Peringati Hari Pers, Jokowi Serukan Perangi Hoax
2017.02.09
Ambon

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyerukan semua pihak untuk ikut memerangi berita bohong atau hoax yang belakangan banyak beredar, karena dinilai dapat mengganggu stabilitas politik dan kemanan nasional, demikian disampaikan Presiden dalam sambutan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Ambon, Maluku, Kamis, 9 Februari 2017.
“Berita hoax yang disebarkan melalui media sosial menjadi beban luar biasa bagi pemerintah. Medsos (media sosial) juga memusingkan pemerintah. Ini yang saya dengar dari Perdana Menteri, dari Presiden yang saya temui,” katanya.
Menurut Jokowi, berita hoax yang diperoleh melalui media online abal-abal, blog maupun media sosial bisa menciptakan kegaduhan dan berpotensi memecah belah negara.
“Ada berita yang membuat kegaduhan. Banyak berita penuh dengan stigma. Memecah belah masyarakat dan bahkan mengancam persatuan bangsa,” ujarnya.
Ini bukan pertama kalinya Jokowi menyerukan perang terhadap berita hoax. Akhir Desember lalu, ketika membuka sidang kabinet terbatas, Presiden menyerukan penegakan hukum terhadap penyebar hoax.
Jokowi sendiri pernah menjadi korban hoax. Menjelang kampanye pemilihan presiden 2014, tersebar berita bahwa ia adalah keturunan Tionghoa dan memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia.
“Kita harus bersama-sama menyetop dan mengurangi ini. Stop berita bohong, berita fitnah. Harus kita hadapi dan lawan,” tegasnya.
Tapi, Jokowi meyakini ke depan masyarakat akan semakin cerdas dalam menyikapinya.
"Saya mempunyai keyakinan bahwa ini nantinya justru akan semakin mendewasakan kita, akan mematangkan kita, akan menjadikan kita tahan uji. Jadi tidak perlu banyak keluhan kalau mendengar hal-hal yang ada di media sosial, karena ini fenomena semua negara," ujarnya.
Dia meminta media arus utama (mainstream) untuk ikut aktif mencegah hoax.
"Media arus utama harus mampu meluruskan hal yang bengkok, menjernihkan kekeruhan yang terjadi di media sosial, dan tidak lantas ikut larut dan malah memungut isu-isu yang belum terverifikasi di media sosial sebagai bahan berita," ucapnya.
Korban hoax
Ketua Dewan Pers, Yosep “Stanley” Adi Prasetyo, menyatakan hoax juga mengancam eksistensi media arus utama. Beritanya semata-mata bukan kebohongan, tapi juga menebar kebencian, dan fitnah berbau diskriminasi atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Masyarakat sulit membedakan, mana berita baik dan berita hoax, sebab, ada banyak berita diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita profesional,” jelas Stanley.
Makanya, lanjutnya, otoritas kebenaran faktual, harus dikembalikan kepada media arus utama.
“Nilai-nilai luhur profesi jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang memiliki kompetensi dan mengikatkan diri pada nilai-nilai dan etik profesi,” tegasnya.
Pada November 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 11 website yang dinilai aktif menyebarkan kebencian dan provokasi SARA.
Verifikasi media
Mengantisipasi maraknya berita hoax, Dewan Pers dan organisasi profesi jurnalis akan membentuk lembaga antihoax. Lembaga ini nantinya diharapkan, selain mencegah hoax, juga dapat mencerdaskan pembaca.
Selain itu, Dewan Pers juga telah dan terus melakukan verifikasi terhadap perusahaan-perusahaan pers. Hingga 6 Februari 2017, sebanyak 77 perusahaan pers sudah berhasil diverifikasi.
Menurut Stanley, media yang terverifikasi itu merupakan media yang sudah memenuhi syarat penegakan kode etik jurnalistik dan diberi barcode.
“Ini baru kick off. Dewan Pers akan meneruskan proses verifikasi hingga dua tahun ke depan,” jelasnya.
Tapi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan Dewan Pers agar verifikasi itu tidak melanggar kebebasan pers, terutama media-media yang belum lolos verifikasi namun bekerja sesuai kaidah jurnalistik.
“Menurut kami, reaksi beragam — sebagian bersifat negatif — atas program sertifikasi ini, karena kurangnya sosialisasi di komunitas pers,” kata ketua umum AJI, Suwarjono, dalam pernyataan tertulis.
AJI meminta Dewan Pers bersama stakeholder pers untuk duduk bersama merumuskan lebih jelas ketentuan dan syarat verifikasi media.
Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Pers, Asep Komarudin, menilai aturan serta mekanisme verifikasi yang sudah berjalan masih bermasalah dan memiliki efek samping yang tidak diperhitungkan Dewan Pers.
“Mekanisme verifikasi perusahaan pers perlu perbaikan karena tidak melibatkan unsur serikat pekerja,” katanya.
Hoax jelang Pilkada
Seiring dengan menghangatnya politik menjelang Pilkada Gubernur Jakarta 15 Februari 2017, berita hoax juga banyak beredar di media sosial.
Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, petahana Gubernur Jakarta yang kembali ikut mencalonkan diri, adalah salah seorang yang banyak menjadi sasaran hoax.
Video pidatonya di kepulauan Seribu bulan September lalu yang telah diedit tersebar di media sosial berujung pada tiga demo besar oleh ormas Islam yang menuntut Ahok untuk ditangkap dengan tuduhan penistaan Alquran.
Ahok mengatakan ia tidak bermaksud menyinggung umat Islam ketika ia mengutip surat Al-Maidah Ayat 51 dari Alquran yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai larangan Muslim memilih pemimpin non-Muslim.
Etnis Ahok yaitu Tionghoa, juga menjadi sasaran hoax, seperti rumor masuknya 10 juta pekerja Cina ke Indonesia atau berita yang menyatakan Panglima TNI Gatot Nurmantyo memperingatkan bahwa “Cina komunis mulai mengobok-obok” Indonesia. Rumor tersebut dibantah oleh Gatot Nurmantyo.