Gerakan Perubahan Dari Gang Tato
2017.06.30
Malang

Membaca, bermain dan bermusik
Setelah gubuk baca berdiri, banyak komunitas membantu seperti menyumbang buku, melatih keterampilan dan bimbingan belajar. Lukas juga mengajak anak-anak bermain permainan tradisional, seperti congklak, egrang, dakon, dan petak umpet.
“Belajar sambil bermain, seusia mereka kan masanya bermain,” katanya.
Lingkungan juga mendukung, anak-anak jarang bermain gawai atau gadget. Mereka memilih bermain dengan teman sebaya untuk membangun karakter pribadi.
Duduk bersimpuh di sudut ruangan gubuk baca Gang Tato, tangan Aril memegang sebuah buku pengetahuan alam. Pandangan mata siswa kelas empat Sekolah Dasar (SD) ini fokus menatap buku dan sesekali membacanya dengan keras.
Empat teman sebayanya juga larut dalam buku bacaan, sebagian yang lain bermain permainan tradisional. Bangunan gubuk dari bambu nyaman bagi anak-anak, mereka melahap aneka buku dan bermain bersama.
Sebuah rak buku yang menyimpan sekitar 200 buku menjadi magnetnya. Gubuk berukuran 2 x 6 meter itu dilengkapi beragam ornamen dan hiasan, mulai kertas origami, aneka kerajinan bekas botol plastik hingga topeng karakter panji khas Malang berbahan kertas menempel di dinding.
Aril tiap hari mengunjungi gubuk baca bersama teman sebayanya. Kegembiraan dan keceriaan terpancar dari wajah mereka. Selain membaca, mereka mendapat bimbingan belajar. Sejumlah mahasiswa silih berganti datang untuk memberikan bimbingan.
“Senang, suka membaca majalah dan komik,” kata Aril.
Dia biasa menghabiskan waktu di gubuk baca sepulang dari sekolah mulai pukul 13.00 sampai 16.00 WIB. Malam hari, usai salat Isya dan mengaji mereka kembali berkumpul di gubuk baca. Orang tuanya juga tenang, karena anak-anak tak lagi bermain jauh dari rumah.
Kenakalan warisan
Gubuk baca dibangun para pemuda desa secara bergotong rotong setahun lalu. Sekitar delapan pemuda jengah dengan stigma negatif yang terlanjur melekat pada RT 4 RW 2 Desa Kemantren, Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pemuda setempat dikenal sebagai anak nakal, suka mabuk-mabukan, tawuran dan pada sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Sebagian bahkan harus berurusan dengan polisi.
“Warga luar menyebut kampung ini dengan Gang Tato,” kata Febri Firmansyah (32) yang akrab disapa Lukas.
Di gang yang dihuni 45 kepala keluarga itu, dulu pemuda menghabiskan waktu dengan minum-minuman keras dan merajah tubuhnya dengan tato. Tato tidak dikerjakan tenaga profesional, mereka belajar otodidak.
Lukas merajah sebagian lengannya dengan tato. Dia tertarik membuat tato karena pergaulan. Lingkungan sekitar, kakak-kakaknya juga bertato. Gara-gara dianggap nakal itulah, dia kesulitan bergaul. Dia kerap dipandang sebelah mata.
“Kenakalan ini diwariskan turun temurun. Sampai kapan akan terus begini?,” ujarnya kepada BeritaBenar, Rabu, 28 Juni 2017.
Lukas tak ingin mewariskan sesuatu yang buruk bagi adik-adik di desanya, serta memutus mata rantai kenakalan. Melalui jejaring media sosial, dia berkomunikasi dengan banyak komunitas, termasuk penggagas Gubuk Baca Lentera Negeri, Fachrul Alamsyah. Gayung bersambut, Fachrul yang rutin membuka perpustakaan keliling di sekitar Jabung, akhirnya mampir di Gang Tato.
Menempati halaman rumah Lukas, digelar sekitar 100-an aneka buku untuk anak-anak. Puluhan anak-anak menyambut dengan suka cita, membaca buku. Anak-anak tak puas hanya membaca sehari, akhirnya Fachrul merelakan sebagian bukunya ditinggal.
Lantas, Lukas dan rekannya berinisiatif membangun gubuk baca. Para pemuda yang bekerja sebagai buruh tani, sopir, dan pengamen meluangkan waktu di sela-sela kesibukan bekerja.
Mereka juga tak lagi menjamah minuman keras, tidak tawuran maupun berjudi, seperti sabung ayam. Lukas mendapat tantangan, teman-teman tetangga desa yang sebelumnya akrab dengan minuman keras mulai menjauh.
“Sudah gak asyik lagi,” kata Lukas, menirukan ucapan temannya.
Belakangan, mereka memahami setelah mengetahui jika Lukas tengah mendirikan gubuk baca untuk anak-anak. Malah, beberapa dari temannya ikut membantu.
Suprianto alias Kampret membuat alat musik tradisional, seperti Karinding. Alat musik khas Sunda mereka mainkan di sela-sela anak-anak belajar dan membaca buku.
Suprianto membuat dan memainkan Karinding secara otodidak melihat video di YouTube. Pria yang bekerja sebagai pengamen itu memiliki keterampilan bermain musik, sehingga tak sulit membuat dan memainkan.
“Di Tuban, Jawa Timur, juga ada alat musik serupa namanya Rinding. Hampir punah, tak pernah dimainkan lagi,” ujarnya.
Di tangan mereka, Karinding dipadukan dengan alat musik tradisi celempung dan Rain Stick asal Aborigin. Alat musik itu dimainkan untuk pengiring lagu dolanan anak dan salawatan. Mereka kerap mengisi berbagai acara beragam komunitas dan penggerak literasi di Malang.
Para pemuda Gang Tato juga membuat topeng dan kerajinan dari barang bekas. Selama ini, mereka bergerak secara swadaya tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah setempat.
Setiap akhir pekan, anak-anak diajak berkeliling dari satu desa ke desa lain sambil membawa aneka buku bacaan, serta mengajari anak-anak.
Dampaknya aktivitas gubuk baca Lentera Negeri dan Gang Tato telah mempengaruhi pemuda desa lain. Kini, sudah ada 10 rumah baca berdiri di sekitar Jabung.
Bupati Malang, Rendra Kresna mengapresiasi perubahan yang terjadi di Gang Tato. Ia berharap gerakan serupa menular ke tempat lain.
“Gubuk baca Gang Tato bisa memotivasi kampung lain untuk melakukan gerakan perubahan serupa,” tuturnya.
Dua bocah sedang membaca di gubuk baca Gang Tato di Malang, Jawa Timur, 28 Juni 2017. (Eko Widianto/BeritaBenar)