Indonesia Larang WNI Berlayar di Sabah, Kritik Malaysia
2020.01.21
Jakarta

Pemerintah mengimbau kepada pelaut dari Indonesia untuk tidak melaut di sekitar perairan Sabah setelah mengungkapkan kekecewaan atas kinerja otoritas keamanan Malaysia menyusul insiden penculikan lima awak kapal asal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf dari Filipina pekan lalu.
Imbauan yang dirilis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dan disebarkan melalui perwakilan di Kota Kinabalu dan Tawau, Malaysia, itu berlaku hingga adanya jaminan keamanan dari otoritas terkait.
“Untuk mencegah terulangnya kasus penculikan, Pemerintah RI mengimbau awak kapal WNI untuk tidak melaut karena situasi keamanan di Perairan Sabah yang belum terjamin,” sebut pernyataan resmi Kemlu yang diterima BenarNews, Selasa (21/1/2020).
Kemlu mengatakan kelompok Abu Sayyaf berada di balik penculikan kelima WNI yang terjadi pada hari Kamis (16/1/2020).
Kementerian itu juga mengimbau kepada calon pekerja migran Indonesia untuk tidak bekerja sebagai awak kapal yang beroperasi di wilayah perairan Sabah.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengecam koordinasi aparat keamanan Malaysia dan turut meminta otoritas untuk meningkatkan standar keamanan di wilayah tersebut.
“Betul-betul kami menyesalkan hal ini terjadi berulang dan kelihatannya kondisi itu antara lain karena koordinasi dan keterlibatan para pihak yang berwenang di Malaysia yang kurang efektif selama ini,” kata Mahendra dikutip dari Medcom.id usai menghadiri rapat bersama Komisi I DPR RI, Senin (20/1/2020).
Kapal yang ditumpangi kelima WNI itu awalnya membawa delapan awak. Pada Jumat (17/1/2020) sekitar pukul 21.00 waktu setempat, kapal dengan nomor registrasi SSK 00543/F terlihat masuk kembali ke Perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah, dari arah perairan Filipina.
“Di dalam kapal terdapat tiga awak kapal WNI yang dilepaskan penculik dan mengkonfirmasi lima awak kapal WNI lainnya dibawa kelompok penculik,” sebut rilis Kemlu.
Kelima WNI dilaporkan bernama Arsyad Dahlan (41), Laa Baa (32), Riswanto Hayono (27), Edi Lawalopo (53), dan Syarizal Kastamiran (29). Kelimanya bekerja untuk perusahaan perikanan yang berbasis di Sandakan, Malaysia. Adapun tiga nelayan yang dibebaskan bernama Abdul Latif (37), Daeng Akbar (20), dan Pian Janiru (36).
Menanggapi kritik Mahendra, Kepala Komando Keamanan Sabah Timur di Malaysia, Hazani Ghazali, mengatakan, “Kami sudah melakukan yang terbaik.” Ia menolak berkomentar lebih lanjut.
Kemlu Malaysia menolak memberikan komentar kepada BenarNews.
Otoritas Malaysia telah memberlakukan jam malam di Sabah untuk membatasi pergerakan kelompok-kelompok bersenjata yang terlibat dalam penculikan.
Patroli bersama
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyatakan pihaknya bakal menyusun sejumlah langkah penyelesaian kasus penculikan yang terus berulang oleh kelompok radikal asal Filipina ini.
Beberapa opsi disusun, salah satunya melakukan patroli dan penyergapan bersama dengan Malaysia dan Filipina.
“Mungkin nanti ada operasi bersama, mungkin patroli bersama, ada penyergapan bersama. Bisa macam-macam lah itu,” kata Mahfud di kantornya, Selasa.
Indonesia, Malaysia dan Filipina telah menandatangani peluncuran patroli laut trilateral di kawasan perairan ketiga negara pada Oktober 2017 dengan tujuan mengurangi risiko penculikan dan aksi terorisme lainnya.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte, pada September 2018, mengusulkan untuk melakukan operasi gabungan di perairan Sulawesi (Indonesia), Sulu (Filipina), dan Sabah (Malaysia), sebagai peningkatan kerja sama patroli tahun 2017 itu.
Namun usulan itu ditolak Indonesia. Ketika itu pemerintah lebih memilih untuk mengevaluasi kerja sama patroli gabungan yang disepakati dalam Kesepakatan Kerja Sama Trilateral (TCA) yang mencakup Patroli Maritim Trilateral (TMP) dan Patroli Udara Trilateral (TAP).
Mahfud berharap semua pihak berkomitmen dalam penyelesaian kasus ini secara jangka panjang, bukan kasus per kasus.
“Kita ingin menyelesaikan bukan sekadar yang lima itu. Karena itu sudah terjadi berkali-kali, kan? Capek kita, ada lagi, ada lagi. Kita akan membicarakan itu dalam waktu dekat tetapi tentu pengintaian terus dilakukan sebagai kegiatan rutin dari kerja sama kita,” tukas Mahfud.
Kasus terbanyak
Data International Maritime Bureau-Commercial Crime Services (IMB-ICC) menunjukkan, Indonesia adalah negara dengan kasus penyanderaan awak kapal komersial terbanyak dibanding Malaysia dan Filipina, meski tidak dijabarkan pelaku penyanderaannya.
Sampai Oktober 2018, kejadian penyanderaan terhadap awak kapal WNI mencapai 431 kasus, sementara Malaysia sebanyak 63 kasus, dan Filipina 55 kasus.
Adapun catatan Kemlu menyebut sepanjang tahun 2000-2019, sebanyak 39 WNI diculik oleh kelompok Abu Sayyaf di Sabah, Malaysia. Satu orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Abu Sayyaf, kelompok militan bersenjata yang terafiliasi ISIS dan berbasis di Filipina selatan telah sering melakukan penculikan terhadap orang asing dalam beberapa tahun terakhir untuk uang tebusan. Korban penculikan termasuk warna negara Malaysia dan Indonesia.
Bulan September 2019, tiga nelayan warga Indonesia diculik dari kapal mereka di lepas pantai timur Sabah dekat perbatasan dengan Filipina. Tentara Filipina berhasil membebaskan dua dari tiga nelayan tersebut dalam operasi militer pada Desember tahun lalu, dan seorang sisanya diselamatkan pertengahan Januari tahun ini.