JPU Menuntut Hukuman Penjara Dan Denda Kepada Keempat Suku Uighur
2015.06.24

Ahmet Bozoglan, salah satu dari keempat terdakwa teroris suku Uighur yang diduga mencoba bergabung dengan kelompok teroris di Poso, dituntut hukuman penjara delapan tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, hari Rabu.
Sementara ketiga rekan lainnya –Abdul Basit, Ahmet Mahmud, dan Abdullah alias Altinci Bayyram – dituntut tujuh tahun penjara dengan denda yang sama, sebesar Rp. 100 juta, atas pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian dan Tindak Pidana Terorisme.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan yang beragendakan pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu, 24 Juni 2015.
“Jaksa menilai [Bozoglan] adalah pemimpin di antara keempat orang terdakwa. Jadi tuntutan hukuman setahun lebih lama,” ujar Jaksa Penuntut Umum Nana Riana kepada BeritaBenar.
Barang bukti menyudutkan terdakwa
Dalam persidangan, Nana menyatakan tuntutan tersebut dikenakan kepada para terdakwa berdasarkan fakta-fakta selama persidangan yang telah memberatkan mereka, baik para saksi maupun barang bukti.
Di antara barang bukti yang memberatkan para terdakwa adalah kumpulan foto dan video sebanyak 24 berkas yang direkam sebuah kamera.
Meski telah dihapus, pusat laboratorium forensik markas besar kepolisian Indonesia mampu mengembalikan data-data tersebut.
“Di dalamnya ada foto-foto orang asing lainnya yang kenal dengan Bozoglan sesuai pengakuan salah seorang saksi,” ujar Nana.
Bahkan menurut salah seorang saksi, lanjut Nana, Santoso berkata siap menyambut para mujahidin dari luar untuk bergabung dengan kelompoknya yang dikenal dengan nama Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
MIT sendiri dinilai telah berafiliasi dengan organisasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) lewat video-video kegiatan kelompok ini yang diunggah kelompok ini ke dunia maya.
Salah satunya adalah pembaiatan anggota-anggotanya yang menyatakan dukungannya terhadap ISIS.
“Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ISIS adalah organisasi teroris yang telah melakukan pelanggaran hak azasi manusia,” lanjut Nana.
Selain foto-foto tersebut, Nana mengatakan, beberapa buku catatan yang dimiliki terdakwa juga cukup memberatkan.
Buku-buku tersebut berisi catatan-catatan tentang persiapan jihad dan latihan militer.
“Tujuan MIT sendiri untuk memerangi kaum kafir di Indonesia dan dunia, yaitu mereka yang tidak sesuai syariat Islam,” lanjut Nana.
Sementara itu, keempatnya juga dinyatakan telah melanggar peraturan keimigrasian Indonesia.
Keempat terdakwa yang masuk ke wilayah Indonesia lewat Malaysia memiliki paspor dan visa palsu.
Hal ini terungkap dengan adanya keganjilan pada stempel di paspor mereka.
Mereka terbang dari bandara Husein Sastranegara, Bandung, ke Sultan Hasanuddin, Makassar, sebelum akhirnya tertangkap di Poso.
“Stempel di paspor yang bertanggal 23 Agustus 2014 tersebut diketahui palsu. Karena stempel di Bandara Husein sendiri sudah berubah sejak 2013,” kata Nana.
Mereka warga Turki: pembela
Kuasa hukum keempat terdakwa, Asludin Hatjani mengatakan keempat orang suku Uighur adalah warga negara Turki, tidak Tiongkok, meskipun Indonesia telah mengindikasikan akan mengirim mereka ke Tiongkok setelah sidang selesai.
Asludin mengatakan bahwa pihaknya akan terus berupaya meyakinkan jaksa penuntut dan hakim.
"Berdasarkan dokumen dan dakwaan serta tuntutan jaksa tadi, mereka adalah warga negara Turki,” kata Asludin.
Asludin menambahkan berdasarkan fakta persidangan, tidak ada satuan bukti langsung yang bisa menjerat mereka sebagai pelaku tindak pidana terorisme.
“Tuntutan jaksa tadi kebanyakan hanya didasarkan pada bukti petunjuk," katanya sambil menyatakan bahwa agenda pembelaan dari pihak terdakwa akan dilanjutkan dalam persidangan berikutnya tanggal 1 Juli.
Suku Uighur adalah kelompok Muslim minoritas di Tiongkok, dan sebagian besar tinggal di wilayah Tiongkok bagian barat. Uighur juga tersebar di Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan dan Turki.