Indonesia dan Turki Tingkatkan Kerja Sama Memerangi Terorisme

Tia Asmara & Zahara Tiba
2017.07.07
Jakarta
170707-INDO-jokowi-620.jpg Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara, Iriana, melakukan foto bersama Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan istrinya, Emine, di Ankara, Turki, 6 Juli 2017.
Dok. Biro Pers Setpres

Indonesia dan Turki sepakat meningkatkan kerja sama untuk memerangi terorisme. Itu adalah satu dan sejumlah kesepakatan yang dicapai Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat mengadakan pembicaraan dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan di Ankara, Kamis, 6 Juli 2017.

"Indonesia dan Turki telah sepakat untuk meningkatkan kerja sama, terutama terkait dengan foreign terrorist fighters (FTF) melalui kerja sama bidang informasi intelijen,” kata Jokowi, seperti dilansir dalam siaran pers Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, yang diterima BeritaBenar, Jumat.

Selain itu, tambahnya, kedua negara juga bekerja sama dalam pembangunan sistem teknologi informasi (IT) di bidang intelijen sehingga memudahkan “kita bekerja sama dalam rangka memberantas terorisme."

Dalam jumpa pers bersama Jokowi, Erdogan menyatakan terorisme bukan lagi isu lokal, tetapi memiliki implikasi yang perlu kerja sama global dan Indonesia sangat memahami cara menghadapi terorisme.

“Untuk menangani isu (terorisme) kita memiliki diskusi dengan Bapak Presiden (Jokowi) di bidang pertahanan, terorisme, kita melakukan pertukaran pendapat dan terkait isu-isu ini, kami telah menyepakati langkah penting untuk kebaikan kedua negara," katanya.

Tapi, dalam siaran pers itu tak disebutkan apakah kedua kepala negara juga membahas tentang warga negara Indonesia (WNI) yang sering ditangkap dan dideportasi dari Turki ketika hendak menyeberang ke Suriah untuk bergabung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Menurut data Kementerian Luar Negeri, sekitar 300 WNI telah dideportasi dari Turki sejak tahun 2015 hingga awal tahun ini. Namun, mereka tak bisa diproses hukum karena belum ada aturan untuk menjerat WNI yang diduga hendak masuk ke Suriah.

Di sektor pertahanan, Jokowi menyambut baik hasil kerja sama berupa peluncuran tank kelas menengah “Kaplan” produksi bersama Indonesia dan Turki. Selain itu, disepakati pula untuk mengembangkan kerja sama kedirgantaan, perdagangan dan investasi, dan energi.

Kesulitan

Sehari sebelumnya, Agung Sampurno, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mengaku pihaknya agak kesulitan mengidentifikasi WNI terlibat ISIS, yang kembali dari Suriah dan negara konflik lain.

“Persoalannya tidak ada pesawat direct. Pasti mereka menggunakan negara ketiga (untuk transit) terutama Malaysia, baru ke sini,” ujarnya kepada wartawan.

“Ketika mereka pulang dari Suriah dan Turki menuju Indonesia menggunakan negara ketiga, berarti mereka tidak diketahui. Bisa diketahui jika ada informasi intelijen yang datang dari instansi terkait di Turki atau Suriah.”

Selain itu, tambah Agung, WNI yang pulang dari Suriah dan Turki dimasukkan ke dalam kelompok high risk information, sehingga data mereka tak akan diumumkan ke publik.

“Ini bentuk antisipasi, karena bisa jadi ada anggota keluarganya terlibat. Kalau kemudian diumumkan, hilang semua orang-orang ini. Kami tidak bisa kasih nama karena tugas imigrasi hanya mengambil dan menyerahkan (yang bersangkutan) ke BNPT.”

Menurutnya, imigrasi terus bekerja sama dengan instansi terkait seperti Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dalam memantau pergerakan WNI yang diduga terlibat ISIS.

Ditjen Imigrasi mencatat ada 83 warga Indonesia dari 91 nama yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait keterlibatan mereka dengan ISIS sejak Januari hingga Juni 2017. Angka ini di luar 18 orang lain yang masuk DPO atas dugaan keterlibatan kegiatan terorisme lainnya.

Dugaan keterkaitan dengan ISIS, Dirjen Imigrasi mencatat dua warga Turki dan seorang dari Suriah masuk DPO. Sementara dalam DPO terorisme, Aljazair mencatatkan jumlah terbanyak, yakni 19 orang.

Dirjen Imigrasi juga telah menangkal 127 warga Afghanistan dan 40 warga Filipina yang berusaha masuk ke Indonesia atas dugaan keterkaitan terorisme, katanya.

Tidak boleh menyerah

Sementara itu, penasihat BNPT Nasaruddin Umar mengatakan aparat negara tidak boleh merasa kesulitan dalam setiap upaya memerangi terorisme dan radikalisme.

“Aparat tidak boleh mengeluh apalagi mengalah terhadap hal-hal yang bisa merontokan kewibawaan negara,” ujarnya kepada BeritaBenar.

“Kalau ada WNI membawa pulang ajaran ISIS, itu bisa jadi kekhawatiran. Tapi kalau dia pulang sebagai WNI saja, perlu diperlakukan secara wajar dan manusiawi.”

Nasaruddin, yang juga merupakan Imam Besar Masjid Istiqlal, menambahkan sejauh ini BNPT sudah on the right track dengan melakukan pendekatan kemanusiaan bagi WNI yang kembali dari Suriah dan Turki.

“Saya ingin ingatkan publik, tidak semua orang yang pulang dari Suriah berarti anggota ISIS. Ada anak-anak kita yang belajar di situ. Memang ada gangguan di pinggiran kota, tapi perguruan tinggi tertentu masih tetap normal. Suriah dulu kan daerah moderat, bukan daerah garis keras,” ujar Nasaruddin.

Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie menyatakan, pihaknya terus menggalakkan berbagai upaya untuk menangkal terorisme masuk dan berkembang di Indonesia, antara lain melalui pengawasan dan penegakan hukum saat menerbitkan paspor dan berlintas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).

“Imigrasi juga mengintegrasikan database dengan interpol di TPI. Kami juga melakukan pertukaran data dan informasi soal WNI yang terlibat terorisme dengan instansi terkait, serta mengoptimalkan peran sekretariat tim pengawasan orang asing yang diupayakan sampai ke tingkat desa,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.