KPK Kaji Permohonan Novanto sebagai Justice Collaborator Kasus e-KTP
2018.01.11
Jakarta

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji permohonan Setya Novanto, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), sebelum mengabulkan keinginan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu untuk menjadi justice collaborator dalam pengusutan perkara tersebut.
"Kami menerima itikad baik [Setya Novanto] itu. Tapi kami akan menganalisa terlebih dahulu secara obyektif," kata juru bicara KPK Febri Diansyah ketika dikonfirmasi BeritaBenar, Kamis, 11 Januari 2018.
Pengajuan seseorang menjadi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana memang diperbolehkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. Sebagai imbalannya, pemohon diberikan keringanan hukuman.
Namun beleid itu mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pemohon, antara lain, bukan pelaku utama atau dalang tindak pidana, serta wajib mengakui perbuatannya dalam pidana yang didakwakan.
Berbagai prasyarat itulah, tambah Febri, yang kini tengah dikaji KPK sebelum mengabulkan permohonan bekas Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
"Apakah, misalnya, pemohon bukan pemeran utama atau faktanya ada pihak yang lebih dominan dalam tindak pidana korupsi tersebut."
Novanto (62) kini berstatus terdakwa sedang menjalani persidangan dalam skandal yang merugikan negara Rp2,3 triliun --dari keseluruhan nilai proyek Rp5,9 triliun itu.
Novanto sebelumnya didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Ia diduga bersama beberapa orang lain telah mengatur proyek e-KTP dan mendapatkan keuntungan pribadi senilai total USD7,3 juta.
Nama besar
Keinginan Novanto menjadi justice collaborator diutarakan seorang kuasa hukumnya Firman Wijaya di sela-sela persidangan Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis siang. Ia pun meminta perlindungan keamanan dari KPK.
"Soal penganggaran, perencanaan, sudah dirancang jauh, dan itu ada lembaganya, ada instansinya. Kita lihat siapa inisiator proyek e-KTP ini," kata Firman kepada wartawan.
Hanya saja, Firman tak merinci identitas pihak yang disebutnya telah merancang dan menyusun anggaran proyek tersebut. Ia hanya menyebut bahwa ada “nama besar” turut terlibat dalam proyek e-KTP.
"Saya tidak tahu yang dimaksud punya status sosial atau pengaruh tertentu. Kita lihat saja nanti, kalau posisi yang lebih besar itu jabatan-jabatan yang berpengaruh di negeri ini, ya mungkin saja," tambah Firman.
"Proses persidangan akan membuktikan. Tapi yang jelas saya melihat Pak Novanto tidak dalam posisi yang sangat berpengaruh dalam hal ini."
Ia menambahkan pembuktian selama proses persidangan diharapkan akan mengungkap sejumlah nama lain yang terlibat, tetapi tidak dicantumkan oleh jaksa KPK dalam surat dakwaan kliennya.
Permohonan Novanto untuk menjadi justice collaborator ini merupakan sebuah kejutan, kerena sebelumnya berulang kali ia mengatakan tak bersalah dalam salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia itu.
Sedangkan seorang kolaborator harus mengakui perbuatannya dalam suatu tindak pidana.
"Bagaimana cara transfer, menerima? Bagaimana wujudnya. Itu harus dibuktikan. Saya mohon betul-betul. Jangan sampai saya terus dizalimi," kata Novanto mengatakan tidak tahu-menahu tentang bagaimana transfer uang yang begitu besar dalam kasus itu, bersikukuh menyangkal keterlibatannya ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK beberapa waktu lalu.
Kuasa hukumnya yang lain, Maqdir Ismail, sempat mengatakan tak bakal memilih langkah ini pada pekan lalu.
Sejauh ini, tiga orang telah menyandang status justice collaborator dalam pengungkapan kasus e-KTP yaitu dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, serta pengusaha rekanan kementerian Andi Narogong.
Ketiganya telah memperoleh hukuman dalam persidangan penghujung tahun lalu. Irman dan Sugiharto masing-masing divonis tujuh dan lima tahun penjara, serta Andi Narogong diganjar delapan tahun penjara.
Dalam persidangan lanjutan Kamis, jaksa KPK berusaha membuktikan bagaimana uang diterima Novanto yang saat proyek e-KTP dilaksanakan menjabat Ketua Fraksi Golkar, dengan menghadirkan pengusaha money changer, Juli Hara sebagai saksi.
Dari kesaksian itu terungkap bahwa pada Januari 2012, keponakan Novanto bernama Irvanto Hendra Pambudi mendatangi seorang pengusaha money changer, Riswan, dan mengatakan dia punya uang dollar AS di Mauritius yang mau ditransfer ke Indonesia.
Riswan menghubungi Juli untuk membantu proses pengiriman uang. Tapi, transfer uang itu tanpa melalui bank sehingga ia memanfaatkan sejumlah koleganya di Singapura yang ingin membeli dollar AS.
‘Harus berani’
Pengamat Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi langkah Novanto yang memohon menjadi kolaborator itu.
Namun dengan catatan, kata Abdul Fickar, Novanto harus memberikan keterangan yang betul-betul bisa mengungkap kasus.
"Bukan hanya karena ingin hukuman diringankan," katanya kepada BeritaBenar.
Pendapat senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin.
Ujang percaya kasus itu akan dapat diusut dengan jelas dan cepat kalau Novanto berani mengungkapkan semua fakta yang ada.
"Harus berani, meski resiko besar dan berbahaya,” pungkasnya.