Indonesia Resmi Kuasai 51 Persen Saham Freeport
2018.07.12
Jakarta

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah telah menandatangani kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) yang memberikan kewenangan terhadap Indonesia untuk memiliki sebagian besar saham dari unit lokal perusahaan tambang raksasa Amerika yang terletak di Papua tersebut.
"Saya telah mendapatkan laporan bahwa holding industri pertambangan kita, PT Inalum telah mencapai kesepakatan awal dengan Freeport pengolahan untuk meningkatkan kepemilikan kita menjadi 51 persen dari yang sebelumnya 9,36 persen," kata Jokowi di Tangerang Selatan, Banten, Kamis, 12 Juli 2018, merujuk pada BUMN tambang Indonesia PT Indonesia Asahan Aluminum yang ditunjuk sebagai eksekutor divestasi.
Menurut Jokowi, negosiasi untuk menguasai saham PTFI hingga 51 persen dilakukan pemerintah dengan jalan berliku dan tidak mudah karena selama 50 tahun perusahaan raksasa itu mengelola tambang emas tersebut.
"Tiga setengah tahun yang kita usahakan sangat alot, jangan dipikir mudah, dan begitu sangat intens sekali dalam satu setengah tahun ini," paparnya.
Ia mengatakan pencapaian teresebut sebagai sebuah lompatan.
“Kita harapkan nanti kita akan mendapatkan income yang lebih besar, baik dari pajak, royaltinya dari deviden, dari retribusinya, sehingga nilai tambah komoditas tambang bisa dinikmati oleh kita semua. Kepentingan nasional harus dinomorsatukan," tambah Jokowi.
Berdasarkan kesepakatan itu, nilai akuisisi hingga 51 persen saham PTFI membutuhkan dana US43,85 miliar atau Rp53,9 triliun yang ditargetkan akan rampung akhir Juli 2018.
Dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar, Freeport menyatakan bahwa para pihak menyepakati keberlangsungan operasi PTFI hingga tahun 2041 dengan detail mekanisme yang akan dibahas lebih lanjut.
"Sebagai entitas bisnis Indonesia, PT Freeport Indonesia meyakini bahwa kesepakatan pokok tersebut akan memberikan manfaat bagi semua pihak," tulis rilis tersebut.
PTFI juga mengatakan perpanjangan izin operasi akan memberi jaminan bagi investasi bernilai miliaran dolar dan sekaligus kepastian bagi seluruh pemegang saham, karyawan, masyarakat Papua, pemasok dan kontraktor, serta pemangku kepentingan.
"Kita bisa dapat profit setengah dari profit rata-rata tahunan mereka yang US$2 miliar per tahun," kata Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa dengan pemegang saham mayoritas oleh Indonesia, peningkatan kesejahteraan warga Papua dapat ditingkatkan.
Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika akan memperoleh 10 persen dari 51 persen saham tersebut.
"Diharapkan partnership antara FCX dengan Inalum dengan Pemerintah pusat dan daerah mampu tingkatkan kepastian dalam lingkungan operasi dan kualitas dan value added industry. Jadi kemakmuran bagi Indonesia dan Papua," ujarnya.
‘Tak libatkan masyarakat’
Meski Freeport dan Pemerintah Indonesia menyambut baik kesepakatan dan bakal ada keuntungan besar diraih, aktivis Jaringan Tambang (JATAM), Merah Johansyah, menilai pokok-pokok kesepakatan itu cacat secara moral dan hukum.
Pasalnya, kata Merah, semua negosiasi dengan Freeport tidak melibatkan masyarakat Papua secara menyeluruh.
"Ini hanya dilakukan oleh pemerintah diwakili Kementrian Keuangan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN dan juga Freeport,” ujarnya kepada BeritaBenar.
“Tidak melibatkan komponen paling penting, yaitu rakyat Papua. Apakah masyarakat masih membutuhkan kehadiran Freeport atau tidak di situ. Harus ada referendum untuk keberadaan Freeport di Papua."
Kesepakatan ini juga dinilainya cacat hukum karena saat ini sedikitnya ada dua masalah hukum yang sedang dihadapi Freeport.
Pertama, temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang menyebutkan kerugian negara dan potensi pelanggaran keuangan negara yakni berupa pajak yang semestinya disetor Freeport.
"Contohnya pajak air tanah sejak tahun 1991 sampai sekarang," ujar Merah.
Pelanggaran hukum lain, tambahnya, adalah yang terkait dengan pembuangan limbah ke Laut Arafuru.
"Tailing ini menutupi sejumlah pulau kecil yang ada dekat situ. Itu skandal lingkungan hidup yang belum menjadi perbincangan dalam proses negosiasi," tegas Merah.
Cacat hukum lain, lanjut Merah, janji pembangunan smelter yang belum direalisasikan.
"Janji smelter ini kan sejak 2009. Paling lama lima tahun setelah UU 4/2009 semestinya Freeport sudah membangun smelter dengan perusahaan yang lain. Tapi sampai saat ini tidak merealisasikan pembangunan smelter," imbuhnya.
Merah juga menyebutkan divestasi perusahaan tambang gagal dimana-mana karena ditunggangi atau diserobot oleh kepentingan oligarki maupun kepentingan keuangan di luar entitas selama ini.
"Divestasi menjadi bancakan bagi oligarki lokal dan nasional," tegasnya.
Kerugian besar
Sedangkan, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan langkah pemerintah mengakuisisi Freeport akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia karena harganya terlalu mahal.
"Mereka menghitung harga dengan catatan kontrak sampai 2041. Sementara hak untuk tidak memperpanjang ada ditangan kita. Kalo memang kita mau harga murah, kita juga manfaatkan itu," ujarnya saat dihubungi.
Senada dengan JATAM, Marwan mengatakan banyak kerusakan lingkungan dilakukan Freeport.
"BPK sudah melakukan hitung-hitungan. Mereka harus membayar sanksi puluhan triliun atau malah hingga ratusan triliun. Itu harus diselesaikan dulu. Kalau seandainya Freepot bilang bahwa BPK tidak eligible untuk menghitung sanksi, BPK kan lembaga institusi pemerintah," katanya.