Jokowi Belum Pastikan Kapan Bertemu Tokoh Pro-Kemerdekaan Papua
2019.10.11
Jakarta & Jayapura

Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum memastikan kapan menemui para tokoh pro-kemerdekaan Papua sementara sejumlah pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah di provinsi paling timur itu sehubungan dengan perbedaan tanggapan pejabat atas kemungkinan dialog dengan pemimpin pro-independen tersebut.
“Belum, belum, nanti,” kata Presiden Jokowi ketika ditanya kapan akan menemui para tokoh Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) usai menerima sejumlah murid sekolah dasar asal Papua di Istana Negara, Jakarta, Jumat , 11 Oktober 2019.
Sebelumnya, pada 30 September lalu, Jokowi mengaku siap berdialog dengan tokoh pro-referendum Papua dengan menyebut, “Siapa pun akan saya temui kalau memang ingin bertemu. Tidak ada masalah,” ucapnya merujuk pada tokoh-tokoh ULMWP dan KNPB.
Sedangkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengingatkan tokoh ULMWP yang menetap di Inggris, Benny Wenda, tidak bisa begitu saja bertemu Jokowi.
"Ya sebelum (bertemu) Pak Jokowi, bertemu saya dulu. Enak saja langsung ketemu Presiden," kata Moeldoko, Kamis.
Benny Wenda, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh organisasinya bulan lalu mengatakan bahwa ia hanya mau bertemu dengan Jokowi dan hanya jika Jokowi bersedia membicarakan tentang diadakannya referendum bagi masyarakat Papua.
Saat Jokowi mengatakan siap bertemu dengan pemimpin pro-kemerdekaan Papua tersebut, pertengahan minggu ini Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan situasi keamanan di Papua belum kondusif dan potensi gangguan akan terus terjadi jika para tokoh yang menjadi pemicu kerusuhan belum ditangkap, dengan merujuk pada tokoh ULMWP dan KNPB.
"Definisi amannya kalau tokoh-tokoh penggeraknya, baik dari ULMWP maupun KNPB ketangkap. Kita sudah tahu nama-namanya mereka," ujarnya,“kalau mereka sudah ketangkap, sudah aman.”
Pertanyakan keseriusan pemerintah
Perbedaan pandangan dari para pimpinan di Jakarta itu memicu sejumlah pihak untuk mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani konflik di Papua yang memanas sejak insiden persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pertengahan Agustus lalu.
Akibat dari serangkaian kekerasan menyusul aksi unjuk rasa sejak Agustus lalu, puluhan orang tewas dan belasan ribu warga harus mengungsi, terutama usai kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, 23 September lalu. Kerusuhan di Wamena itu menyababkan tewasnya 33 warga dan memicu lebih dari 16 ribu orang meninggalkan ibukota Kabupaten Jayawijaya itu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) John Gobay tidak menyetujui penangkapan aktivis KNPB dan ULMWP karena Jokowi telah menunjukkan keinginan untuk bertemu kelompok pro-referendum Papua.
“Ini yang kurang tepat. Apa yang sulit untuk berbicara menyelesaikan masalah Papua? Sebaiknya Kapolri mendukung Presiden dengan tidak menangkapi pentolan KNPB dan ULMWP,” kata Gobay kepada BeritaBenar, Kamis.
Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, meski Jokowi punya keinginan bertemu kelompok pro-referendum Papua, keinginan tersebut belum tentu bisa terwujud.
“Presiden punya pandangan seperti itu, tapi jenderal-jenderal di sekitarnya mungkin punya pandangan lain. Misalnya, negara tidak perlu berdialog dengan kaum separatis. Atau separatisme harus ditumpas dan ditangkap,” ujarnya.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan ia tidak yakin bahwa Jokowi akan bertemu para tokoh pro-kemerdekaan Papua itu.
“Kalau hanya mendekati satu kelompok, saya kira itu tidak akan menyelesaikan masalah, dan bisa jadi akan tambah masalah. Yang terpenting penghentian kekerasan di Papua,” ujarnya, Jumat.
“Memang penyelesaian Papua itu tidak maju-maju sejak dulu, karena akar masalahnya yang kompleks tidak pernah disentuh. Selama belum ada niat baik, saya kira pemerintah belum benar-benar serius,” tambahnya.
Pendapat senada disampaikan Direktur Eksekutif Amesty Internasional, Usman Hamid, yang mengatakan, hal utama harus dilakukan adalah menghentikan kekerasan terhadap masyarakat Papua.
“Dialog dengan kelompok mana pun saya kira penting,” ujarnya, “selama pendekatan militer masih digunakan, masalah Papua tak akan pernah selesai,” katanya saat dihubungi.
Sementara itu, dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat adat dari tujuh wilayah di Papua dan Papua Barat, Kamis, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, mengatakan keinginannya untuk saling berdialog.
“Kita sudah bertahun-tahun mengamankan Papua dan lain-lain dengan bersenjata, kekerasan. Saya rasa sudah waktunya kita melakukan kegiatan untuk bersama-sama, berkoordinasi, bersilaturahmi, bermusyawarah untuk mufakat bagaimana baiknya negara ini, bagaimana baiknya Papua ini," ujarnya.
5 Mayat di Nduga
Sementara itu, seorang tokoh muda Kabupaten Nduga, Samuel Tabuni, menyebut ditemukannya mayat sejumlah warga setempat yang dikubur dalam satu lubang.
“Lima korban tewas itu Ibu Yuliana Dronggi, Ibu Jelince Bugi, Ibu Macen Kusumbruem Tolop Bugi dan Hardius Bugi,” tutur Samuel, yang merupakan kerabat para korban.
Samuel mengaku dihubungi keluarganya pada 20 September lalu dan menyampaikan peristiwa yang menimpa kelima orang tersebut.
Mereka, menurutnya, sedang hendak mengambil bahan makanan yang ditinggal di persimpangan antara Nduga dan Wamena, tepatnya di sekitar Kampung Iniye.
“Saat kelimanya naik, terdengar bunyi tembakan. Sehingga warga yang masih di bawah lari pulang ke kampung. Hingga malam, kelima orang itu tidak kembali sehingga mereka menghubungi saya,” katanya.
Penemuan lima jenazah korban yang kondisinya sudah mulai membusuk, kata Samuel, dilakukan oleh Theo Hesegem dari Jaringan Pembela HAM Pegunungan Tengah Papua bersama para tokoh setempat.
Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII Cenderawasih, Kolonel Cpl Eko Daryanto saat dikonfirmasi mengatakan belum mengetahui peristiwa tersebut.
“Kita belum terima laporan resmi dari satuan setempat,” katanya.
Terkait nasib warga Nduga, Gubernur Enembe mengaku kesal atas sikap Pemerintah Pusat yang terkesan tak mempedulikan padahal mereka telah mengungsi sejak akhir tahun lalu, menyusul insiden pembunuhan belasan pekerja Jalan Trans Papua.
“Seakan tak disentuh sama sekali dan tertutup oleh ujaran kebencian dan rasisme yang mengakibatkan demonstrasi berujung amuk massa di Provinsi Papua dan Papua Barat,” kata Enembe.
Publik dan pemerintah, menurutnya, tak boleh meninggalkan masalah pengungsi Nduga karena dia memperoleh data bahwa ada 180 lebih orang telah meninggal dunia.
“Itu bukan jumlah yang sedikit,” katanya, “orang Papua harus dihargai sama seperti masyarakat Indonesia yang lain.”