Pengamat: Sebagai Presiden G20, Jokowi harusnya tidak absen dalam Sidang Umum PBB
2022.09.22
Jakarta

Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak menghadiri secara langsung Sidang Umum PBB selama delapan tahun berturut-turut merupakan tindakan menyia-nyiakan momen berharga bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya terkait isu global dan menurunkan citra Jakarta yang memegang presidensi G20, kata legislator dan pengamat, Kamis (22/9).
Sejak menjabat sebagai presiden pada 2014, Jokowi belum pernah datang langsung ke perhelatan tahunan di New York itu.
Tahun ini Jokowi kembali tidak menghadiri sidang umum PBB, yang mulai digelar sejak pekan lalu hingga 27 September mendatang, karena ingin fokus pada urusan domestik yang lebih mendesak, demikian Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono.
“(Presiden) lebih konsentrasi di dalam negeri dulu, banyak tugas-tugas segera yang perlu dibahas dengan para menteri,” kata Heru kepada BenarNews.
Namun anggota DPR Sukamta menyayangkan keputusan Presiden tersebut karena Sidang Umum PBB adalah kesempatan berharga bagi Indonesia untuk menunjukkan sikap dan posisi negara di forum politik internasional.
“Memang cukup disayangkan ketidakhadiran Pak Jokowi di Sidang Umum PBB ini,” ujar Sukamta kepada BenarNews, menambahkan, “walaupun Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mampu menggantikan kehadiran pemerintah di forum tersebut.”
Retno Marsudi dijadualkan mewakili Indonesia dalam sidang majelis itu dengan memberikan pidatonya pada 26 September di New York.
Sekitar seratusan kepala negara dan kepala pemerintahan secara langsung hadir dalam Sidang Umum ke-77 tahun ini yang selama dua tahun sebelumnya dilakukan daring karena pandemi COVID-19.
Jokowi memberikan pidatonya melalui sambungan video dari Indonesia pada tahun 2020 dan 2021. Sebelumnya, dalam periode pertama kepresidenannya, ia selalu mengutus Jusuf Kalla, wakil presiden saat itu.
Menurut Sukamta, kehadiran Presiden Jokowi bisa menjadi kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia di kancah global saat dunia sedang berada dalam transisi dari unipolar ke multipolar.
“Dunia sekarang ini memerlukan figur-figur baru kepemimpinan di tengah situasi ketidakpastian ini,” terang Sukamta, legislator dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hal senada disampaikan pakar hubungan internasional Dinna Prapto Raharja yang menegaskan bahwa pertemuan langsung selama Sidang Umum PBB merupakan kesempatan penting bagi para pemimpin dunia untuk bertukar gagasan yang tidak mungkin terjadi dalam forum lain.
“Kehadiran juga melambangkan dukungan terhadap multilateralisme,” kata Dinna kepada BenarNews.
Sebab, kata Dinna, multilateralisme sangat penting saat ini mengingat ekonomi global bertabrakan dengan kebuntuan komunikasi yang semakin meningkat di antara kekuatan-kekuatan besar, seperti negara-negara G-7, Rusia dan China.
“Mungkin Presiden Jokowi memiliki inisiatif lain untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di luar Sidang Umum? Ini sesuatu yang perlu ditanyakan kepada Beliau,” kata Dinna.
“Pemimpin dunia”
Ketika berpidato dalam Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus, Jokowi menyatakan dengan status ketua G20 tahun ini dan ketua ASEAN tahun depan, Indonesia mendapat kepercayaan internasional sebagai salah satu pemimpin.
"Artinya, kita berada di puncak kepemimpinan global dan memperoleh kesempatan besar untuk membangun kerja sama internasional," ujarnya, seraya menyebutkan bahwa Indonesia diterima oleh Rusia dan Ukraina sebagai jembatan perdamaian atas konflik mereka.
Ketidakhadiran Jokowi di PBB dikhawatirkan dapat menghilangkan kesempatan itu.
“Idealnya, sebagai pemegang keketuaan G20, Indonesia memanfaatkan segala kesempatan untuk menunjukkan pada dunia mampu menjadi pemimpin dunia,” ungkap Yanuardi Syukur, peneliti Center for Strategic Policy Studies Universitas Indonesia kepada BenarNews.
Dosen Hubungan Internasional di Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, Muhammad Syaroni Rofii, mengatakan pilihan Jokowi untuk tidak hadir forum tersebut kemungkinan besar dipicu oleh demo akibat kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak yang berlangsung beberapa pekan belakangan.
“Tampaknya Pak Jokowi ingin memastikan sendiri kondisi dalam negeri stabil,” ujar Syaroni kepada BenarNews.
“Sejauh ini Pak Jokowi memang lebih konsen dengan politik domestik. Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama. Sementara porsi kebijakan luar negeri sebagian besar didelegasikan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi,” tambah Syaroni.
Dia mengharapkan ketidakhadiran Jokowi di New York tidak berdampak pada perhelatan G20 di Bali November ini.
“Secara tradisi, para pemimpin negara komitmen untuk hadir di pertemuan G-20. Karena mengandung prestise. Tapi kali ini, ada faktor perang Ukraina-Rusia. Kemudian tidak hadirnya Presiden Jokowi di Sidang Umum PBB, tentu ada dampaknya,” ungkap Syaroni.
“Bukan ‘man of ideas’”
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjajaran Atip Latipulhayat mengatakan ketidakhadiran Jokowi berdampak serius.
“Jadi kehadiran kepala negara sangat penting, karena dia bukan saja mewakili eksistensi negaranya tapi juga ini sebagai forum untuk menyampaikan aspirasi bangsanya,” ucap Atip kepada BenarNews melalui pembicaraan telepon.
Atip mencontohkan bagaimana Presiden Soekarno dulu menjadikan forum sidang umum PBB sebagai sesuatu yang sangat penting, sampai pidato presiden pertama yang berjudul "To Build the World a New" menarik perhatian dunia dan menjadikan Indonesia dihormati di kancah internasional.
“Yang paling tahu alasan tidak hadir, ya Jokowi sendiri, tapi jika saya diminta memprediksi alasannya, Pak Jokowi merasa Beliau bukan man of ideas, berbeda dengan Soekarno. Soekarno menanti forum itu dan dia ingin menyampaikan ide-idenya,” ujar Atip.
Atip mengatakan sikap Jokowi yang tidak begitu perhatian dengan persoalan internasional membuat posisi Indonesia tidak berpengaruh sebagai penengah konflik.
“Ketika Jokowi menjadi juru damai perang Ukraina-Rusia, hasilnya tidak sesuai yang diinginkan. Coba kalau Beliau sudah menanam saham hadir di forum-forum PBB,” kata Atip, merujuk lawatan ke kedua negara yang sedang berkonflik itu akhir Juni lalu.
“Padahal bila satu kali saja hadir, bisa dikatakan ketidakhadiran Jokowi sebelumnya akan tertutupi. Padahal di PBB Indonesia adalah anggota senior. Bukan level D atau C. Bisa dikatakan posisi Indonesia berada pada level A di PBB sebagai negara besar,” kata Atip.