Kamboja Minta Indonesia Tangkap dan Deportasi Tokoh Oposisi, Mu Sochua
2019.11.06
Jakarta

Pemerintah Kamboja melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta meminta Indonesia untuk segera menangkap tokoh oposisi Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), Mu Sochua, karena menggelar konferensi pers di sebuah hotel di Jakarta, Rabu, 6 November 2019.
“Kedutaan Besar Kamboja di Jakarta meminta pihak berwenang Indonesia untuk menangkap Mu Sochua dan segera mendeportasinya ke Kamboja dalam semangat sejati ASEAN,” kata Duta Besar Kamboja untuk Indonesia, Hor Nambora dalam rilis yang diterima BeritaBenar.
Dijelaskan bahwa Pemerintah Kerajaan Kamboja telah mengirim permintaan kepada semua negara anggota ASEAN untuk menangkap dan mendeportasi Mu Sochua ke Kamboja jika dia tiba di negara mereka.
Sochua adalah wakil ketua CNRP, yang dibubarkan oleh Mahkamah Agung Kamboja pada 16 November 2017 karena dianggap ilegal.
Ia yang kemudian diasingkan dan memilih tinggal di Amerika Serikat dikenal sebagai aktivis prodemokrasi yang vokal dan salah satu politisi perempuan Kamboja paling terkenal karena memperjuangkan hak asasi manusia serta memimpin upaya reformasi demokrasi Kamboja selama lebih dari 20 tahun.
“Dia adalah buron dan ada surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Pengadilan Kota Phnom Penh pada 2 Oktober untuk ‘kejahatan serangan’ terhadap pemerintah yang sah terpilih,” bunyi rilis tersebut.
“Sangat disayangkan bahwa Indonesia, sesama negara anggota ASEAN, mengizinkan Mu Sochua masuk di Indonesia meskipun ada surat perintah penangkapan dan melakukan tindakan anti kegiatan Pemerintah Kamboja di Jakarta.”
Menanggapi hal itu, Sochua mengaku pasrah atas keputusan pemerintah Indonesia.
“Indonesia negara yang dijadikan contoh dalam berdemokrasi. Sekarang terserah kepada keputusan pemerintah Indonesia untuk merespons itu. Tadi juga sempat petugas imigrasi datang dan setelah diperiksa paspor saya tidak melanggar peraturan apapun,” ujarnya.
Belum ada respons resmi dari pemerintah Indonesia atas permintaan dari kedubes Kamboja tersebut.
Keributan kecil
Saat jumpa pers, sempat terjadi keributan kecil ketika Duta Besar Kamboja, Hor Nambora, menghalangi acara tersebut dengan menyebutkan kegiatan kubu oposisi itu ilegal karena Sochua datang ke Indonesia menggunakan visa turis.
Sejak pukul 08.30 WIB, pihak hotel telah mendapatkan peringatan dari Kedubes Kamboja bahwa pertemuan itu ilegal dan tidak mendapat izin dari polisi.
Sepuluh menit menjelang jumpa pers, tiba-tiba Nambora datang ke lokasi bersama aparat kepolisian dan petugas imigrasi.
Acara yang sedianya digelar pukul 09.00 WIB itu pun tertunda namun tetap terlaksana.
“Saya dilarang bicara dan diancam akan ditahan. Saya diberikan pilihan untuk segera tinggalkan Indonesia dan batalkan press conference atau saya akan ditahan. Tapi saya menolak dan saya tetap bicara di depan media,” kata Sochua kepada BeritaBenar melalui telepon.
Penyelenggara acara menjelaskan kalau jumpa pers tersebut merupakan acara tertutup dan bukan untuk umum karena tidak mengundang pemerintah.
"Anda harus mendengar, karena Indonesia ini negara berdemokrasi," kata Direktur Eksekutif Kurawal Foundation, Darmawan Triwibowo.
Setelah berdebat dengan Darmawan, Nambora akhirnya duduk dan mendengarkan isi jumpa pers. Ia juga bersedia menjawab pertanyaan dari media dan menanggapi berbagai hal terkait masalah demokrasi Kamboja.
"Peraturan mana yang dilanggar, polisi juga menjawab tidak tahu. Jadi, menurut saya acara ini legal sampai pihak Kedubes bisa membuktikan illegal,” ujar Darmawan.
Mencari dukungan
Sochua menjelaskan kedatangannya ke Jakarta untuk mendapat dukungan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia agar bisa kembali ke Kamboja.
“Ini bukan karena saya menuntut hak politik, tapi kembali ke Kamboja merupakan hak saya dan dijamin di dalam konstitusi dan deklarasi HAM, terbebas dari pengasingan pemerintah. Kamboja merupakan rumah saya, tentu saja tak hanya keluarga saya di sana tapi juga ribuan pendukung saya,” paparnya.
Menurutnya, kondisi Kamboja tidak damai lagi dan pemerintah Indonesia diharapkan bisa mengikuti perkembangan situasi negaranya dari dekat.
“Kamboja adalah negara saya, saya kembali untuk membela pemimpin partai saya. Saya ke sana untuk memulihkan demokrasi di Kamboja,” katanya.
Ia memandang Indonesia sebagai negara besar demokrasi di ASEAN telah bisa menjalankan pemilu langsung secara bertahun-tahun. Selain itu, pemerintahnya dipilih secara demokratis oleh suara rakyat.
“Kami juga ingin agar masyarakat di Kamboja bisa bebas, memiliki hak untuk bicara, untuk mendapatkan hak mereka kembali, karena demokrasi di sana sangat rendah,” tambahnya.
Ia menjelaskan, partai oposisi CNRP, yang dalam pemilu lalu mendapatkan 43 persen suara, dibubarkan oleh Prime Minister Hun Sen. Pemimpin partai CNRP juga ditahan dan banyak terjadi pelanggaran HAM di sana.
Sochua mencatat sekitar 60 tokoh – terdiri dari 53 pria dan tujuh perempuan – aktivis CNRP ditahan di Kamboja.
Sochua mengaku bahwa ia bersama Pelaksana Tugas Ketua CNRP, Sam Rainsy dan beberapa pengikut CNRP ingin kembali ke Kamboja bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan negaranya, 9 November mendatang.
Rainsy bahkan menulis surat khusus dari tempat pengasingannya di Perancis kepada PM Thailand Prayuth Chan-ocha agar diperbolehkan akses masuk ke Thailand melalui bandara internasional Bangkok untuk kemudian meneruskan perjalanan darat ke Kamboja melalui perbatasan kedua negara, yaitu Poipet, kota dekat Aranyaprathet.
Dia juga menjelaskan rencana tiba di Bandara Suvarnabhumi, 8 November dengan maskapai Thai Airways TG931.
Namun PM Thailand mengatakan kepada para wartawan, Rabu, bahwa sesuai dengan kesepakatan para anggota ASEAN untuk tidak saling mencampuri masalah dalam negeri anggotanya, maka tidak ada organisasi yang dianggap illegal di negara anggota ASEAN yang bisa beroperasi di negaranya.
“Jadi, dia tidak akan bisa masuk Thailand,” kata Prayuth, mengacu pada Sam Rainsy, seperti dikutip di AP.
Rainsy meminta Hun Sen untuk tidak menahan supporter CNRP atau menggunakan kekuatan militer dalam acara penyambutannya di Kamboja.
"Biarkan orang memilih dengan kakinya jika memang mereka tidak bisa memilih melalui pemilu," katanya dalam keterangan tertulis.
Pengaruh China
Sochua mengatakan semua warga di Kamboja tidak senang dengan kehadiran orang China karena dianggap mengambil alih bisnis masyarakat lokal di sana.
"Hampir 90 persen bisnis di Kamboja milik orang China," katanya.
"Kami juga khawatir akan kehadiran militer China dengan didirikan basis militer di wilayah Voh Phoing."
Pakar politik dari Australia National University (ANU), Wasisto Raharjo Jati, menilai kualitas demokrasi Kamboja tidak menunjukkan suksesi kekuasaan yang dinamis.
Hun Sen telah menjadi Perdana Menteri Kamboja sejak 1985. Hal ini menunjukkan adanya kekuasaan otoriter selama 34 tahun
"Kamboja sebagai negara berkembang tentunya butuh asistensi ekonomi. Pasca penunjukan Thaksin sebagai penasihat ekonomi diprotes Thailand, maka beralih ke China," ujar Wasisto.
Di sisi lain, tambahnya, China membutuhkan Kamboja sebagai bagian proyek One Belt One Road, sementara Hun Sen perlu bantuan ekonomi China yang tidak banyak menuntut syarat dalam politik pemerintahan sebagaimana lazimnya donor Barat.