Penelitian di Sumbar: Pengajian Radikal Cikal Bakal Jaringan Pro-ISIS
2020.03.03
Jakarta

Penelitian tentang ekstrimisme di Sumatra Barat (Sumbar) oleh sebuah lembaga think tank baru-baru ini mengenai bagaimana dakwah radikal dalam kelompok-kelompok pengajian telah berkembang menjadi jaringan-jaringan pendukung Negara Islam (ISIS) di provinsi itu yang memiliki ikatan dengan militan dalam dan luar negeri, menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas program deradikalisasi pemerintah selama ini.
Laporan dari Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) yang dirilis 28 Februari 2020 menyebutkan dua kelompok Islam di Padang dan Bukit Tinggi melebarkan jaringan mereka dalam satu dekade terakhir dan berubah menjadi pendukung ISIS melalui pengajian-pengajian yang dipimpin ulama radikal, perdagangan, dan perpindahan ke luar daerah untuk menghindari aprat keamanan.
“Kajian di Sumatra Barat itu membuat kita mempertanyakan efektivitas kebijaksanaan pendekatan pemerintah dalam menanggulangi radikalisme sebagai masalah kurangnya nasionalisme yang dapat ditanggulangi melalui indoktrinasi dasar negara Pancasila,” kata Sidney Jones, direktur IPAC.
“Masalah di sini lebih konkret, sebuah masjid yang menjadi tempat diskusi ekstrimis selama lebih dari satu dekade tanpa perhatian dari otoritas lokal dan orang-orang yang dideportasi dari Turki dan kembali ke Indonesia tanpa pengawasan yang memadai,” kata Jones dalam laporannya.
Seorang pejabat di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menolak untuk berkomentar atas penilaian IPAC tentang efektivitas program deradikalisasi yang didasarkan pada indoktrinasi nasionalisme dan Pancasila. Namun demikian ia mengatakan bahwa Sumbar termasuk dalam salah satu dari 10 provinsi rawan gerakan radikal di Indonesia.
“Sumatra Barat masuk sebagai satu dari sepuluh wilayah rawan terorisme,” ucap Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, kepada BenarNews, Selasa (03/03/2020).
Irfan merujuk pada target-target penyerangan yang terungkap Detasemen Khusus (Densus 88) Polri dan BNPT akhir 2019.
Irfan mengatakan selain Sumbar, ada sembilan provinsi lain yang mendapat perhatian lebih karena rawan radikalisme. Provinsi-provinsi itu adalah Aceh, Sumatra Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Argo Yuwono, saat dihubungi, tidak mau berkomentar mengenai laporan IPAC.
Kajian dari IPAC tersebut melacak bagaimana kedua kelompok Islam tersebut berevolusi secara berbeda dari asal yang sama. Keduanya diduga bermula sebagai cabang dari kelompok pendukung-syariah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Namun, pemimpin masing-masing kelompok ini berbeda arah dan kerap berselisih.
Kelompok Padang ingin melakukan serangan terorisme, sedangkan kelompok Bukittinggi tidak begitu tertarik untuk melakukan kekerasan di dalam negeri, kata IPAC.
Seorang dari kelompok Bukittinggi memiliki kontak dengan al-Qaeda, sehingga walau dia ingin bergabung dengan ISIS, dia akhirnya pergi ke Idlib, Suriah dan ikut Front al-Nusra.
Pada tahun 2017, seorang dari kelompok Padang menjadi penghubung ISIS di Khorasan, yang diklaim wilayah ISIS di Afghanistan, dan membujuk warga Indonesia lain untuk bergabung, laporan IPAC mengatakan.
Akhir tahun 2019, BNPT mengumumkan bahwa kelompok jaringan teroris telah memetakan sejumlah titik di Sumbar sebagai sasaran aksi terorisme. Di antara beberapa titik itu adalah markas kepolisian, kantor pemerintahan, dan objek wisata.
Pada Juli 2019, Densus 88 Polri menangkap Novendri, seorang tersangka teroris, di Padang, Sumbar. Novendri disinyalir memiliki koneksi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), jaringan yang pemimpinnya telah sumpah setia kepada ISIS, di Indonesia dan luar negeri.
Di JAD Indonesia, Novendri memiliki koneksi dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), JAD Lampung dan Sibolga, serta JAD Bekasi.
Kepolisian menyebut gerak Novendri dikendalikan oleh Saefullah alias Daniel alias Chaniago, dalang aksi terorisme di Indonesia yang saat ini diduga masih berada di Khorasan, Afghanistan.
JAD merupakan kelompok teroris yang berafiliasi dan mendukung seluruh aksi teror yang dilakukan ISIS di bawah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi.
Aktor utama
IPAC menggarisbawahi pejuang-pejuang ISIS asal Indonesia yang dideportasi dari Turki sebagai aktor utama dalam penyebaran ideologi radikal di Sumbar.
“Sebuah rumah penampungan di Turki untuk orang Indonesia yang menunggu untuk menyeberang ke Suriah menjadi simpul penting yang menghubungkan Sumbar ke lingkaran ekstrimisme yang lebih luas,” kata Jones.
Jones menilai program rehabilitasi, reintegrasi serta pemantauan untuk orang yang dideportasi berjalan selama ini belum efektif. Padahal, jumlah mantan pejuang ISIS yang dideportasi mencapai lebih dari 550 orang.
“Mempelajari bagaimana perjalanan orang-orang yang dideportasi ini, bahkan bertahun-tahun setelah kepulangan, bisa membantu dalam mengembangkan program penanggulangan untuk mereka yang akan kembali di masa depan,” katanya.
Khalid Abu Bakar, salah satu militan Indonesia yang dideportasi dari Turki awal 2017 setelah menunggu hampir satu tahun tanpa berhasil menyeberang ke Suriah, pulang dan memimpin kelompok studi agama di Surabaya, Jawa Timur.
Kelompok itu diikuti oleh satu keluarga yang melakukan serangan bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia, di Surabaya, pertengahan Mei 2018, menurut IPAC.
Menantu Khalid, Muhammad Mustaqim alias Rizki Maulana, dideportasi dari Turki tahun 2016, ditangkap Densus 88 pada Juni 2018 dengan tuduhan merencanakan kekerasan ekstrem di Depok, Jawa Barat.
Menurut IPAC, warga Indonesia mulai pergi untuk bergabung dengan ISIS di Suriah pada akhir 2012 dan puncaknya pada akhir 2015 dan 2016. Sementara gelombang deportasi mulai terjadi pada 2014, ketika 14 orang diketahui dideportasi dari Turki ke Indonesia.
Jumlahnya kemudian berlipat ganda menjadi 162 deportasi pada tahun 2015 dan 171 pada tahun 2016, kemudian terus melonjak menjadi 226 kasus deportasi pada 2017.
Awal Februari 2020, pemerintah memutuskan untuk tidak akan memulangkan ratusan WNI yang bergabung dengan ISIS di berbagai negara. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, menyebut keputusan itu dilakukan untuk melindungi warga negara dari ancaman virus-virus baru teroris di Indonesia.