Indonesia, Filipina Pasang ‘Hotline Lintas Batas’
2018.01.09
Davao City, Filipina

Militer Filipina dan Indonesia mengatakan pada Selasa, 9 Januari 2018, bahwa mereka telah sepakat untuk meningkatkan kerja sama untuk memantau pergerakan lintas batas warga masing-masing, seperti dengan membangun "hotline" atau jaringan komunikasi langsung untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman keamanan dan terorisme di sepanjang perbatasan bersama mereka.
Kedua negara menyetujui kesepakatan tersebut setelah dua hari pertemuan komite perbatasan gabungan yang berakhir Selasa, seminggu setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di Filipina. Dalam pertemuan mereka, Duterte dan Retno sepakat negara masing-masing "mengintensifkan pelaksanaan operasi patroli yang terkoordinasi" untuk meningkatkan keamanan maritim, seperti dinyatakan dalam perjanjian tersebut.
Pakta ini juga bertujuan "mencegah pemanfaatan perairan teritorial kita sebagai tempat berkembangnya terorisme dan kejahatan transnasional lainnya," kata pernyataan yang ditandatangani oleh kepala militer regional Filipina, Letnan Jenderal Benjamin Madrigal, dan mitranya dari Indonesia, Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda (Laksda) TNI Didik Setiyono.
Melihat kedua negara kepulauan tersebut memiliki "garis pantai yang berpori," keduanya sepakat untuk meningkatkan jumlah apa yang disebut sebagai “Pos Pengawasan Lintas Perbatasan” untuk meningkatkan pengawasan dan memfasilitasi masuknya warga kedua negara di Asia Tenggara tersebut.
"Upaya ini akan menyediakan skema sistematis untuk memantau secara ketat ke luar masuknya kedua warga negara dengan keterlibatan biro imigrasi, karantina dan bea cukai di kedua negara," kata pernyataan bersama tersebut.
Filipina dan Indonesia juga sepakat untuk meningkatkan langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelaut Indonesia dan Filipina aman dalam melakukan aktivitas mereka di laut lepas, demikian pernyataan bersama tersebut.
Komite perbatasan bersama juga memutuskan untuk membuat "hotline definitif" antara komandan angkatan laut kedua negara untuk segera menangani "situasi yang berkembang dan tantangan lainnya." Tidak disebutkan apa tantangan tersebut, namun para pejabat Filipina yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa umumnya dipahami sebagai "terorisme".
“Dari pihak Filipina, kami telah mendiskusikan dengan mitra kami dari Indonesia, beberapa item agenda yang berfokus pada peningkatan keamanan maritim yang akan berkontribusi pada usaha dalam melawan terorisme dan kejahatan transnasional dalam koordinasi yang erat antara angkatan laut dan penjaga pantai melalui pelaksanaan patroli terkoordinasi yang disempurnakan di perbatasan bersama kita," kata Madrigal.
Filipina, ujarnya, juga telah mendorong masuknya lembaga-lembaga negara lain ke dalam upaya ini, meskipun belum ada jawaban langsung mengenai hal ini.
Kesepakatan tersebut terjadi lebih dari dua bulan setelah Filipina mengalahkan militan terkait kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang sempat menduduki kota selatan Marawi, di mana militan tersebut mendapat dukungan dari para militan yang berasal dari Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Ketika pertempuran pecah pada bulan Mei 2017, Indonesia, Malaysia dan Singapura memperluas bantuan intelijen dan meningkatkan keamanan perbatasan untuk menggagalkan kemungkinan gerakan militan melintasi perbatasan.
Filipina mengalahkan kelompok militan di Marawi pada bulan Oktober, setelah Isnilon Hapilon dan anak buahnya mengambil alih kota di Filipina selatan itu, yang memicu pertempuran terburuk di negara itu dalam beberapa tahun belakangan ini. Hapilon terbunuh di Marawi, namun kota yang dulu makmur itu kini masih dalam reruntuhan. Pasukan militer saat ini terus mengejar sisa-sisa militan Filipina yang tersebar di wilayah Mindanao tengah.
Lebih dari 1.000 kombatan dan warga sipil tewas dalam pertempuran lima bulan tersebut.