem pemosisian global (GPS) koordinat perahu mereka di Teluk Andaman ke LSM lokal dan internasional, kedutaan besar dan pemerintah asing, sehingga menarik perhatian berbagai pihak untuk menolong mereka.

“Ini menunjukkan pergerakan manusia perahu Rohingya diketahui berbagai pihak, termasuk UNHCR,” ujarnya.

Merespons hal tersebut UNHCR dalam sebuah pernyataan kepada BenarNews mengatakan bahwa banyak pengungsi yang berada di Aceh telah didaftar oleh organisasi tersebut di Bangladesh sehingga sangat mungkin mereka telah memiliki kontak staf UNHCR atau kontak staf sejumlah LSM.

“Ketika kapal mereka terancam tenggelam, dalam keadaan darurat seperti itu, kemungkinan mereka memutuskan untuk menghubungi organisasi–organisasi tersebut untuk meminta pertolongan, sesuatu yang sangat lazim untuk dilakukan,” ujarnya.

UNHCR mengatakan pihaknya akan mengeluarkan permohonan kepada pemerintah untuk memberikan izin pendaratan bagi kapal –kapal yang berada dalam kondisi darurat, terutama apabila kapal tersebut terlihat dalam batas perairan negara tersebut.

“Imbauan ini tidak hanya kami minta kepada pemerintah Indonesia, tapi juga negara–negara lainnya di kawasan ini, seperti Thailand, Malaysia dan India,” ujarnya.

Indonesia tidak termasuk dalam 149 negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan menjalankan Protokol 1967, sehingga hak-hak pengungsi untuk akses pada pekerjaan, rumah, pendidikan, dan lain-lain tidak dilindungi di Tanah Air, menurut laporan UNHCR.

Namun, Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden tahun 2016 terkait penanganan pengungsi luar negeri yang mewajibkan aparat pemerintah untuk menyelamatkan pengungsi ke kapal penolong jika akan tenggelam dan membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika keselamatan pengungsi terancam.

Habib menjelaskan belum ada urgensi Indonesia meratifikasi konvensi pengungsi 1951 karena dengan meratifikasi akan turun kewajiban untuk melaksanakan semua mandat dari konvensi tersebut, salah satunya adalah bersedia menerima siapa pun para pengungsi yang datang dari negara mana pun dan diintegrasikan dengan sosial politik nasional, termasuk diberikan hak sama sebagai warga negara dalam hal pekerjaan.

Putus asa

UNHCR mengatakan pada hari Rabu bahwa sebagian besar kapal berangkat dari Myanmar dan Bangladesh, menyoroti meningkatnya rasa putus asa diantara warga Rohingya di kedua negara tersebut.

“Mereka yang turun melaporkan bahwa mereka melakukan perjalanan laut yang berbahaya ini dalam upaya mencari perlindungan, keamanan, reunifikasi keluarga, dan mata pencaharian di negara lain,” kata Mantoo.

“Di antara mereka adalah korban perdagangan manusia, anak-anak tanpa pendamping dan terpisah, serta penyintas kekerasan seksual dan gender.”

Sekitar 1 juta orang Rohingya, termasuk sekitar 740.000 orang yang melarikan diri dari Myanmar ketika terjadi serangan militer brutal di Rakhine pada tahun 2017, tinggal di kamp pengungsi yang padat di Cox's Bazar.

Banyak orang tanpa kewarganegaraan menjadi putus asa karena mereka tidak melihat harapan untuk dipulangkan ke Myanmar, yang dilanda kekerasan setelah kudeta militer, kata kelompok advokasi hak asasi manusia dan LSM.

Para pengungsi Rohingya di Bangladesh juga tidak bisa bekerja atau menyekolahkan anak-anak mereka di kamp-kamp tersebut.

Pizaro Gozali Idrus di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.