Indonesia Memperjuangkan Keseimbangan Kebebasan Berbicara dan Upaya Mencegah Radikalisme

Oleh Yenny Herawati
2015.04.01
150401_ID_YENNY_MERETAS_SITUS_RADIKAL_700.jpg Seorang bocah membaca majalah diatas tumpukan surat kabar di kota Yogyakarta tanggal 1 Agustus, 2012.
AFP

Pemblokiran situs radikal atas permintaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dikuatirkan oleh aktivis dan cendikiawan Islam sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan membendung keseimbangan informasi bagi umat Islam.

Muhammad Jibriel Abdul Rahman pemilik media Arrahmah mengatakan pemblokiran ini tidak wajar.

“Kami sadar Arrahmah selalu menjadi target jika kembali menghangat isu radikalisme. Tapi jangan melihat kami sebagai momok,” katanya kepada CNN tanggal 31 Maret.

Ia mengatakan bahwa Arrahmah sudah berusia 10 tahun dan melaporkan dengan terbuka.

“Kami akui memang Arrahmah menulis soal isu yang berbau jihad, namun perlu digaris bawahi semuanya itu belum tentu berkaitan dengan ISIS. Jadi, apabila pertimbangannya adalah penyebaran kebencian dan kekerasan, kami menilai itu berlebihan,” katanya.

Situs radikal berbahaya

BNPT baru-baru ini meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memblokir sejumlah situs radikal untuk mencegah berkembangnya ideology radikal di Indonesia.

Permintaan itu dilakukan karena semakin banyaknya warga negara Indonesia (WNI) yang mendukung the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

“BNPT bertindak berdasarkan aduan masyarakat dan sudah menyelidiki situs-situs tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika masyarakat tidak puas kami siap menjelaskan,”kata Kepala BNPT Saud Usman Nasution kepada BenarNews, tanggal 31 Maret.

BNPT, lanjut Saud, memiliki kriteria dalam menilai sebuah situs radikal.

"Hasil penelitian tim kami menyimpulkan beberapa situs yang nyata-nyata mengajarkan jihad dan paham radikal telah menyebarkan isu berbau suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)," kata Saud.

Situs yang diblokir masih bisa dibuka

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan Kemkominfo telah memblokir 70 situs radikal tanggal 24 Maret lalu diikuti dengan pemblokiran 22 situs radikal tanggal 30 Maret.

Meskipun demikian sejumlah website yang telah diretas ternyata masih dapat diakses di Indonesia dan luar negri.

“Dari Surabaya, Jawa Timur, saya masih bisa membuka sejumlah situs yang diberitakan telah diblokir termasuk Arrahmah.com, Kiblat.net dan voa-islam.com,” kata Rifa Wahyuni, seorang warga Surabaya yang menguji keberadaan beberapa situs yang diretas.

Peninjauan ulang

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memerintahkan Kemkominfo untuk meninjau ulang peretasan ini.

JK mengaku telah menghubungi Menkominfo Rudiantara untuk memeriksa kembali situs yang diretas.

"Kalau hanya karena ada nama 'Islam' lalu otomatis diblokir ini tidak benar. Kita harus bijaksana dan menghargai perjuangan ke arah demokrasi. Salah satunya adalah kebebasan pers," kata JK tanggal 1 April ketika berbicara di kantornya.

JK mengingatkan betapa rakyat haus akan arus informasi saat berada dibawah rezim otoriter Suharto.

“Sebaiknya kebijakan ini ditinjau dan dipertimbangkan ulang,” lanjut JK.

Proses peradilan

Ismail Hasani, peneliti dari Setara Institute, mendesak pemerintah tidak menggunakan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam menangkal ideologi ISIS.

"Harusnya ada peringatan, pengelola situs dipanggil lalu Kemkominfo memverifikasi situs yang dianggap radikal. Tindakan meretas situs seharusnya dilakukan dalam konteks administratif dan bukan penghukuman. Sekarang ini kebijakan tersebut sangat kontraproduktif," ujar Hasani kepada BenarNews via telepon tanggal 1 April.

Hasani berkata peretasan ini harus diuji melalui proses peradilan.

"Kami setuju ancaman ISIS harus ditangkal tapi harus dengan cara yang dibenarkan demokrasi. Kalau hanya didasarkan selembar surat BNPT seperti ini, nantinya semua media berpotensi ditutup. Ini buruk untuk kebebasan berekspresi," katanya.

Pernyataan yang sama disampaikan oleh cendekiawan Islam.

“Saya melihat kebijakan BNPT untuk pemblokiran situs dan rencana pembentukan Undang-Undang anti terorisme berbahaya karena mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan dan pengkerdilan ormas-ormas dan intelektual Islam,” kata Abdul Chair Ramadhan, anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada BenarNews.

“Kebijakan ini hanya menguatkan kaum sekularis, pluralis dan liberalis (SEPILIS) dan komunis yang memang menginginkan pemisahan antara negara dan agama,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.