Lagi, 12 WNI Terkait ISIS yang Dideportasi, Dibina

Kementerian Sosial mengatakan terdapat 129 WNI yang sudah dan sedang dibina setelah mereka dideportasi Pemerintah Turki.
Tia Asmara
2017.03.24
Jakarta
170324_ID_Aprimul_1000.jpg Simpatisan ISIS, Aprimul, dalam persidangan dirinya dengan dakwaan memfasilitasi keberangkatan WNI ke Suriah, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 9 Februari 2016.
AFP

Kementerian Sosial (Kemensos) kembali menerima 12 warga negara Indonesia (WNI) yang dideportasi Pemerintah Turki, karena diduga terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), untuk dibina sebelum dipulangkan ke kampung halaman mereka.

"Tim layanan dukungan psikososial tengah melakukan assesment kepada mereka," kata Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar di Jakarta, Jumat, 24 Maret 2017.

Ke-12 WNI tersebut, ujarnya, tiba pada Rabu malam, 22 Maret lalu, diantar tim Densus 88. Mereka terdiri dari empat perempuan dewasa, tiga anak perempuan dan lima anak laki-laki.

Selanjutnya, mereka ditempatkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur, untuk menjalani pembinaan selama sebulan lebih.

“Kementerian Sosial akan melakukan proses trauma healing dan trauma konseling, terutama kepada anak-anak sebelum nantinya mereka kembali ke daerah masing-masing,” jelas Khofifah.

Pihak kepolisian tidak bersedia memberikan keterangan terkait 12 WNI yang dideportasi dari Turki tersebut.

“Kami akan cek dulu,” ujar Karopenmas Mabes Polri, Kombes Pol. Martinus Sitompul  saat dikonfirmasi.

Juru bicara Dirjen Imigrasi, Agung Sampurno, mengatakan ke-12 WNI tersebut tiba di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, Rabu. Kemudian dijemput tim Densus 88 dan diserahkan langsung ke pihak Kementerian Sosial.

“Masih dalam penyidikan polisi mengenai apa motif dan jalur ilegal ke Suriah. Kasus ini ditangani oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, kedelapan anak-anak dalam rombongan itu berumur 2 hingga 6 tahun.

“Karena BNPT tidak punya fasilitas untuk anak-anak, sehingga diserahkan ke Kemensos sambil proses penyidikan. Balita kan masih butuh ibunya dan tidak bisa dipisahkan,” jelasnya.

Menurut catatan Kemensos, bulan Februari lalu 75 WNI ditampung di RPSA Bambu Apus setelah dideportasi dari Turki karena diduga hendak menyeberang ke Suriah. Ke-75 WNI itu terdiri dari 41 orang dewasa, 24 di antaranya perempuan, dan 34 orang anak-anak.

Salah satunya diidentifikasi sebagai istri dari Bahrumsyah alias Abu Ibrahim al-Indunisy, WNI yang disebut telah menjadi salah satu pimpinan ISIS.Tokoh yang dianggap pelopor lahirnya jaringan ISIS di Asia Tenggara ini, 13 Maret lalu dinyatakan tewas oleh ISIS dalam sebuah pertempuran di Suriah.

Menurut Khofifah, total terdapat 129 WNI yang sudah dan sedang dibina di Dinas Sosial Bambu Apus. Mereka terdiri dari 117 WNI gelombang pertama, empat orang menunggu pemulangan ke daerah asal dan ditambah 12 org yang baru masuk.

Menurut data Kementerian Luar Negeri, sejak 2015 hingga Januari lalu, 305 WNI sudah dideportasi Pemerintah Turki karena diduga ingin menyeberang ke Suriah.

Target anak muda

Ahli reformasi peradilan, Gilles Blanchi dalam diskusi bertajuk Radikalisme dan Sistem Peradilan di Indonesia pada Kamis, 23 Maret 2017 di Jakarta, mengatakan terorisme menjadi perhatian besar banyak negara karena ISIS menyasar anak muda.

Di Perancis, ujar dia, banyak kaum muda dikucilkan dan pengangguran hanya karena mereka minoritas.

“Mereka mau pengakuan dan memilih menjadi pendukung ISIS karena merasa dihargai dibandingkan di negara mereka tinggal,” kata Gilles yang merupakan warga Perancis.

Ia menyarankan Pemerintah Indonesia agar bisa memberdayakan para ulama dan santri untuk mengajarkan kebaikan dalam upaya mencegah berkembangnya radikalisme.

“Saat ini, penjara malahan seperti universitas bagi teroris, karena yang tadinya kriminal biasa keluar menjadi teroris,” katanya dalam diskusi yang difasilitasi Habibie Center.

Pendapat senada dikatakan pengamat terorisme dan inteligen yang juga staf ahli BNPT, Wawan Purwanto.

Menurutnya, 95 persen penanganan deradikalisasi cukup berhasil, sementara 5 persen lain sangat sulit karena menyangkut ideologi.

“Anak-anak teroris sangat berani mati, mereka malah menantang peluru saat kami coba mendekati dan mencari mati,” katanya dalam diskusi tersebut.

Lembaga khusus

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Anak, Diah Sulastri Dewi, dalam diskusi itu menyatakan pemerintah perlu lembaga khusus untuk membina anak terlibat terorisme.

“Sangat bahaya karena mereka bercampur dengan napi kasus lain, bisa mempengaruhi orang lain nanti,” katanya.

Ia menilai anak hanya dijadikan alat oleh orang dewasa untuk melakukan aksi terorisme.

Meskipun seharusnya diperlakukan berbeda, Dewi mengakui anak terorisme mayoritas dikenai hukuman pidana.

“Banyak yang di jeruji besi karena perbuatan sadis padahal mereka merupakan korban juga,” ujarnya.

Dalam dua tahun terakhir, menurut dia, pihaknya telah menangani delapan anak terlibat kasus terorisme yang dikenai hukuman penjara tiga bulan sampai dua tahun.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.