IPAC: Dukungan Untuk ISIS Menurun di Indonesia
2021.01.21
Jakarta

Dukungan para ektrimis Indonesia terhadap kelompok Negara Islam (ISIS) menurun drastis pada 2020, hal itu diungkapkan dalam laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis Kamis (21/1).
Menurut laporan IPAC, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang pernah menjadi kelompok pro-ISIS terbesar di Indonesia, sebagian besar sudah tidak aktif lagi saat ini berkat penangkapan dan pembelotan pimpinannya, serta kesadaran para anggota bahwa dukungan terhadap ISIS lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya.
Pandemi COVID-19 juga menjadi salah satu faktor yang melemahkan pendanaan untuk kelompok ekstremis.
“Tidak ada kelompok ekstremis yang beroperasi di Indonesia saat ini yang menghadirkan ancaman serius bagi stabilitas Indonesia atau yang berada di luar kapasitas polisi untuk menanganinya,” kata Direktur IPAC, Sidney Jones, dalam keterangannya yang menyertai laporan.
Menurut laporan itu, Indonesia telah berhasil membatasi ruang gerak kelompok teroris, setelah melakukan revisi undang-undang terorisme pada tahun 2018 lalu. Akibat dari pengesahan aturan itu, kelompok teroris semakin mudah ditangkap dan dilumpuhkan aparat kepolisian.
IPAC mencatat setidaknya ada 70 orang pimpinan dan anggota kelompok pro-ISIS di Indonesia telah berhasil ditangkap oleh aparat kepolisian. Kapasitas pengawasan dan pemantauan polisi telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
“Penangkapan banyak pemimpin top pro-ISIS telah menyebabkan gangguan dalam tubuh organisasi itu serta menimbulkan perasaan di antara beberapa anggota bahwa biaya keterlibatan mereka terlalu tinggi,” ujarnya.
Namun berdasarkan laporan yang bertajuk Penurunan ISIS di Indonesia dan Munculnya Sel Baru itu, terorisme belum hilang. Akan ada upaya terus menerus dari sel-sel kecil untuk berkumpul kembali, merekrut dan meregenerasi dengan tujuan melakukan operasi jihad.
Menurut IPAC, kesulitan para jihadis untuk mencapai Suriah atau ladang jihad lainnya termasuk di Filipina, telah menghilangkan daya tarik ISIS yang kuat di Indonesia. Dalam beberapa kasus, melunturnya dukungan terhadap ISIS dipengaruhi oleh tokoh tertentu.
“Karena beberapa pimpinannya tidak lagi mendukung ISIS, sejumlah anggotanya juga mengikutinya,” ujar Sidney.
Namun meski dukungan terhadap ISIS menurun, sel-sel teroris baru disebut bermunculan, bahkan masif melakukan perekrutan lewat media sosial. Ini terjadi bahkan di daerah yang tidak memiliki sejarah kekerasan ekstremis.
“Sebagian besar lemah, dalam arti hanya memiliki sedikit keterampilan, sumber daya atau strategi, tetapi kelemahan tidak pernah menjadi pencegah kekerasan di Indonesia,” menurut laporan IPAC.
“Banyak teroris mencamkan pepatah, ‘Lebih baik menjadi singa sehari dari pada domba seumur hidup,’” kata IPAC.
Menurut laporan itu, JAD kelimpungan karena penangkapan pemimpin dan kekurangan dana, sementara anggota yang masih pro- ISIS tetapi tidak memiliki karisma seperti rekan mereka yang dipenjara.
IPAC juga menilai tingkat aktivitas Mujahidin Indonesia Timor (MIT) yang tinggi bukanlah bukti dari peningkatan kekuatan tetapi dari kelemahan serius.
Anggota MIT di Sulawesi Tengah saat ini diperkirakan hanya 11 orang dengan satu senapan, satu pistol dan beberapa ratus peluru pada Januari 2021, kata IPAC.
Menurut IPAC, penangkapan Sutomo alias Ustadz Yasin, mantan narapidana dan direktur dua pesantren di daerah Poso pada September 2020, merupakan pukulan besar bagi MIT.
Yasin, yang berasal dari Semarang dan salah satu ulama JI pertama yang pergi ke Poso pada tahun 2000, telah menjadi residivis dua kali.
Gerakan negara Islam
Laporan tersebut juga mencatat bahwa banyak kelompok pro-ISIS muncul dari kelompok ekstremis yang berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Kelompok-kelompok ini, banyak dari mereka adalah keturunan dari pemberontak Darul Islam lama.
“Bahkan jika kelompok-kelompok ini pada akhirnya kembali ke fokus pra-ISIS mereka, itu akan memiliki visi yang lebih jelas tentang negara yang mereka inginkan, yang dibentuk oleh propaganda ISIS,” ujar laporan itu.
Dalam laporannya itu, IPAC memetakan kekuatan sejumlah kelompok radikal di Indonesia. Menurut laporan tersebut, sejumlah organisasi seperti JAD, Mujahidin Indonesia Timur, Jemaah Islamiyah (JI) berpotensi untuk menggerakan pengaruhnya untuk mengkampanyekan negara Islam Indonesia.
Penjara diyakini menjadi salah satu sumber penyebaran idelogi radikal mereka. Apalagi dalam waktu dekat ini, dijadwalkan 250 orang narapidana akan bebas dalam tahun 2021 ini.
IPAC menyarankan pemerintah Indonesia untuk melakukan perencanaan yang matang dalam membendung kelompok radikal di Indonesia. Sebab meskipun dukungan para ektrimis terhadap ISIS menurun drastis di Indonesia, namun terorisme masih menjadi ancaman terbesar negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tersebut.
Salah satunya memberikan perhatian khusus kepada pasantren dan sekolah tahfiz Alquran yang berpotensi menyebarkan paham-paham radikal. Pembinaan yang efektif akan mampu membendung penyebaran ideologi radikal di tengah lembaga pendidikan Islam tersebut.
“Termasuk memberikan dukungan dan beasiswa kepada para murid agar pendidikan mereka benar-benar terjamin,” katanya.
Terus berupaya
BenarNews telah meminta komentar dari Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono. Namun hingga Laporan ini ditulis belum mendapat belasan. Begitu pula Kepala Badan Penaggunglangan Terorisme Boy Rafly Amar.
Sementara Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Ahmad Nurwakhid mengaku belum bisa mengomentari laporan tersebut. "Saya belum membaca laporan itu, jadi saya tidak bisa berkomentar banyak," katanya saat dihubungi.
Namun menurutnya pihak BNPT terus berusaha maksimal dalam membendung berkembangnya kelompok radikal di Indonesia. Upaya itu dilakukan baik lewat penegakan hukum maupun upaya pembinaan.
Dirinya yakin program deradikalisasi yang mereka jalankan selama ini akan efektif dalam membendung penyebaran ideologi radikal di tengah masyarakat.
“Pesantren dan sekolah-sekolah agama adalah tempat yang penting dalam menanamkan idelogi. Karena itu memang upaya pembendungan idelogi radikal harus dilakukan sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan itu,” ujarnya.