Indonesia Sesalkan Veto AS di DK PBB Soal Penanganan Teroris ISIS
2020.09.02
Jakarta

Pemerintah Indonesia menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) dalam mengadopsi rancangan resolusi terkait penegakan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi teroris karena veto dari Amerika Serikat, demikian pejabat Kementerian Luar Negeri RI, Rabu (2/9).
Senin lalu, Amerika Serikat (AS) memveto rancangan resolusi tentang penanganan terorisme yang sudah disepakati oleh 14 negara anggota dalam pemungutan suara melalui surat elektronik.
Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft mengatakan bahwa rancangan resolusi “yang seharusnya disusun untuk memperkuat tindakan internasional terhadap kontra-terorisme” melupakan poin terpenting yakni repatriasi atau pemulangan eks-militan di Suriah dan Irak untuk diadili di negaranya masing-masing.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Ruddyard, mengatakan, beleid pemulangan jihadis asal Indonesia yang berangkat ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan Negara Islam (ISIS) memang tidak termuat dalam rancangan tersebut lantaran tidak semua negara memiliki kemampuan yang setara untuk melakukan repatriasi, sehingga memang konsensusnya belum terpenuhi.
“Kami sangat menyayangkan veto ini hanya mendasar pada repatriasi eks-militan saja lalu mengabaikan hal-hal yang lebih besar dan penting dari itu,” kata Febrian kepada BenarNews.
“Soal repatriasi memang belum ada konsensusnya. Karena apa? Semua negara belum tentu siap secara infrastruktur, ada yang belum punya undang-undangnya, jadi masih perlu waktu,” kata Febrian.
Beberapa negara Eropa Barat, termasuk Inggris dan Prancis, telah menentang kembalinya para pejuang ISIS dan keluarganya, kecuali anak-anak seperti mereka yang yatim piatu.
Kedua negara tersebut, bersama Indonesia, Cina, Jerman, Rusia, termasuk dalam 14 negara anggota yang setuju terhadap resolusi tersebut. Hanya AS yang menolak.
Febrian mengatakan rancangan yang diinisiasi Indonesia ini bisa menjadi petunjuk bagi negara-negara anggota DK PBB terkait penanganan terorisme yang berkelanjutan.
“Rancangan itu adalah salah satu prioritas utama presidensi kita di DK PBB. Salah satu best practices yang ingin kita bagi dengan negara anggota lainnya,” tambahnya.
Rancangan resolusi tersebut memuat langkah-langkah penanganan terorisme yang dimulai dari penegakan hukum, perlindungan keluarga terduga dan terdakwa teroris, hingga proses deradikalisasi terpidana terorisme dan upaya pelibatan masyarakat dalam menerima kembali para bekas militan tersebut, katanya.
“Indonesia memiliki keahlian yang diakui, dan hal itu yang kita harapkan bisa jadi guideline untuk negara-negara angota lainnya,” kata Febrian.
Kendati demikian, ia mengaku Indonesia masih akan melanjutkan negosiasi atas rancangan resolusi ini sehingga bisa diadopsi bersama negara-negara anggota lainnya, khususnya kepada AS.
“Kita butuh untuk engage lagi, negosiasi lagi. Kita harus bisa memberikan banyak contoh, khususnya kepada negara yang memveto. Ini menjadi dinamika ya, kerja keras lagi untuk meyakinkan,” tukasnya.
Sebaliknya, Kelly Craft menekankan bahwa repatriasi dan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh para pejuang kelompok militan ISIS penting untuk diikutsertakan dalam rancangan resolusi tersebut sehingga mereka tidak membentuk sel-sel baru ISIS.
“Amerika Serikat memberikan contoh, membawa pulang kembali warga kami dan mengadili mereka jika diperlukan. Setiap negara harus bertanggung jawab atas warga mereka yang terlibat dalam terorisme,” ujar Kelly dalam statemen tertulisnya.
Dalam pernyataannya, ia mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, “Kami ingin setiap negara untuk mengambil kembali warga mereka. Itu langkah pertama. Mereka harus melakukan itu.”
Kelly menggambarkan rancangan resolusi ini sebagai sebuah "lelucon kejam". “Kegagalan membahas pentingnya repatriasi pasti akan melanggengkan masalah terorisme,” katanya.
Dalam naskah resolusi S/2020/852 itu, walaupun tidak tertulis kata repatriasi namun dalam salah satu poinnya mengatakan “… memfasilitasi pengembalian anak-anak ke negara asal mereka, sebagaimana mestinya, dan berdasarkan kasus per kasus, mencegah Foreign Terrorist Fighters (FTF) melintasi perbatasannya, mengganggu dan mencegah dukungan keuangan kepada FTF, dan mengembangkan dan melaksanakan strategi penuntutan, rehabilitasi dan reintegrasi ….”
Pengalaman Indonesia
Duta Besar Indonesia untuk PBB, Dian Triansyah Djani, mengatakan rancangan resolusi ini berangkat dari pengalaman Indonesia sebagai negara yang pernah menjadi korban dari beragam aksi terorisme, dan ia tidak bisa memahami alasan veto dari AS.
“Indonesia gagal memahami bahwa ketika dunia terus dikepung oleh ancaman terorisme bagi perdamaian dan keamanan internasional, sebuah langkah penting ini belum bisa diterima di DK PBB,” kata Dian dalam pernyataan tertulisnya, Selasa.
Dian menekankan, resolusi penegakan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi adalah bagian dari pendekatan yang paling komprehensif dalam menyikapi ancaman terorisme.
"Resolusi PRR (penegakan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi) jika diadopsi, akan menjadi alat kunci bagi DK PBB,” katanya, seraya menambahkan, “perlu diketahui bahwa dunia akan lebih aman dengan draf resolusi ini. Namun, kami kehilangan kesempatan berharga ini dengan tidak mengadopsinya hari ini.”
AS menjadi salah satu dari lima negara, selain Cina, Rusia, Prancis, dan Inggris yang memiliki hak veto dalam DK PBB.
Pada Februari, pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak memulangkan ratusan warga negara Indonesia yang bergabung dengan kelompok ISIS di berbagai negara, kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD.
Kendati demikian, Mahfud mengatakan pemerintah masih akan mempertimbangkan pemulangan anak-anak, khususnya yang berusia di bawah 10 tahun. “Selama mereka hanya terjebak orang tuanya dan tidak ikut pelatihan berperang, atau yatim piatu, maka mereka memiliki kesempatan untuk kembali ke Indonesia,” katanya.
Pada Juni, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar mengatakan saat ini pihaknya telah berhasil mengidentifikasi 80 anak Indonesia eks-militan ISIS yang kini berada di sejumlah negara seperti Turki, Irak, dan Suriah.
“Mereka di bawah 10 tahun. Anak-anak ini dibawa bapak ibunya berangkat ke sana,” kata Boy, merujuk laporan media lokal.
Boy belum bisa memberi kepastian kapan anak-anak itu akan dipulangkan. Menurutnya, hal ini masih terus dibahas penyelesaiannya dalam berbagai forum internasional, baik dengan negara pemegang otoritas hingga lembaga di bawah PBB.
“Pemerintah harus mengacu pada hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan nasib anak-anak mantan ISIS ini,” katanya.
Merujuk laporan Badan Intelijen Amerika Serikat CIA kepada Kementerian Polhukam, saat ini terdapat 689 warga negara Indonesia yang terlibat dalam kegiatan terorisme lintas-batas dengan ISIS. Dari jumlah itu, hanya 228 orang yang memiliki identitas lengkap sisanya tidak teridentifikasi.
Sementara, BNPT mengestimasikan terdapat 1.500 hingga 1.600 orang berkewarganegaraan Indonesia yang berbaiat dengan ISIS dan kini berada di luar negeri, kata Boy.
International Crisis Group melaporkan pada bulan April bahwa 66.000 perempuan dan anak-anak ditahan di kamp Al-Hol dan 4.000 lainnya di kamp Roj di Suriah. Sebagian besar dari mereka adalah keluarga dari pejuang ISIS, dan mayoritas adalah warga Suriah atau Irak sementara sekitar 13.500 dari negara lain.
Di tempat-tempat penahanan itu “terjadi penularan TBC dan sangat penuh sesak”, dan ada yang mengatakan “terdapat angka kematian yang dramatis.” Dan kini keadaannya telah diperparah dengan pandemi COVID-19, , demikian menurut lembaga think-tank itu.