Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia

Survei terhadap 1.620 responden di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan 49% responden menuntut pemerintah lebih memprioritaskan Islam daripada agama lain.
Zahara Tiba
2017.10.20
Jakarta
171020_ID_IslamDemocracy_1000.jpg Duduk dari kiri ke kanan: Yenny Wahid, Abdul Mu'ti dan Syafiq Hasyim dalam seminar ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia’ di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Banten, 19 Oktober 2017.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Islam sejalan dengan demokrasi namun demokrasi di Indonesia mendapatkan tantangan dari kelompok intoleran dan politisi yang menggunakan agama untuk meraih tujuan mereka, demikian diskusi bertajuk ‘Islam dan Demokrasi di Indonesia’, pada Kamis, 19 Oktober 2017.

Keberadaan peraturan seperti penerapan aturan penistaan agama juga dinilai justru memperlemah demokrasi itu sendiri.

Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Multimedia Nusantara, Banten, mengungkapkan bahwa demokrasi diakui dalam Islam. Bahkan, banyak kejadian dalam sejarah Islam menunjukkan penerapan demokrasi, termasuk dalam kehidupan Nabi Muhammad.

Menurut putri pertama presiden kelima Indonesia, Abdurrahman Wahid, konsep Islam rahmatan lil alamin atau Islam untuk semua dan khalifah atau pemimpin di muka bumi adalah bentuk pengakuan Islam terhadap demokrasi.

“Prinsip khalifah adalah pemimpin yang bertanggung jawab, membawa kebaikan di muka bumi, tak hanya terhadap umat, namun semesta secara keseluruhan. Itu mandat yang diberikan Tuhan kepada manusia,” ujarnya.

Yenny mengakui pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini penuh tantangan.

Salah satunya adalah intoleransi yang belakangan menjadikan Islam diasosiasikan dengan radikalisme, bahkan terorisme.

“Kita bisa lihat agama digunakan untuk kepentingan politik untuk mencapai posisi politis. Ini adalah tantangan ke depannya bagi kita dalam penerapan demokrasi.”

Isu agama, diakui Yenny, masih laris digunakan di Indonesia terutama demi mencapai tujuan politik seperti terjadi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Sentimen agama dan ras kental mewarnai pemilihan gubernur tersebut yang dimenangkan oleh Anies Baswedan mengalahkan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang saat ini menjalani hukuman dua tahun penjara karena divonis telah menistakan Islam.

Salah satu pidato Ahok yang mengutip ayat Al-Maidah menjadi viral setelah diedit dan disebarkan oleh seseorang bernama Buni Yani dan menuai protes “berjilid-jilid” dari kelompok Muslim konservatif yang dimotori Front Pembela Islam (FPI). Mereka menuntut mantan gubernur Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa itu dipenjara.

Walaupun Anies tidak tampak ikut dalam demo-demo anti-Ahok tersebut, mantan Menteri Pendidikan itu secara terbuka memberikan dukungan terhadap FPI semasa kampanye gubernurnya.

‘Aturan penistaan agama’

Direktur International Center for Islam and Pluralism, Syafiq Hasyim, menambahkan selain tantangan dari kaum intoleran dan politisi yang menunggangi agama untuk tujuan politik mereka, sejumlah peraturan juga memiliki potensi melemahkan demokrasi.

Syafiq mencontohkan penerapan aturan penistaan agama yang telah memakan korban banyak, salah satunya dalam kasus Ahok tersebut.

“Selama penerapan aturan penistaan agama atau sejenisnya masih dilakukan, masa depan demokrasi Indonesia dipertanyakan. Belum lagi banyaknya aksi-aksi main hakim sendiri oleh beberapa organisasi massa,” kata Syafiq, yang menambahkan kelompok minoritas lain seperti Ahmadiyah dan Syiah juga menjadi korban peraturan yang tidak demokratis.

Demokrasi di Indonesia, tambahnya, sangat spesifik dengan ideologi Pancasila-nya dimana negara mengakui hanya ada satu Tuhan.

“Ini jadi debat tersendiri di antara umat pemeluk agama dan kepercayaan,” ujarnya.

Survey: 49%Tuntut pemerintah prioritaskan Islam’

Syafiq memaparkan hasil survei terbaru dari The Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) sebuah think tank berbasis di Singapura memperlihatkan pandangan masyarakat Muslim di Indonesia yang dipertimbangkan sebagai sangat konservatif.

Survei yang dilakukan terhadap 1.620 responden di keseluruhan 34 provinsi di Indonesia pada 20 – 30 Mei 2017 itu menunjukkan 49 persen responden menuntut pemerintah agar lebih memprioritaskan Islam daripada agama lain.

Survei itu juga menunjukkan 37 persen responden menuntut pemimpin Muslim bisa lebih banyak berperan dalam politik, 41 persen ingin daerah-daerah lain juga dapat menerapkan hukum syariah, dan 63 persen menuntut penistaan agama Islam harus dihukum seberat-beratnya. Saat ini hanya Provinis Aceh yang secara resmi menerapkan Syariah Islam.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan Muhammadiyah telah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan konsensus yang menyatukan masyarakat plural dan beragam.

Karena sejatinya demokrasi, tutur Abdul, bukan semata tentang pemilihan pemimpin, namun nilai-nilai budaya yang bisa menyatukan negeri ini.

“Demokrasi memang melibatkan banyak pendapat dan ini menjadi indikator masyarakat demokrasi yang sehat,” ujarnya dalam seminar tersebut.

Sementara itu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Wiranto dalam keterangan persnya hari Kamis, mengaku adanya penurunan indeks demokrasi pada 2017 dari tahun sebelumnya.

“Memang indeks demokrasi kita menurun sedikit dari tahun 2016 ke tahun 2017,” kata Wiranto.

“Tapi dari sisi partisipasi pemilih meningkat, dari 69,2 persen di tahun 2016 menjadi 74,5 persen di tahun 2017.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.