Bangkitkan Jamaah Islamiyah, Para Wijayanto Divonis 7 Tahun Penjara
2020.07.20
Jakarta

Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (20/7) menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada pimpinan kelompok militan yang berada di belakang serangan teror Bom Bali atas tuduhan tindak pidana terorisme dan upaya membangun kembali organisasi yang telah dilarang di Indonesia itu.
Hakim mengatakan Para Wijayanto (55) terbukti membangun kembali Jamaah Islamiyah (JI), setelah organisasi sayap dari jaringan teroris Alqaeda di Asia Tenggara tersebut dilarang di Indonesia pada 2008.
Berdasarkan dakwaan, Para disebut menggelar sejumlah pertemuan dengan anggota JI yang tersisa, menambah beberapa struktur baru untuk menguatkan sel terputus JI, membuat buku panduan perjuangan JI versi baru dan menggelar pelatihan bela diri bagi anggotanya.
Para juga memberangkatkan sejumlah orang ke Suriah untuk berlatih militer dengan Free Syrian Army (FSA) serta mencari suplai senjata, kata majelis hakim.
"Dengan rangkaian kegiatan itu, unsur menggerakkan orang lain untuk terlibat pidana terorisme terpenuhi menurut hukum," kata Ketua Hakim Alex Adam Faisal, menyitir dakwaan Pasal 14 juncto 7 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Persidangan digelar lewat konferensi video karena pandemi COVID-19. Majelis hakim, jaksa, dan kuasa hukum bersidang di gedung pengadilan, sementara Para berada di rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya.
"Meski tidak menggunakan kekerasan, tapi terdakwa sudah menyiapkan rencana dan kader dengan tujuan mendirikan negara Islam di wilayah Indonesia."
Menanggapi vonis majelis hakim, Para menerimanya. Pun, jaksa penuntut yang sebelumnya menuntut hukuman yang lebih tinggi yakni sepuluh tahun penjara.
Berbarengan dengan persidangan Para, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur juga membacakan vonis untuk Deputi Umum Jamaah Islamiyah Budi Tri Karyanto, alias Haidar (42).
Ia dihukum 6 ½ tahun penjara, dari sebelumnya tuntutan sembilan tahun oleh jaksa penuntut. Budi menerima putusan hakim.
Para ditangkap bersama istrinya Masitha Yasmin di sebuah hotel di Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri pada 29 Juni 2019.
Sosok berpengalaman
Merujuk dakwaan, pertemuan antara Para Wijayanto dan anggota JI yang tersisa berlangsung pada 2008 di Tretes, Jawa Tengah. Pertemuan ini membahas kepanitiaan pemilihan amir atau pimpinan JI selepas dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun yang sama.
Setahun setelahnya, pertemuan kembali digelar di Tretes dengan agenda pemilihan pimpinan JI. Dalam kesempatan inilah Para dipilih sebagai amir baru organisasi.
Sementara buku panduan diterbitkan pada 2010 yang antara lain memuat panduan jalur komunikasi, penggunaan sandi, dan penggunaan nama alias untuk menjaga kerahasiaan identitas.
Pelatihan bela diri untuk anggota dengan nama sasana Qital Qorib dimulai pada 2011. Materi pelatihan menyadur materi bela diri pasukan khusus di sejumlah negara yang didapat dari Youtube.
Untuk menjalankan pelatihan, Para pun mengalokasikan dana sebesar Rp140 juta. Sasana ini dibentuk Para untuk mendukung jihad global karena ia menilai orang Arab jarang memiliki kemampuan bela diri.
Para diduga memiliki peran dalam beberapa serangan JI yang mematikan, termasuk pemboman terkoordinasi pada malam Natal 2000 yang menewaskan 18 orang, dan pemboman Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang.
Polisi dan pakar antiteror mengatakan JI juga berada di balik aksi teror lainnya termasuk pemboman di Hotel J.W. Marriott di Jakarta pada 2003, di mana 12 orang terbunuh, serangan Kedutaan Besar Australia pada 2004 yang menewaskan sembilan orang, dan pemboman di JW. Hotel Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta pada 2009yang menewaskan tujuh orang termasuk kedua pelaku.
Dalam pernyataan pers pada Juli 2019, Kepala Biro Penerangan Divhumas Polri kala itu, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, mengatakan bahwa Para sejatinya telah ditetapkan sebagai buron tindak pidana terorisme sejak 2008, namun selalu gagal dicokok karena melarikan diri ke Sulawesi Tengah dan bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Dalam kesempatan itu pula, Dedi menambahkan bahwa Para memiliki kemampuan militer, intelejen, dan merakit bom.
"Tahun 2000-an, ia pernah mengikuti pelatihan militer di Moro, Filipina Selatan, dan merupakan angkatan ketiga. Ia juga lulusan S1 Teknik Sipil universitas ternama di Jawa," terang Dedi.
Pengalaman itu pula, tambah Dedi, yang membuat Para pernah menjadi penasihat bagi Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kelompok militan bersenjata terafiliasi Negara Islam (ISIS) di Poso, Sulawesi Tengah.
"PW (Para Wijayanto) memberikan masukan kepada jaringan yang ada di Poso yang kini menjadi MIT, serta menyuplai senjata," ujar Dedi.
Tolak bergabung dengan JAD
Dalam pernyataan kepada BenarNews pada Juni 2019, peneliti terorisme Asia Tenggara Sidney Jones sempat mengatakan bahwa Para semakin dikenal dan memiliki pengaruh di tengah simpatisan JI setelah organisasi itu dinyatakan terlarang oleh otoritas Indonesia dan menolak untuk melebur dengan Jamaah Ansharut Daulan (JAD) kelompok yang terafilisi ISIS yang dibentuk seorang ulama, Aman Abdurrahman.
JAD telah dinyatakan sebagai kelompok terlarang oleh Pengadilan Negeri Jakarta pada Juli 2018, setelah terbukti berada di belakang berbagai aksi teror termasuk aksi teror bom di Thamrin, Jakarta dan pelemparan bom di sebuah gereja di Kalimantan Timur pada 2016, serta serangan bom di tiga gereja dan markas polisi di Surabaya pada 2018.
Penolakan untuk melebur ke JAD, kata Sidney, lantaran Para melihat cara kekerasan yang dilakukan ISIS sebagai kontra produktif.
Namun demikian Para bukan tidak setuju atas aksi kekerasan itu, namun melihatnya sebagai hanya akan menyebabkan kelompok mereka ditangkap pihak berwenang,
"Mereka sangat anti-ISIS. Mereka tetap ingin JI berkembang lambat laun mendirikan suatu negara Islam Indonesia," kata Sidney kala itu.
Perbedaan pandangan dengan ISIS itu pula yang membuat Para sempat mengirimkan sejumlah orang ke Suriah untuk melawan ISIS. "Jadi, mereka (JI) berbeda dengan JAD."