Pemerintah desak UNHCR dorong negara peratifikasi konvensi pengungsi tampung Rohingya
2023.12.13
Jakarta

Indonesia pada Rabu (13/12) mendesak UNHCR untuk mendorong negara-negara yang meratifikasi konvensi pengungsi bersedia menampung etnis Rohingya menyusul gelombang pengungsi asal Myanmar itu terus berdatangan ke Aceh, menyatakan kekhawatiran atas perdagangan manusia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan dengan kepala badan pengungsi PBB, UNHCR, Filippo Grandi di Jenewa, menekankan pentingnya mengatasi masalah pengungsi Rohingya dengan pendekatan kolektif.
“Saya menyampaikan kepada UNHCR di dalam pertemuan tersebut untuk terus mendesak kepada negara pihak konvensi pengungsi untuk segera mulai menerima resettlement sehingga beban tidak bergeser ke negara lain seperti Indonesia,” ujar Retno dalam keterangannya, Rabu.
BenarNews telah meminta komentar kepada juru bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono soal permintaan pemerintah itu, namun tidak memperoleh balasan.
Indonesia bukan termasuk negara peratifikasi konvensi 1951 terkait pengungsi, namun dalam satu dekade terakhir telah menerima ribuan pengungsi Rohingya.
Menurut data terbaru UNHCR, lebih dari 1.500 orang Rohingya telah tiba di Indonesia dalam sembilan gelombang kedatangan sejak November 2023 saja.
Terakhir, kapal yang membawa sekitar 400 pengungsi Rohingya tiba di provinsi Aceh, masing-masing di Kabupaten Pidie dan Aceh Besar pada Minggu (10/12).
Mereka termasuk di antara ratusan ribu warga Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan dan diskriminasi di Myanmar dan mencari perlindungan di negara tetangga, khususnya Bangladesh, di mana mereka hidup di kamp pengungsian Cox Bazar yang kondisinya buruk dengan pergerakan yang dibatasi.
Setelah sebelumnya selalu diterima dengan baik oleh warga Aceh, belakangan para pengungsi mendapat penolakan dari warga yang tidak mengizinkan mereka mendarat. Pihak berwenang telah setuju untuk menyediakan tempat penampungan sementara bagi mereka.
“UNHCR akan berusaha semaksimal mungkin membantu untuk menyelesaikan masalah ini, antara lain dengan memberikan bantuan untuk mendukung kehidupan para pengungsi tersebut,” kata Retno.
Retno menyampaikan bahwa ada dugaan kuat masalah penyelundupan dan perdagangan manusia menyusul kedatangan para Rohingya tersebut.
Pekan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah akan menindak tegas kepada para pelaku perdagangan manusia yang terlibat dalam gelombang kedatangan pengungsi Rohingya.
Pernyataan Jokowi menyusul maraknya narasi yang menggambarkan pengungsi Rohingya secara negatif di media sosial sehingga memicu antipati masyarakat terhadap kelompok yang sering disebut sebagai kelompok tanpa kewarganegaraan itu, karena kedatangan mereka ditolak di mana-mana.
Pada November, polisi di Aceh Timur menangkap seorang pria yang diduga mencoba menyelundupkan 36 warga Rohingya ke luar negeri.
Tersangka mengatakan kepada polisi bahwa dia dibayar 3 juta oleh orang lain untuk mengangkut para pengungsi.
Sejak 2017, lebih dari sejuta warga Rohingya meninggalkan rumah mereka ketika militer Myanmar melakukan pembantaian terhadap mereka yang digambarkan oleh PBB sebagai "contoh nyata dari pembersihan etnis".
Langkah tepat
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa langkah pemerintah tepat untuk terus berkoordinasi dengan UNHCR dan negara-negara lain dalam menangani pengungsi Rohingya.
“Karena bagaimanapun urusan pengungsi tidak boleh hanya dibebankan kepada Indonesia namun menjadi tanggung jawab bersama,” kata Usman kepada BenarNews.
Namun demikian, kata Usman, tidak boleh pula Indonesia lepas tangan dalam menerima kedatangan pengungsi Rohingnya.
“Walaupun Indonesia bukan negara peserta konvensi, namun memastikan setiap orang berhak untuk hidup dan bebas dari ancaman merupakan hak asasi yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan itu harus dijalankan oleh pemerintah,” tegasnya.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Yon Machmudi mengamini perlu adanya negara yang siap menampung pengungsi dari Rohingya.
Hal ini karena Indonesia belum siap meratifikasi konvensi pengungsi, karena begitu melakukan ratifikasi pemerintah harus menyiapkan fasilitas dan program bagi para pengungsi secara komprehensif.
“Biar bagaimanapun menerima pengungsi kan tidak sekedar menampung tapi bagaimana kelanjutan mereka kedepannya dari aspek kesehatan, kebutuhan sehari-sehari, pendidikan dan hak-hak lainnya,” jelasnya.
Yon menegaskan bagaimanapun masalah pengungsi Rohingya di Indonesia harus diselesaikan sebab mengembalikan mereka ke Myanmar di saat tidak aman bukanlah pilihan yang tepat.
“Itu sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan,” terangnya.
Dia juga menolak kalau Indonesia mengembalikan para pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh untuk dikembalikan ke laut.
“Saya kira ini akan menimbulkan masalah kemanusiaan yang harus menjadi konsen semua negara terutama negara-negara ASEAN,” katanya.
Angga Reynadi Putra dari Suaka, sebuah lembaga swadaya masyarakat pembela hak pengungsi, mengatakan penempatan ke negara ketiga memang salah satu solusi komprehensif bagi pengungsi.
“Pemerintah bisa saja ambil peran dalam bentuk komunikasi diplomatik dengan negara lain soal perluasan cakupan resettlement,” ujar dia pada BenarNews.
Tentang penempatan pengungsi pada suatu pulau, Angga menyampaikan perhatiannya soal terbatasnya akses terhadap layanan dan hak-hak dasar sebagai manusia.
“Dalam soal biaya, penanganan pengungsi berbasis HAM (hak asasi manusia) sudah punya mekanisme dalam Perpres 125/2016. Ada pembagian kewajiban antara pemerintah pusat, daerah hingga lembaga internasional, harus ada kolaborasi,” ujar dia.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengusulkan agar para para pengungsi ditempatkan di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Menurutnya, pemerintah pernah memilih pulau tersebut sebagai lokasi penampungan para pengungsi dari Vietnam pada 1980-an ketika para “manusia perahu” itu melarikan diri dari negaranya akibat perang saudara.
UNHCR membangun fasilitas penampungan untuk sekitar 250 ribu pengungsi Vietnam kala itu yang mencakup pelayanan kesehatan, sekolah dan tempat ibadah, bahkan pemakaman.
“Ketidakberdayaan”
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Poltak Partogi Nainggolan mengatakan pernyataan Menteri Retno merefleksikan ketidakberdayaan dalam mencari solusi terus mengalirnya pengungsi Rohingya ke dalam wilayah Indonesia.
“Pernyataan Menlu Retno tidak mudah direalisasikan. Hingga saat ini, tidak ada satu negara anggota ASEAN pun yang mau menampung, bahkan negara dengan penduduk mayoritas Muslim dan ras Melayu seperti Malaysia, yang dekat identitasnya dengan mereka,” ujar Poltak kepada BenarNews.
Menurut Poltak, menampung di pulau lain secara khusus juga sulit karena pulau-pulau seperti Galang sudah banyak penghuninya. Selain biayanya tidak sedikit, jumlah mereka juga terus meningkat dari tahun ke tahun dan tujuan akhir mereka bukan Indonesia.
UNHCR, terang dia, harus mau ikut menanggung biaya, seperti yang dilakukan pemerintah Australia, agar mereka tidak dilepas atau dijadikan komoditas perdagangan manusia untuk menjadi imigran ilegal ke Australia.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini.