Indonesia Tangkap 7 Kapal Nelayan Vietnam

Kedua negara memiliki konflik perbatasan ZEE di perairan sekitar Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Ronna Nirmala
2021.06.10
Jakarta
Indonesia Tangkap 7 Kapal Nelayan Vietnam Dalam handout foto yang diambil pada 26 Juli 2020 dan dirilis pada 29 Juli 2020 oleh Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) ini, sebuah kapal Bakamla berada di dekat sebuah perahu berbendera Vietnam di perairan dekat Kepulauan Natuna.
Bakamla via AP

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap 12 kapal nelayan berbendera asing termasuk tujuh kapal milik Vietnam, negara dengan kapal terbanyak ditangkap di Indonesia karena dugaan pencurian ikan di perairan Natuna Utara, wilayah yang masih menjadi perselisihan klaim diantara kedua negara.

“Tren kapal-kapal asal Vietnam ini mengincar teripang atau mentimun laut,” kata Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP, Pung Nugroho Saksono, dalam keterangan tertulis kementerian.

“Tren kapal-kapal asal Vietnam ini mengincar teripang atau mentimun laut,” kata Pung dalam keterangan tertulis kementerian.

Dia mengatakan ketujuh kapal Vietnam itu sudah digiring ke pelabuhan di Kepulauan Natuna untuk pemeriksaan lebih lanjut. 

Sementara lima kapal asing lainnya terdiri dari dua kapal Filipina yang ditangkap di Laut Sulawesi dan juga tiga kapal berbendera Malaysia yang dijegal di perairan Natuna Utara. 

Sepanjang tahun 2021, KKP telah menangkap 113 kapal yang terdiri dari 77 kapal ikan Indonesia yang melanggar peraturan pemerintah dan 36 kapal ikan asing yang mencuri ikan. 

Puluhan kapal ikan asing tersebut di antaranya 23 kapal berbendera Vietnam, sembilan kapal berbendera Malaysia, dan empat kapal berbendera Filipina. 

“Ini menunjukkan bahwa KKP serius dalam memberantas IUU Fishing (illegal, unreported and unregulated fishing) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, Kamis.

Konflik klaim ZEE

Indonesia dan Vietnam memiliki perselisihan klaim terhadap zona ekonomi eksklusif (ZEE) di dekat Kepulauan Natuna di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

Kedua negara telah melakukan upaya negosiasi batas maritim selama bertahun-tahun dan dalam proses menyelesaikan provisional arrangement (pengaturan sementara) untuk menghindari  kemungkinan munculnya insiden kapal-kapal nelayan di wilayah tumpang-tindih.

Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Vietnam Phạm Minh Chính pada April lalu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya percepatan perundingan perbatasan ZEE yang sudah berjalan 11 tahun.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan saat itu “bahwa klaim batas ZEE antarnegara harus diselesaikan berdasarkan hukum internasional yaitu UNCLOS 1982," yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, meminta pemerintah menegur keras pemerintah Vietnam karena dianggap membiarkan adanya penangkapan ikan oleh kapal nelayan negara mereka di wilayah Indonesia. 

“Seperti ada pembiaran pemerintah Vietnam kepada warganya untuk melakukan pencurian ikan di laut Indonesia dan ini bisa mencederai semangat ASEAN untuk memerangi IUUF,” kata Abdi. 

500 Nelayan Vietnam

Bukan hanya keberadaan kapal ikan Vietnam, pemerintah juga saat ini terbebani dengan sekitar 500 nelayan Vietnam dengan status bermacam-macam yang ditahan di rutan maupun pangkalan AL di Ranai, Natuna, dan di beberapa tempat lainnya. 

“Rutan yang makin penuh, keterbatasan anggaran lauk pauk buat tahanan, menyebabkan kelonggaran penjagaan terhadap para ABK. Beberapa di antara mereka telah berbaur dengan warga dan ada yang menjadi pengemis di Natuna,” kata Abdi.

Pejabat KKP dan imigrasi bulan lalu mengatakan lebih dari 500 nelayan Vietnam terdampar di Indonesia dan belum dipulangkan oleh pemerintah negara asalnya sejak dimulainya pandemi COVID-19.

Mereka mengatakan pandemi membuat Vietnam menunda memulangkan mereka karena negara menutup perbatasan demi mencegah penyebaran COVID-19.

Sementara semua awak kapal penangkap ikan yang disita itu ditahan, hanya kapten dan pemimpin kapal yang didakwa, demikian menurut pejabat Indonesia. Pada pertengahan Desember 2020, pihak berwenang Indonesia mengatakan 225 nelayan telah ditahan tahun itu - tetapi 199 di antaranya diizinkan untuk kembali ke Vietnam kapan saja.

Sebelum pandemi, para nelayan dipulangkan dengan pesawat udara dalam beberapa bulan setelah ditahan, kata Ahmad Nursaleh, juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi.

Karena jumlah yang ditahan dan kurangnya penerbangan antar negara, pejabat Indonesia mengharapkan pemerintah Vietnam mengirim kapal untuk menjemput mereka.

Vietnam, negara yang memiliki kapal-kapal yang disita itu, bertanggung jawab atas repatriasi,

Pada Desember 2020, tahanan di Tanjung Pinang mengirim video mereka ke Radio Free Asia (RFA), media yang terafiliasi dengan BenarNews, memperlihatkan kondisi kehidupan mereka yang buruk, termasuk mendapatkan makanan basi. Namun hal itu dibantah pejabat terkait di Indonesia, yang mengatakan mereka diberikan makan yang cukup baik.

Seorang tahanan yang meminta untuk diidentifikasi sebagai Mr. Bien mengatakan bahwa sejumlah pejabat Vietnam telah mengunjungi pusat penahanan itu sebelum Tahun Baru Imlek (Tet) pada Februari 2021) untuk mengumpulkan informasi setelah publikasi video tersebut.

“Sebelum Tet, staf Kedutaan Besar Vietnam datang untuk mewawancarai kami secara langsung. Saya memang meminta mereka untuk membantu kami semua agar kami segera dipulangkan dan bersatu kembali dengan keluarga kami,” katanya kepada RFA.

“Staf Kedutaan mengatakan mereka akan berusaha untuk memfasilitasi secepat mungkin, tetapi sejauh ini, kami belum melihat kemajuan apa pun.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.