Jokowi Memprioritaskan Pembangunan Di Perbatasan
2015.07.07

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa pembangunan di perbatasan harus menjadi prioritas utama Indonesia untuk meningkatan kesejahteraan dan menekan kemungkinan konflik dan kejahatan.
Presiden menginginkan agar pembangunan infrastruktur dilakukan di daerah perbatasan untuk mengembangkan perekonomian. Sejauh ini dana yang disediakan adalah Rp58 miliar.
“Kita harapkan perbatasan bisa digunakan secara maksimal oleh rakyat, bisa melayani ekspor impor serta pemberantasan kegiatan illegal," katanya di Kantor Kepresidenan tanggal 7 Juli, saat membuka rapat pengembangan daerah perbatasan.
"Kami ingin memperbaiki kondisi di wilayah perbatasan seperti di Papua dan Kalimantan," katanya lanjut.
“Masih banyak daerah perbatasan berpotensi bagus yang masih belum begitu dikembangkan.”
Jokowi Menagih Janji
Dalam pertemuan ini Presiden meminta pertanggungjawaban dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang juga sebagai kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Tjahjo menambahkan bahwa arahan Presiden Jokowi tentang daerah perbatasan sangat jelas. Dalam waktu satu hingga dua tahun di bagian perbatasan seperti Malaysia, Filipina, Timor Leste, hingga Papua Nugini harus segera terwujud.
"Presiden menagih realisasi percepatan infrastruktur di daerah. Mudah-mudahan dalam waktu dua tahun bisa tercapai," katanya.
Marginalisasi, konflik dan terorisme
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mendukung pembangunan di perbatasan.
“Daerah perbatasan kebanyakan masih marginal. Jika ini terus dibiarkan akan membahayakan kestabilan negara. Daerah perbatasan rawan kejahatan termasuk terorisme,” kata Khofifah kepada BeritaBenar hari Selasa sambil menambahkan bahwa daerah perbatasan sering digunakan sebagai penyelundupan manusia, senjata, bahkan obat terlarang.
Staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Agus Surya Bakti mengatakan hal yang sama.
“Perbatasan Kalimantan dan Filipina pernah digunakan oleh militan kelompok al-Qaeda untuk menyelundupkan senjata bagi para militan yang mendukung para Jihadis di Ambon,” katanya.
“Ali Fauzi, mantan militan al-Qaeda pernah memberikan kesaksian yang sama. Jadi ini bukan rumor,” katanya lanjut.
“Konflik di Ambon adalah contoh. Saat itu akarnya adalah masalah ekonomi antara penduduk pribumi dan pendatang yang mempunyai latar belakang agama,” katanya sambil menjelaskan bahwa konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) ini kemudian berlanjut dengan perluasan gerakan ‘jihad’.
Hal yang sama terjadi di Poso. Daerah ini menjadi sarang militan bukan hanya karena wilayah geografisnya tetapi juga sejarah konflik SARA yang pernah terjadi menjadikan daerah ini subur bagi perekrutan radikal, terang Agus.
“Karena itu pemerintah akan terus melakukan pengawasan di daerah ini,” katanya sambil mengingatkan bahwa meskipun letak Poso tidak secara langsung berada di perbatasan tetapi dari segi ekonomi daerah ini terhitung masih rendah, begitu juga dengan tingkat pendidikan masyarakat.
Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Masud Said, mengatakan usaha Jokowi untuk membangun daerah perbatasan, terutama di Papua, sangat signifikan.
“Ini bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal tetapi juga meredam konflik separatis di bawah Pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sebelumnya pemimpin OPM Puron Wenda dan Enden Wanimbo yang bermarkas di Lany Jaya, Papua menyatakan perang terbuka terhadap Indonesia, tanggal 22 Mei lalu.
Masud mengatakan akar OPM adalah kekecewaan terhadap Jakarta yang tidak memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Papua harus menjadi prioritas karena keadaan disana semakin memanas,” katanya.
Pembangunan Manusia
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani mengingatkan agar pembangunan infrastruktur juga harus diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM).
“Karena kalau SDM lokal masih lemah di daerah perbatasan, dan akan tergantung kepada pihak luar. Pola ini harus dirubah,” katanya sambil melanjutkan bahwa kesempatan pendidikan untuk masyarakat lokal harus juga ditingkatkan besamaan dengan misi pembangunan.
Puan menerangkan bahwa di daerah perbatasan yang rawan konflik kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak juga masih tinggi, karena itu pembangunan infrastuktur saja tidak cukup.
“Pembangunan mental sangat diperlukan. Termasuk perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak,” katanya.