IPAC: Jemaah Islamiyah Masih Berpotensi Jadi Ancaman
2017.04.28
Jakarta

Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC), merilis kajian terbaru terkait perkembangan kelompok radikal di Indonesia. Laporan setebal 18 halaman itu menyebutkan Jemaah Islamiyah (JI) masih berpotensi menjadi ancaman.
Direktur IPAC, Sidney Jones, mengatakan meski saat ini JI telah bermetamorfosis dan lebih jinak di bawah kepemimpinan Para Wijayanto yang tak sepakat dengan aksi jihad di tanah air, namun kelompok ini tetap berpotensi mencetak kader radikal karena mereka masih menanamkan ideologi jihad kepada para pengikutnya dengan tujuan tetap untuk mewujudkan negara Islam.
JI dinyatakan bertanggung jawab dalam sejumlah serangan teror di Indonesia, termasuk aksi bom Bali 1 pada 2002 yang menewaskan 202 orang.
“Jangan melihat JI sebagai organisasi yang telah mati. Mereka itu bisa bangkit kembali. Ideologi salafi jihad masih tetap diajarkan lewat ceramah-ceramah yang mereka gelar,” kata Sidney kepada BeritaBenar, Jumat, 28 April 2017.
Wijayanto adalah seorang pentolan JI lama, yang merupakan tokoh di balik serangkaian aksi teror di Indonesia bersama Noordin M.Top.
Meski sama-sama dibesarkan JI, kata Sidney, dalam beberapa hal mereka sering tak sehaluan. Bahkan, Wijayanto tak sepakat dengan aksi-aksi yang dilakukan Noordin.
Setelah jaringan Noordin berhasil ditumpas polisi dan dia tewas dalam penyergapan di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Jebres, Surakarta pada 17 September 2009, Wijayanto kemudian didapuk sebagai amir atau pemimpin JI.
Menurut laporan IPAC yang dirilis, Kamis, 27 April 2017, jumlah kelompok ini meningkat sejak tahun 2015. Polisi memperkirakan JI memiliki sekitar 1.000 anggota.
Untuk pendanaan organisasi, setiap anggota diharapkan menyetor dana sedikitnya Rp60.000 per bulan. Uang itu digunakan untuk mendanai usaha mereka seperti menjual kamera CCTV dan menggarap lahan pertanian di Magetan, Jawa Timur; Bantul, Jawa Tengah dan Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Karena itu, ungkap Sidney, kelompok yang disebut-sebut sebagai Neo JI ini diyakini juga akan melahirkan ekstrimis baru.
“Akan ada pemuda-pemuda yang tidak sabar dengan pewujudan itu, akan melakukan tindakan-tindakan radikal seperti halnya Noordin yang sebelumnya memisahkan diri dari JI,” katanya.
Terus lakukan pencegahan
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. Hamidin yang dikonfirmasi BeritaBenar mengatakan, pihaknya terus mempelajari setiap perubahan gerakan radikal, termasuk JI.
“Kita terus memantau dan melakukan pencegahan. Kami mengetahui setiap perubahan pengorganisiran mereka. Tentu saja akan kita cegah,” katanya.
Baginya apapun sebutan dan siapapun pentolannya, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terus memburu jaringan teror yang berpotensi mengganggu keamanan nasional.
“Intelijen kita dan Densus 88 tentunya terus bekerja untuk mencegah potensi-potensi gangguan dari kelompok teroris,” pungkasnya.
Meningkat
Kajian IPAC dapat dikatakan sejalan dengan kemunculan dan perkembangan kelompok-kelompok radikal yang meningkat dalam dua tahun terakhir.
Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Provinsi Aceh, juga yakin JI masih tetap eksis. Apalagi dengan sosok Wijayanto yang mendapat kepercayaan penuh dari para petinggi JI baik di Indonesia maupun Asia Tenggara.
“Dia adalah sosok yang sejak lama bersama JI dan kemampuannya lebih baik ketimbang yang lain,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.
Menurut Al Chaidar, JI dan Al-Qaeda Asia Tenggara memang sedang mempersiapkan kekuatan barunya. Bahkan mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat Al-Qaeda Asia Tenggara.
“Persiapannya sejak dua tahun terakhir. Bahkan targetnya akan diresmikan dalam tahun 2017. Ini untuk memudahkan manajemen pengelolaan jihad,” ujarnya.
Menurut Al Chaidar, meski kini Al-Qaeda kalah pamor dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), namun sebagian besar jaringan JI masih berada di bawah komando Al-Qaeda, walaupun beberapa kader JI telah menyatakan berbaiat kepada ISIS.
“Kurang lebih ada 26 orang yang telah berbaiat pada ISIS, sementara 78 orang pentolan JI itu masih setia pada Al-Qaeda,” ujarnya.
Dengan pendidikan lebih baik dari anggota lain, Wijayanto diyakini dapat membesarkan JI untuk mewujudkan tujuannya.
“Dakwahnya memang digalakkan lewat kampus-kampus dan pesantren. Harapannya mencetak kader yang lebih baik,” kata Al Chaidar.
Berbeda dengan Al Chaidar, pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Mulya tidak yakin kelompok yang disebut-sebut sebagai Neo JI akan melakukan tindakan membahayakan.
Menurut Harits, orang-orang dalam organisasi itu tak memiliki orientasi melakukan aksi teror.
“Mereka tidak terpancing dalam situasi, mereka juga tidak akan balas dendam meski beberapa elemen mereka ditangkap," katanya kepada BeritaBenar.
Harits juga menilai sebutan Neo JI hanya istilah yang dipakai polisi untuk mempermudah pemetaan kelompok.
“Tetapi apapun namanya kewaspadaan itu harus tetap ada,” ujarnya.