Keluarga Siyono Laporkan Densus 88 ke Polres Klaten
2016.05.16
Klaten

Keluarga Siyono melaporkan anggota Detasemen Khusus Anti-Teror (Densus) 88 ke Polisi Resort (Polres) Klaten, Jawa Tengah, Minggu, 15 Mei 2016, atas dugaan pidana pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian Siyono (35), terduga teroris.
Laporan diajukan Suratmi, istri almarhum Siyono yang didampingi mertuanya, Marso Diyono, kakak iparnya Wagiyono dan tim pembela kemanusiaan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pembuatan berkas laporan di Kepolisian tersebut berlangsung selama 1,5 jam.
Ketua tim pembela kemanusiaan PP Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan ada tiga poin yang mereka laporkan.
Pertama, dugaan pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian Siyono oleh oknum Densus berinisial Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) T dan Inspektur Dua (Ipda) H.
Kedua, dugaan pidana menghalangi penegakan hukum dan otopsi dengan memberi uang sejumlah Rp100 juta kepada Suratmi dengan disertai surat pernyataan ikhlas untuk ditandatangani istri korban. Uang diserahkan dua Polwan di Jakarta saat keluarga menjemput mayat Siyono.
Ketiga, mereka melaporkan dugaan pidana tentang pelanggaran dokter forensik Arif Wahyono yang menerbitkan sertifikat medis yang tidak benar atas penyebab kematian Siyono tertanggal Jumat 11 Maret 2016.
“Keluarga baru melaporkan sebagai tindak pidana hari ini karena sebelumnya masih menunggu seperti apa arah pertanggungjawaban Polri terhadap kasus ini,” ujar Trisno kepada BeritaBenar, Senin.
Dia menambahkan keluarga Siyono telah mengirimkan surat kepada Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 18 April lalu yang isinya meminta orang nomor satu di jajaran Kepolisian itu menuntaskan kasus kematian Siyono melalui jalur hukum pidana, tapi hingga kini tidak ada jawaban sehingga keluarga memutuskan melaporkan ke Polres Klaten.
Tidak puas putusan sidang etik
Trisno mengaku tidak puas dengan putusan sidang kode etik dan profesi atas dua anggota Densus 88 yang diduga menganiaya Siyono hingga tewas itu. Menurutnya, sanksi yang diberikan terlalu ringan.
“Kami minta semua yang terlibat diperiksa sampai dengan yang memberi perintah,” ujar Trisno yang berkomitmen mengawasi pelaporan kasus tindak pidana ini sampai ke meja hijau.
Komisi Kode Etik dan Profesi Mabes Polri, 11 Mei lalu, menjatuhkan sanksi demosi tak percaya kepada AKBP T dan Ipda H. Artinya mereka tidak direkomendasi untuk melanjutkan tugas di Satuan Kerja Densus 88.
“Mereka dihukum dengan meminta maaf kepada Institusi Polri dan dipindahkan dari Satuan Kerja Densus 88 ke satuan kerja lain dengan kurun waktu minimal 4 tahun,” kata Kadivhumas Polri Brigjen. Pol. Boy Rafli Amar kepada wartawan.
Boy menambahkan bahwa keduanya sudah menyampaikan permohonan maaf pada institusi Kepolisian. "Keduanya menyampaikan banding karena keberatan atas putusan sidang," tambahnya.
Suratmi tidak ingin kasus kematian suaminya dianggap cukup hanya dengan putusan sidang kode etik dan profesi. Demi mendapatkan keadilan atas kematian ayah kelima anaknya, Suratmi memutuskan menempuh jalur hukum pidana.
“Ada yang janggal dengan kematian suami saya, saya ingin keadilan dari hukum di Indonesia,” tuturnya.
Dilimpahkan ke Mabes Polri
Kapolres Klaten AKBP Faizal saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya telah menerima laporan keluarga Siyono. Dia mengaku telah berkoordinasi dengan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum), Ditreskrim Intel dan Kapolda Jateng.
“Kemungkinan penanganannya akan dilimpahkan ke Mabes Polri,” ujarnya singkat.
Seperti diberitakan sebelumnya bahwa Siyono ditangkap Densus pada 8 Maret 2016 karena diduga terlibat terorisme. Ia tewas dalam pengawalan Densus 88 tiga hari dan dikuburkan 13 Maret 2016, tapi makamnya dibongkar kembali untuk autopsi pada 3 April 2016.
Menurut hasil autopsi, korban mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga di bagian kanan dan patah pada tulang dada akibat pukulan benda tumpul di rongga dada yang mengarah ke jaringan jantung yang menjadi penyebab kematian Siyono.
Hasil autopsi berbeda dengan keterangan Kepolisian yang menyatakan Siyono tewas setelah mengalami benturan benda tumpul sehingga menyebabkan pendarahan di kepala saat berkelahi dengan anggota Densus 88.
Tim forensik yang diketuai dokter Gatot Suharto memang menemukan adanya luka ketokan di kepala Siyono tapi tidak menyebabkan pendarahan dan kematian. Hasil forensik juga menunjukkan tidak ada perlawanan dari Siyono karena tak ditemukan adanya luka-luka defensif.