Indonesia Tawarkan Investasi Senilai USD60 Miliar ke China

Tria Dianti & Ami Afriatni
2018.12.07
Jakarta
181207-ID-China-investment-1000.jpg Sejumlah Tukang sedang bekerja di lokasi konstruksi flyouver di Jakarta, 22 September 2011.
AFP

Indonesia menawarkan projek baru senilai USD60 miliar kepada investor China sebagai bagian untuk mendukung Beijing's Belt and Road Initiative (BRI) meski ada hambatan dalam proses investasi tersebut.

"Indonesia menawarkan kepada para investor China projek  50-60 miliar USD, dan sudah ada pembahasan. Investasi ini untuk daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Bali," kata Ridwan Djamaluddin, Deputi 3 Kementerian Koordinator Kemaritiman ketika dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Jumat, 7 Desember 2018.

Menurut dia, konsepnya tidak hanya one belt one road, tapi juga poros maritim dunia, karena Indonesia sebagai global maritime fulcrum bagi pengembangan wilayah terpadu.

Pakar ekonomi dari Bank BCA, David Sumual menilai tak ada yang spesial terkait dengan penawaran Indonesia kepada China karena hal serupa juga terbuka untuk kesempatan investasi dengan negara lain.

"Bukan hanya ke China tapi juga negara-negara Eropa, Amerika, semua disambut baik oleh Indonesia untuk investasi dalam jumlah besar," katanya.

Ia mengakui, ada beberapa proyek dengan China yang mengalami hambatan sehingga tertunda pembangunan seperti kereta api cepat antara Jakarta dan Bandung.

"Hambatannya bukan di China tapi di Indonesia karena masalah lahan dan tanah, memang PR kita itu untuk mempercepat penyelesaian lahan, " kata David.

Ia menambahkan kemudahan fasilitas pengurangan PPh, kebijakan paket ekonomi dan daftar negatif investasi juga upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi guna mengurangi defisit transaksi berjalan yang sedang dialami Indonesia.

"Transaksi berjalan Indonesia bersaing ketat dengan Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia," ujarnya.

Fasilitas pengurangan PPh, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No 150 tahun 2018, sudah terbit dan ditandatangani Sri Mulyani, pada 27 November 2018 lalu.

Peraturan tersebut tidak hanya memperluas sektor bidang usaha yang bisa menerima fasilitas pengurangan PPh, tapi juga memudahkan pengusaha untuk mengurus izin, melalui sistem Online Single Submission.

Tapi, pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai China dianggap spesial bagi Indonesia karena merupakan salah satu negara terbesar di dunia yang menawarkan investor besar.

"Wajar saja jika kini Indonesia berkiblat ke China dan memberikan karpet berlebihan ke China. Tak hanya Indonesia yang dimasuki, tapi investasi China juga masuk ke Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina," katanya.

Namun, kata dia, yang menjadi masalah adalah ketika kerja sama tersebut tidak jelas manfatnya terhadap perekonomian domestik Indonesia.

"Sepanjang menguntungkan tidak masalah mendapatkan investor darimana, maka dari itu Indonesia banyak memberikan insentif ke China karena saat ini China menjadi leader ekonomi," ujar Enny.

Jika dihubungkan investasi China di Indonesia, tambahnya, harus dilihat apakah untung atau rugi dan krusial di Indonesia.

Selain itu, China merupakan negara tujuan ekspor kedua untuk Indonesia walau masih sebatas ekspor komoditas. Impor Indonesia dari China mencapai 27 persen dari total seluruh investasi.

Enny menyarankan Indonesia agar melakukan evaluasi terkait dengan segala bentuk kerjasama dengan negara asing, misalnya investasi untuk kereta Jakarta - Bandung.

"Yang Indonesia butuhkan sekarang adalah infrastruktur mobilitas barang karena kalo ada insfrastruktur, mobilitas efisien memerlukan logistik sehingga meningkatkan penurunan biaya logistik," katanya.

Disambut baik

Sementara itu, Direktur Deputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Iwan Ungsi menyambut baik inisiatif one belt one road.

"Kalau dari sisi BKPM, Kami siap saja menerima,” katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, inisiatif  tersebut sangat signifikan bagi Indonesia karena proyeknya terkait listrik, energi dan infrastruktur di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali.

Terkait pengalaman kurang menyenangkan yang dialami sejumlah negara yang bekerja sama dengan Cina, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistyaningsih menyatakan agar tidak hanya melihat sisi negatif saja.

"Positifnya itu pemerintah ingin investasi tapi tidak punya uang. Sama seperti kita, ingin beli rumah tapi tidak punya uang. Terus kemana kita perginya? Ke tempat yang bisa kasih pinjaman,” katanya saat dihubungi.

“Sekarang pilihan pemerintah mau pinjam sama siapa. Ini yang tersedia dan uangnya gampang keluar itu di Cina."

Lana menilai investasi Cina mirip dengan yang pernah dialami di zaman pemerintahan Soeharto.

"Bentuknya in-kind project, tidak dikasih uang tapi dikasih barang. Jadi proyek-proyek Cina akan datang dengan tenaga kerja dan segala macamnya,” jelasnya.

Menurut Lana, saat ini tak banyak negara yang secara bilateral mau memberikan utang proyek, seperti Cina.

“Yang kita perlukan saat ini adalah uang. Kebetulan Cina punya dan siap dengan modal tadi," paparnya.

Lana juga menyambut baik sejumlah inisiatif pemerintah sebagai bentuk antisipasi ke depan, yakni dengan menyiapkan skema business to business (B2B) serta pelibatan tenaga kerja lokal.

"Kalau kita punya posisi tawar, tidak apa-apa. Justru harusnya seperti itu, jangan sampai dimanfaatkan. Waktu zaman Pak Harto hutang dalam bentuk proyek banyak kelemahannya,” katanya.

Lana menyetujui kerjasama B2B, meski dalam hal ini diwakili BUMN. Hanya saja BUMN harus mampu mengendalikan hutangnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.