Indonesia, Malaysia Tidak Dikontak Kurdi tentang Ditahannya Pejuang ISIS

Militan dari Indonesia dan Malaysia, beserta keluarga mereka ditahan aparat Kurdi di Suriah.
Muzliza Mustafa, Zam Yusa & Tria Dianti
2018.11.08
Kuala Lumpur & Jakarta
181108-MY-IS-Kurds-1000.jpg Dalam foto tertanggal 5 April 2018 ini, terlihat bangunan yang rusak di Raqqa, Suriah, akibat perang antara ISIS dan pemerintah Suriah yang didukung Amerika.
AP

Pejabat Malaysia dan Indonesia mengatakan mereka belum mendengar dari pemerintah de facto Kurdi di Suriah utara yang mengklaim telah menahan banyak pejuang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari negara-negara Asia Tenggara, beserta keluarga mereka.

Anggota badan penanggulangan terorisme dari Malaysia dan Indonesia mengatakan mereka tidak dapat mengkonfirmasi apakah warga negara mereka, yang diduga mengangkat senjata untuk ISIS, ditahan oleh pemberontak Kurdi setelah jatuhnya ISIS di Suriah dan Irak.

"Sulit untuk mendapatkan jumlahnya karena kami tidak memiliki akses pada saat ini," Ayob Khan Mydin Pitchay, kepala divisi penanggulangan teroris kepolisian Malaysia, mengatakan kepada BeritaBenar.

"Kami masih tidak tahu pasti apakah kami memiliki warga yang ditahan oleh pasukan pemberontak Kurdi," ujarnya, Kamis.

Di Jakarta, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak menerima informasi apakah pemerintah Kurdi menahan pejuang ISIS dari Indonesia dan keluarga mereka, demikian menurut seorang deputi kerjasama internasional BNPT.

“Kami belum melihat laporan apa pun yang mengonfirmasi hal itu,” kata Hamidin kepada BeritaBenar.

Sementara itu, seorang pejabat di kementerian luar negeri (Kemlu) Indonesia, mengatakan pemerintah tidak akan mengizinkan warga negara Indonesia yang telah mengangkat senjata untuk ISIS di Timur Tengah untuk dipulangkan ke tanah air, meskipun pemerintahan de facto Kurdi mengeluarkan permohonan baru-baru ini. Pemerintah Kurdi meminta negara-negara yang memiliki warga menjadi pejuang ISIS begitu juga keluarga mereka yang ditahan untuk dipulangkan ke negara masing-masing.

“Apa yang kami pahami adalah bahwa kami tidak akan pernah memulangkan mereka yang menjadi pejuang karena ketika mereka berjuang untuk ISIS mereka telah membuat keputusan secara sadar untuk melakukan perjalanan ke sana,” Lalu Muhammad Iqbal, direktur Kemlu untuk perlindungan warga Indonesia di luar negeri, mengatakan kepada BeritaBenar.

"Jika mereka adalah pejuang, kami serahkan kepada otoritas penegak hukum setempat untuk membawa mereka ke pengadilan menurut hukum Kurdi setempat," tambahnya.

Anggota parlemen Inggris, Maurice Glasman (kiri) bertemu dengan pejabat Kurdis Abdulkarim Omar di Kota Qamishli, Suriah utara, 4 April, 2018. [AFP]
Anggota parlemen Inggris, Maurice Glasman (kiri) bertemu dengan pejabat Kurdis Abdulkarim Omar di Kota Qamishli, Suriah utara, 4 April, 2018. [AFP]

‘Beberapa militan sangat berbahaya'

Para pejabat di Asia Tenggara bereaksi terhadap komentar yang dibuat oleh pejabat Kurdi dalam wawancara baru-baru ini dengan BeritaBenar.

Pemberontak di Suriah utara menahan hampir 900 pejuang ISIS, bersama dengan 400 hingga 500 perempuan dan lebih dari 1.000 anak dari 44 negara, yang telah ditangkap setelah basis ISIS di wilayah itu jatuh, kata Abdulkarim Omar, wakil ketua Komisi Hubungan Internasional di Suriah utara.

“Kami selalu menyatakan kesediaan kami untuk menyerahkan para pejuang asing ISIS kepada pemerintah mereka, tetapi sayangnya sebagian besar negara mencoba untuk mengabaikan tanggung jawab mereka,” Omar mengatakan kepada BeritaBenar melalui email.

“Jumlah pejuang ISIS Indonesia dan Malaysia, perempuan, dan anak-anak tidak sedikit, terutama orang Indonesia.

“Wilayah kami tidak stabil. Setiap kekacauan dapat memungkinkan pejuang ISIS melarikan diri. Beberapa pejuang itu berbahaya dan bisa menjadi ancaman serius di Eropa dan komunitas internasional,” katanya.

Perempuan dan anak-anak dalam keluarga ISIS telah mendalami ideologi radikal dan “mereka membutuhkan rehabilitasi, dan kami tidak dapat mengamankan sendirian,” ujarnya memperingatkan.

“Dengan demikian, setiap negara harus memikul tanggung jawabnya dan bekerja untuk mengamankan warganya dan menuntut mereka di negara mereka.”

Pada akhir September, Omar mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintahan de facto tidak dapat menahan pejuang ISIS yang ditangkap dan keluarga mereka tanpa batas, demikian laporan oleh Reuters.

"Bagi kami itu adalah jumlah yang sangat besar karena Daesh (ISIS) ini berbahaya dan mereka melakukan pembantaian, dan kehadiran mereka dalam tahanan kami adalah kesempatan bagi komunitas internasional untuk mengadili mereka," kata Omar sebagaimana dikutip Reuters.

"Kami sendirian tidak bisa menanggung beban ini," tambahnya kemudian.

Dalam komentarnya kepada BeritaBenar, Omar mengatakan "keputusan kami untuk tidak mengadili di wilayah kami adalah tegas, dan kami akan menggunakan cara diplomatik untuk menyerahkan para militan kepada pemerintah mereka."

Dia menolak memberikan angka pasti jumlah pejuang ISIS Asia Tenggara dan keluarga mereka di tahanan Kurdi, mengatakan karena masalah keamanan.

"Namun, jika upaya kami tidak membuahkan hasil, maka kami akan mengambil posisi baru yang akan diumumkan pada waktu yang tepat."

Salah satu pilihan adalah mengadili pejuang ISIS dan mengirim mereka kembali ke negara asal mereka untuk menjalani hukuman, katanya.

Tidak bernegosiasi dengan pemberontak

Di Kuala Lumpur, Ayob mengatakan pemerintah Malaysia tidak akan bernegosiasi dengan "aktor non-negara" dalam konflik Suriah seperti pemberontak Kurdi.

"Kami harus mendapatkan bantuan dari ICRC, UNHCR atau pemerintah Suriah," kata Ayob kepada BeritaBenar, mengacu pada Komite Internasional Palang Merah dan badan pengungsi PBB.

“Kami tidak terlibat dengan para pemberontak. Tetapi jika para pemberontak memutuskan untuk membebaskan mereka, kami akan memohon bantuan ICRC untuk membawa mereka keluar dari Suriah dan membawa mereka pulang. ”

Sebelumnya, pejabat Malaysia mengatakan bahwa 102 warga Malaysia telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS sejak 2013.

Pada bulan Oktober, polisi Malaysia mengungkapkan bahwa mereka telah berhasil membawa pulang seorang janda dan dua anaknya dari Suriah setelah kematian suaminya, seorang pejuang ISIS Malaysia, pada Februari.

Janda yang memiliki nama samaran "Aisyah” itu diperlihatkan ke publik oleh Ayob dan kepala polisi Malaysia Mohamad Fuzi Harun dalam konferensi pers di Kuala Lumpur pada 25 Oktober.

Aisyah mengatakan bahwa dia telah ditipu oleh mendiang suaminya untuk percaya bahwa perjalanan mereka ke luar negeri tahun 2016 adalah ke Turki, sebelum dia dan anak satu-satunya diselundupkan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Pada saat itu, Fuzi mengatakan pemerintah Turki membantu upaya membawa mereka pulang ke Malaysia. Dia mengatakan pihak berwenang sedang mencari empat kelompok lainnya di Suriah yang telah meminta bantuan untuk dipulangkan.

Setelah markas ISIS di Raqqa, Suriah, jatuh tahun lalu, 18 warga Indonesia yang ditemukan di daerah itu dideportasi kembali ke negara tanah air, kata Lalu, pejabat Kemlu.

"Setelah proses pemeriksaan oleh pasukan Kurdi, 18 orang dideportasi tetapi mereka bukan pejuang ISIS, kebanyakan perempuan dan anak-anak," kata Lalu kepada BeritaBenar.

"Kami belum menerima informasi langsung dari mereka (pasukan Kurdi) lagi," katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.