Menikmati Harmoni Jazz di Masjid Cut Meutia
2016.06.21
Jakarta

Usai shalat Tarawih, Jumat, 17 Juni 2016, sekelompok pemuda naik ke panggung megah berhias tata panggung LED yang didirikan persis di halaman Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.
Mereka menyesuaikan nada seperangkat alat musik yang sudah tersedia di panggung mulai dari gitar, bas, keyboard, drum, hingga saksofon. Sejurus kemudian, hentakan nada pun mengalun, mengisi udara malam di sekitar kompleks masjid.
Malam itu acara tahunan Ramadhan Jazz Festival dimulai dengan mengusung tema ‘Harmony in Culture of Islam’. Festival dua hari untuk keenam kali itu adalah puncak rangkaian kegiatan yang digelar Remaja Masjid Cut Meutia (RICMA) dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Tampak hadir beberapa tokoh di Indonesia, termasuk Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto – yang menjabat Ketua Dewan Pembina RICMA sejak 1994. Ia menyampaikan apresiasi terhadap upaya anggota RICMA yang telah melestarikan tradisi tahunan tersebut.
“Musik membawa semua anggota masyarakat bersatu, tak peduli suku, bangsa atau agama mereka,” ujar Wiranto yang juga menyempatkan diri memberikan santunan kepada sejumlah anak yatim piatu.
Diiringi maestro jazz Indonesia, Idang Rasjidi, sang jenderal pun unjuk kebolehannya bernyanyi untuk menghibur ratusan pengunjung yang hadir lewat alunan tembang lawas “Juwita Malam” ciptaan Ismail Marzuki.
Harmoni masyarakat Indonesia
Idang yang tampil bersama dengan band-nya Quintet, membuka hari pertama festival memuji acara itu serta tema yang diusung. Apalagi festival jazz di lingkungan masjid adalah pertama di Indonesia yang diprakarsasi RICMA, enam tahun lalu.
Seakan menandakan kehidupan harmoni masyarakat Indonesia yang beragam, ia mengundang penyanyi soprano kelahiran Bali, Putu Sastrani Titaranti, untuk menyanyikan lagu gubahannya, “Saling Memaafkan”.
“Lagu yang dibawakan berkisah tentang perbedaan. Sejuk kan kalau kita bisa saling memaafkan, saling menghormati? Semoga dapat mengingatkan bahwa perbedaan itu indah,” ungkap Idang dari belakang keyboard-nya, sebelum melantunkan lagu-lagu lain.
Selain Idang, beberapa penyanyi dan band jazz favorit lain seperti Dira Sugandi, Yuka Tamada, Ecoutez, Fariz RM, Maliq & D’Essentials, dan Barry Likumahuwa juga tampil di ajang tersebut.
“Gue bangga banget sama Indonesia, walaupun beda-beda tapi tetap satu. Hari ini adalah buktinya,” ujar Barry.
Para pengunjung tengah menikmati alunan musik jazz di 6th Ramadhan Jazz Festival di Plaza Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta, 17 Juni 2016. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)
Musik, bahasa universal
Antusiasnya sambutan masyarakat membuat Ketua RICMA, M. Soekarno Hatta berkomitmen untuk terus menggelar kegiatan serupa pada tahun-tahun ke depan.
“Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman radikalisme. Musik adalah bahasa universal yang mampu menyatukan semua. Musik juga salah satu sarana untuk berdakwah, terutama untuk menangkal radikalisme dan menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi,” katanya.
Project Officer 6th Ramadhan Jazz Festival, Muhammad Deo Saputra mengamini pernyataan rekannya.
“Yang membedakan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah temanya, yaitu tentang harmoni. Kami berharap semua komunitas, agama, atau organisasi bisa bersatu dalam harmoni, sehingga membangun Indonesia jadi lebih positif,” kata Deo kepada BeritaBenar.
Seorang pengunjung, Ega Chandra, mengaku baru pertama menghadiri Ramadhan Jazz Festival. “Acaranya bagus. Aku suka musik jazz. Artis-artis yang didatangkan juga keren,” ujar pria 24 tahun itu.
Hanya saja, acara di lingkungan masjid menjadi perhatian khusus Ega. Dia mengusulkan agar ke depan acara tersebut jangan digelar di area masjid.
“Lebih baik di tempat lain saja. Karena menurutku tidak cocok. Masjid, tempat ibadah. Judulnya Ramadhan Jazz, bukan jazz masjid. Artis-artisnya harus berkoordinasi agar membawa lagu-lagu bernuansa Islami dengan aransemen jazz,” begitu masukan Ega.
Novriantoni Kahar, pengamat toleransi beragama dari Universitas Paramadina Jakarta, menilai bahwa bagi kalangan Islam moderat, musik tabuh seperti rebana dan marawis boleh main di lingkungan masjid dan sudah banyak dilakukan di Indonesia.
Tetapi “bagi mereka yang ekstrem, jangankan buat festival jazz di lingkungan masjid, musik saja haram,” ujarnya kepada BeritaBenar. “Jika jazz sudah masuk masjid, itu lebih keren lagi. Artinya umat Islam sudah tidak antipati dengan alat-alat musik non-padang pasir.”
Menurut dia, remaja Islam memandang kegiatan itu sebagai syiar dengan memodifikasi lagu-lagu Islami. “Jadi bukan musik atau alat musiknya yang diharamkan, tapi tujuan dan niatnya,” kata Novriantoni. “Orang yang membolehkan kegiatan begini paling tidak berpandangan cukup moderat.”
Tiket diganti Infak
Ada yang menarik dari Ramadhan Jazz Festival setiap tahunnya. Berbeda dari acara musik lain, gelaran ini tidak menjual tiket kepada pengunjung.
Pengunjung bisa menikmati penampilan artis-artis jazz yang tampil dengan beramal, mulai dari berinfak, donor darah bersama tim Palang Merah Indonesia dan donasi buku bekas atau baru.
Selain itu, membacakan satu juz Al-Quran untuk nantinya dikompilasikan mendukung Qur’an Indonesia Project. Donasi uang dan buku yang terkumpul akan disalurkan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan.
“Karena pada dasarnya masuk masjid tidak bayar. Kami tidak mau sampai menguangkan masjid. Kami mengundang penonton untuk ber-infaq dan donasi. Misi sosial kami angkat di sini,” imbuh Deo.
Ke depan, dia berharap tradisi ini bisa lebih besar lagi. “Kami berharap acara serupa bisa digelar di masjid-masjid lain. Itu pasti akan sangat menggembirakan kami sebagai pionir,” pungkas Deo.