Diprotes, Jokowi Tetap Lantik Arief Hidayat Jadi Hakim MK
2018.03.27
Jakarta

Presiden Joko “Jokowi” Widodo melantik Arief Hidayat jadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta, Selasa 27 Maret 2018, meski diprotes berbagai kalangan karena Arief pernah dua kali terbukti melanggar kode etik ketika menjabat Ketua MK pada 2016 dan 2017.
Arief dilantik sebagai hakim MK berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) setelah dinyatakan lulus uji kelayakan di DPR, Desember 2017.
Jokowi mengatakan, pelantikan Arief sudah sesuai aturan karena guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, itu dipilih menjadi hakim MK oleh DPR.
“Prof Arief adalah hakim MK yang dipilih DPR,” kata Jokowi menanggapi kritik berbagai pihak karena tetap melantik Arief.
Menurut Jokowi, masalah etika Arief merupakan ranah MK.
“Mekanismenya ada di MK, jangan saya disuruh masuk ke wilayah yang bukan wilayah saya,” ujarnya kepada wartawan.
Arief enggan menanggapi berbagai kritik terhadapnya, termasuk desakan agar mundur dari MK.
“Saya tidak terganggu apa-apa, saya tidak komentar. Saya akan kerja seperti biasa,” katanya usai pelantikan.
Dia mempersilakan pihak yang ingin menggugat Keppres pengangkatannya sebagai hakim MK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Yang digugat bukan saya, tapi Keppres. Kami nggak masalah, silahkan saja,” katanya.
Menyadari protes, Arief pun melunak. Dia menegaskan tidak akan ngotot lagi menjadi Ketua MK periode selanjutnya, yang akan dipilih dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang rencananya akan digelar pada Rabu, 28 Maret 2018.
“Saya tidak jadi (ketua) pun siap, daripada dibully terus,” katanya kepada wartawan.
Sah
Pakar hukum dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, meski ada yang menolak, pelantikan Arief sebagai hakim MK secara formal sudah sah.
“Karena rekruitmen hakim MK itu dari tiga pihak yaitu presiden, DPR dan MA. Arief lolos dari seleksi DPR, terlepas dari cara rekruitmannya cacat, karena Arief dihukum etika, itu sah pengangkatannya,” kata Abdul kepada BeritaBenar.
Terkait desakan mundur, tambahnya, itu merupakan hak Arief.
“Tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap Arief, kecuali DPR mencabut mandatnya,” katanya.
Arief adalah satu-satunya hakim MK yang dilantik dua presiden berbeda.
Sebelum diambil sumpah oleh Jokowi, Arief pernah dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 April 2013.
Dua tahun kemudian, dia terpilih menjadi Ketua MK menggantikan Hamdan Zoelva.
Arief kembali terpilih menjadi hakim MK usai diseleksi DPR akhir 2017. Dari 10 fraksi di DPR, sembilan di antaranya menyatakan setuju, kecuali Fraksi Gerindra yang menolak.
Anggota Fraksi Gerindra di DPR, Desmon J Mahesa mengatakan, sejak awal pihaknya menolak menguji kelayakan Arief sebagai calon hakim tunggal MK, karena pernah melakukan pelanggaran etik.
"Memang dia orang yang terbaik? Menurut saya enggak. Sejak awal dia sudah aneh," kata Desmon.
Dilema
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul menilai, Jokowi jadi dilema jika tidak melantik Arief yang sudah lulus di DPR.
“Kalau Jokowi tidak melantiknya (Arief), justru bisa jadi masalah baru,” katanya kepada BeritaBenar.
Selama menjabat Ketua MK, Arief dua kali dinyatakan terbukti melanggar kode etik hakim. Dia pernah mengirim surat titipan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk meminta agar “membina” kerabatnya pada 2016.
Kerabat Arief tersebut diketahui pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur.
Atas perbuatannya itu, Dewan Etik MK memutuskan Arief melanggar etika dan dijatuhi sanksi etik berupa teguran lisan.
Pelanggaran etik kedua terjadi jelang uji kelayakan dan kepatutan DPR pada 6 Desember 2017, dimana Arief menemui pimpinan Komisi III DPR RI, lembaga yang diberi amanat menyeleksi hakim MK, di sebuah hotel di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK melaporkan pertemuan Arief dan pimpinan Komisi III DPR ke Dewan Etik MK.
Pertemuan itu diduga untuk lobi agar dia lulus jadi hakim MK. Diduga juga lobi tersebut agar menolak permohonan uji materi materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang banyak diprotes publik.
Tetapi, juru bicara MK, Fajar Laksono menyatakan, Dewan Etik tidak menemukan bukti bahwa Arief melakukan lobi politik. Dewan Etik MK hanya memberi sanksi teguran lisan lagi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang menyangkal Arief melobi mereka.
"Lobi-lobi apa? Buktikan saja kalau ada. Clear semua. Enggak ada urusan. Kita lihat semua. Beliau bisa menjawab. Beliau bisa menjelaskan tentang isu-isu yang beredar di masyarakat selama ini," ujarnya.
Saat Arief menjabat Ketua MK, lembaga itu pernah jadi sorotan publik karena hilangnya sejumlah berkas perkara yang sedang berproses seperti sengketa Pilkada Dogiyai, Papua dan Pilkada Aceh Singkil, tahun 2017.
Atas kontroversi itu, berbagai pihak mendesak Arief mundur.
Malah, Forum Akademisi Selamatkan MK yang berisi 75 profesor, pada Januari lalu, menyatakan Arief harus mundur demi menjaga marwah KPK.
Namun, Arief tetap bergeming.