Polri: Jaringan Teror Majalengka Berniat Bisnis Bahan Peledak

Polisi telah menangkap tujuh tersangka yang diduga terlibat pelemparan bom Molotov di depan Gereja Oikumene, Samarinda.
Tia Asmara
2016.11.30
Jakarta
161130_Balibomb_1000.jpg Polisi bersepeda motor berpatroli di depan monumen korban Bom Bali 2002 di Kuta, Bali, pada 22 Januari 2016.
AFP

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengklaim bahwa jaringan teroris Majalengka, Jawa Barat, yang ditangkap pekan lalu, berniat berbisnis bahan peledak.

“Mereka ada niatan berbisnis jual bahan peledak, jual bom. Ini sudah ada indikasi awal, artinya dengan keberhasilan membuat bom, mereka nanti akan menerima pesanan bom dari kelompok-kelompok mana saja yang membutuhkan,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol) Boy Rafli Amar, kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 30 November 2016.

Menurut Boy, hasil uji tes laboratorium forensik menunjukkan bom yang sedang dirakit Rio Priatna Wibowo – yang ditangkap di Majalengka hari Rabu pekan lalu – dan rekannya, berdaya ledak dua hingga tiga kali lipat bom Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang.

“Ditemukan RDX 8 ribu meter per detik. TNT 7 ribu meter per detik, kecuali minus detonator. Uang yang mereka kumpulkan belum cukup. Perlu modal yang cukup besar,” ujar Boy.

Polisi mengatakan jaringan teroris tersebut menargetkan membom Gedung DPR, kedutaan Besar Myanmar, markas besar Polri, dan sejumlah stasiun swasta.

Tim Densus 88 juga menangkap Saiful Bahri alias Abu Syifa di Kabupaten Serang, dan Hendra alias Abu Pase di Tangerang Selatan hari Minggu lalu. Sehari sebelumnya polisi menangkap Bahrain Agam di Aceh Utara.

“Mereka berkenalan via online. Kemudian mulai berkumpul, Juni lalu. Rio dan rekannya bertugas melakukan survei di daerah yang akan jadi target,” jelas Boy.

Boy juga mengatakan kelompok tersebut awalnya berniat membuka bisnis narkotika jenis sabu untuk mendanai aksi teror yang direncanakan akhir tahun ini.

“Cita-citanya sabu dijual untuk bisa mendapat dana aksi teror. Tapi, akhirnya mereka mengubah haluan menjadi ada niat bisnis bahan peledak,” ungkap Boy .

“Barang-barang sudah mereka persiapkan, hanya mereka belum dapatkan detonator. Barang ini setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium forensik minus detonator,” tambahnya.

Spekulatif dan meragukan

Dua pengamat terorisme yang diwawancara BeritaBenar meragukan pernyataan Boy.

Harits Abu Ulya, direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), menilai pernyataan Polri terkait bisnis narkoba sangat spekulatif.

“Semua baru rencana dan rencana, belum bisa divalidasi,” katanya.

Biasanya, ujarnya, jaringan teroris memanfaatkan lingkungan sekitar untuk mendapat dana buat melakukan aksi teror.

“Dana digalang dari kawan yang dia kenal. Internal kawan dia sebagai donasi,” tegas Harits.

Hal senada disampaikan pakar terorisme yang juga adalah Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie. Ia menyebutkan, meskipun pendanaan aksi teror ada dari bisnis narkoba, namun biasanya dijumpai dalam kasus narapidana di penjara.

“Memang ada beberapa kasus dalam penjara, artinya narapidana teroris bekerjasama dengan narapidana narkotika untuk mendapatkan dana tapi dana lebih diperuntukkan untuk pribadi dan bukan buat kegiatan terorisme,” ujarnya.

Menurut Taufik, di Indonesia belum lazim pendanaan teror dari bisnis narkoba karena masih memakai metode donasi, bantuan kelompok lain, perampokan ataupun kejahatan internet.

“Kalaupun ada hanya satu dua orang dan impaknya tidak terlalu besar,” jelasnya.

Lain halnya jika bisnis yang dijalani merupakan penjualan bahan peledak karena hal itu memang merupakan keahlian para teroris, tambahnya.

“Bisa juga dijual bahan-bahannya ke kelompok teroris lain. Apalagi, mendapatkan bahan kimia di Indonesia masih tergolong bebas,” tutur Taufik.

Dia meragukan kalau tersangka jaringan Majalengka bisa merakit bom berkapasitas ledakan melebihi bom Bali karena generasi teroris saat ini tidak mendapatkan kursus di Afganistan atau Filipina Selatan seperti dialami generasi 15 tahun lalu.

“Saya ragu mereka dapat sekuat itu karena mereka belajar hanya dari internet saja tidak melalui kursus yang memakan waktu lama,” katanya.

Perkembangan kasus bom Samarinda

Dalam jumpa pers di Mabes Polri, Boy juga menerangkan polisi telah menangkap tujuh tersangka, termasuk dua remaja – GA (16) dan RP (17) –  yang diduga terlibat teror bom Molotov di depan Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, 13 November lalu.

“Kalau anak, penahanan tujuh hari, kita sudah melimpahkan ke Kejaksaan. Informasi hari ini akan dilimpahkan ke kejaksaan,” jelasnya mengacu pada kedua tersangka yang berumur di bawah 18 tahun tersebut.

Polisi juga menetapkan lima tersangka lain dalam aksi teror yang menewaskan seorang balita berusia 2,5 tahun itu dan melukai tiga balita lainnya. Kelima tersangka adalah Juhanda (J), S, JS, R, dan AD.

Boy menyebutkan, kelompok teror di Samarinda terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pimpinan Joko Sugito.

Joko pernah ditunjuk untuk menghadiri acara JAD Indonesia pada 2015 di Malang, Jawa Timur, yang menginstruksikan perintah dari Aman Abdurahman untuk hijrah ke Suriah.

Aman adalah terpidana kasus terorisme yang masih meringkuk di penjara karena terlibat pelatihan militer kelompok Jamaah Islamiyah di Jalin Jantho, Kabupaten Aceh Besar, pada 2010.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.