Jokowi: Tak Ada Tempat Bagi Kelompok Intoleran

Polri terus berupaya mengungkap kasus-kasus penyerangan atas pemuka agama, sambil berusaha mencegah potensi gesekan di tengah masyarakat.
Rina Chadijah & Kusumasari Ayuningtyas
2018.02.12
Jakarta & Yogyakarta
180212_ID_Churchh_1000.jpg Para jemaat membersihkan Gereja Santa Lidwina di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 12 Februari 2018.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan, tidak ada tempat bagi kelompok intoleran di Indonesia, sementara polisi mengungkapkan bahwa pelaku penyerangan Gereja Santa Lidwina di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), diduga terpengaruh paham radikal dan pernah ingin berangkat ke Suriah.

"Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara kita, Indonesia. Apalagi dengan cara-cara kekerasan. Berujar saja tidak, apalagi dengan kekerasan," kata Jokowi kepada wartawan di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin, 12 Februari 2018.

Dia mengaku telah menginstruksikan Kapolri untuk menindak tegas pelaku intoleransi.

"Masyarakat kita ini sudah puluhan tahun hidup bersama dengan pemeluk keyakinan yang beragam dan berbeda-beda," ujar Jokowi.

Pernyataannya disampaikan sehari setelah terjadi serangan terhadap Gereja Santa Lidwina oleh seseorang bersenjatakan pedang.

Suliyono, pelaku penyerangan tersebut melukai lima orang, termasuk pastor di gereja itu -  Romo Karl Edmund Prier, dan seorang polisi. Pelaku kemudian ditembak polisi dan peluru di kakinya sudah dikeluarkan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan berdasarkan penelusuran tim Densus 88 dan intel Mabes Polri, diketahui bahwa Suliyono pernah singgah di beberapa tempat seperti Poso di Sulawesi Tengah, dan Magelang di Jawa Tengah.

“Ada indikasi kuat yang bersangkutan kena paham radikal yang pro-kekerasan,” katanya kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta.

Tito menambahkan, Suliyono pernah berencana mau berangkat ke Suriah, tapi gagal.

“Dia pernah mencoba membuat paspor untuk berangkat ke Suriah. Tapi tidak berhasil, akhirnya dia menyerang ‘kafir’ versi dia," ujar Kapolri.

Tito belum mau mengungkap apakah Suliyono masuk jaringan teror atau melancarkan aksinya atas inisiatif diri atau lone wolf karena polisi masih mendalaminya.

Kapolda DIY, Brigjen. Pol. Ahmad Dhofiri, menyatakan Suliyono yang sempat kritis telah dioperasi untuk mengeluarkan peluru dari kaki kanannya.

“Harapannya kita bisa memeriksa hari ini (Senin) karena pagi tadi baru siuman,” ujarnya dalam jumpa pers di Mapolda DIY.

“Kita diback-up Densus 88. Kita juga belum tahu apakah pemeriksaan akan dilakukan di sini atau dibawa ke Jakarta.”

Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Thayep Malik, menyebutkan aksi Suliyono sudah bisa dikategorikan lone wolf terlepas apakah dia tergabung dalam jaringan teroris atau tidak.

“Dia ingin menyebarkan rasa takut dan hanya melukai (korban) dan gereja memang salah satu sasaran lone wolf,” katanya kepada BeritaBenar.

Tetapi, Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) tidak yakin jika Suliyono seorang lone wolf.

“Kemungkinan bukan lone wolf, tapi harus menunggu investigasi lebih lanjut,” ujarnya, yang menolak berkomentar lebih jauh.

Menurut sumber dari salah seorang pejabat penanggulangan terorisme, terdapat seruan dari kelompok-kelompok radikal untuk melakukan serangan di Indonesia dengan mengunakan senjata tajam, seminggu sebelum serangan atas Gereja Lidwidna, seperti dilansir dari Channel NewsAsia.

Seorang saksi mata, Yohanes Danang, menyatakan Suliyono yang bersenjatakan pedang tidak menampakkan ekspresi apapun dan tidak mengucapkan kata-kata apapun selama melakukan penyerangan.

“Tujuan serangannya tidak jelas, asal sabet sana sabet sini,” tuturnya.

Selain menyerang jemaat, Suliyono juga menebas kepala Patung Yesus dan Bunda Maria di dalam gereja tersebut.

Kapolda DIY, Brigjen. Pol. Ahmad Dhofiri saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda setempat, 12 Februari 2018. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Kapolda DIY, Brigjen. Pol. Ahmad Dhofiri saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mapolda setempat, 12 Februari 2018. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

 

Beberapa insiden kekerasan

Selain penyerangan di Gereja Lidwina, dalam sebulan terakhir terjadi sejumlah insiden aksi kekerasan terhadap tokoh dan pemuka agama.

Aksi intoleran dialami Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kabupaten Tangerang, Banten, 7 Februari 2018. Mereka dilarang menjalankan kegiatan keagamaannya, karena dianggap menyalahgunakan fungsi tempat tinggal menjadi lokasi ibadah.

Pada 1 Februari 2018, Ustaz HR Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam tewas usai dianiaya seorang pria di Cigondewah Kaler, Bandung Jawa Barat. Polisi meyakini pelaku “mengalami gangguan jiwa”.

Sebelumnya, seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang juga Pengasuh Pesantren Al-Hidayah Cicalengka di Bandung, Jawa Barat, KH Umar Basri dianiaya seorang pria ketika korban sedang berzikir usai shalat subuh di masjid, pada 27 Januari 2018

Terus antisipasi

Kepala Bidang Humas Polri, Irjen. Setyo Wasisto. menyatakan bahwa Polri terus berupaya mengungkap kasus-kasus penyerangan atas tokoh agama, sambil berusaha mencegah potensi gesekan di tengah masyarakat.

“Tentu kita serius dalam menyelesaikan ini semua. Tapi tidak bisa hanya Polri sendiri, semua pihak perlu ikut mendorong, terutama pemuka agama, agar aksi-aksi intoleran tidak terjadi lagi,” katanya kepada BeritaBenar.

Setyo menolak anggapan kalau polisi kecolongan dalam menyikapi kasus intoleransi itu. Menurutnya, masyarakat harus berperan untuk mencegah berkembangnya radikalisme dan tindakan intoleran.

“Kewaspadaan di lingkungan masyarakat perlu ditingkatkan. Kemudian juga tidak mudah terhasut dengan kabar bohong yang berkembang. Saya kira itu menjadi kunci mencegah berkembangnya paham radikal dan sikap intoleran,” katanya.

Ketua Setara Institute, Hendardi, mengingatkan agar aparat mewaspadai dan mencegah pola gangguan keamanan yang menyasar tokoh agama dan menggunakan sentimen keagamaan, untuk memecah belah umat.

“Aparat tidak boleh tunduk terhadap kelompok-kelompok intoleran dalam penegakan hukum,” katanya dalam pernyataan tertulis.

Sedangkan, Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan PBNU, Robikin Emhas menilai kekerasan terhadap pemuka agama, berpotensi melahirkan saling curiga yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.