Merayakan Kartini dengan Berselancar Mengenakan Kebaya
2017.04.21
Badung

Ada yang tak biasa di Pantai Kuta, ikon pariwisata Bali, Kamis pagi, 20 April 2017. Lima peselancar (surfer) perempuan meliuk-liuk di pantai sisi barat Desa Kuta itu dengan memakai kebaya.
Padahal, mereka biasanya hanya memakai bikini atau baju khusus untuk berselancar.
Cika Ayu Lestari, salah satunya. Bersama teman-temannya, staf perusahaan perlengkapan selancar (surfing) itu memakai kebaya putih dengan bawahan coklat. Dia membawa papan selancarnya.
Tanpa canggung, dia nyebur ke laut, mencari ombak, lalu mengayuh dan berdiri di atas papan tersebut ketika ombak datang.
Laut Pantai Kuta pagi itu agak surut. Ombak tidak terlalu besar. Karena itu, para peselancar tak bisa berdiri di atas ombak lebih dari lima menit.
Saat jatuh setelah ombak pecah, Cika dan teman-temannya kembali mencari ombak untuk dinaiki dengan papan seluncurnya. Mereka berselancar di pantai berpasir putih itu selama sekitar satu jam.
Di sekitar mereka, puluhan peselancar lain juga sedang menikmati ombak pantai Kuta, yang menurut Cika, tidak terlalu bagus karena air laut sedang surut.
“Istilah surfingnya, ini dumping wave. Bikin cepat jatuh. Tapi ya dibuat fun saja,” katanya kepada BeritaBenar.
Selain Cika, peserta lain Ainun Ni’mah dan Rosita, mengaku baru pertama kali ikut berselancar memakai kebaya. Mereka mengaku kesulitan karena harus berselancar mengenakan kebaya.
“Strateginya, saya pakai kebaya agak longgar biar lebih mudah bergerak karena surfing kan harus banyak bergerak,” kata Rosalita.
Kampanye keseteraan
Menurut Rosalita dan Cika, susahnya surfing memakai kebaya tak menjadi masalah. Hal lebih penting bagi mereka adalah bisa menyampaikan pesan lewat kegiatan itu, tak hanya merayakan Hari Kartini, tapi juga mengajak perempuan untuk aktif main selancar.
Berselancar dengan kebaya di Pantai Kuta digelar untuk merayakan Hari Kartini, pahlawan keseteraan perempuan di Indonesia, yang diperingati setiap 21 April.
Made Bagus Wirawan, penggagas kegiatan mengatakan mereka ingin mengenalkan kebaya sebagai pakaian khas perempuan Indonesia kepada peselancar.
“Dengan berselancar memakai kebaya, kami ingin mengajak perempuan mengingat lagi kebaya sebagai pakaian khas Indonesia,” kata pria yang akrab disapa Piping.
Dia bersama komunitas surfing Magic Wave menggagas Kartini Surf Festival sejak tujuh tahun lalu.
Setiap tahun, mereka mengajak perempuan berselancar dengan memakai kebaya pada Hari Kartini. Lokasinya selalu di Pantai Kuta yang memang terkenal sebagai salah satu objek favorit berselancar di Bali.
Selain mengenalkan kebaya, kata Piping, acara itu juga untuk mengajak perempuan Indonesia aktif berselancar, kegiatan olahraga yang telanjur identik dengan laki-laki.
Dua peserta berselancar dengan memakai kebaya di Pantai Kuta, Bali, 20 April 2017. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Takut hitam
Menurut Piping, peselancar perempuan di Indonesia memang masih langka.
“Surfer perempuan di Bali, jumlahnya mungkin satu banding seratus atau bahkan seribu jika dibandingkan dengan surfer laki-laki,” katanya.
Langkanya peselancar perempuan, lanjutnya, karena masih ada anggapan perempuan harus berkulit putih dan feminim.
“Padahal, kulit orang Indonesia memang cokelat. Kulit berwarna itu lebih eksotis daripada kulit putih,” kata Piping, peselancar yang juga mengelola majalah komunitas surfing, sambil tertawa.
Jero Made Suparta Karang, Presiden Indonesia Surfing Association menambahkan bahwa alasan langkanya peselancar perempuan di Bali karena sangat disibukkan dengan urusan adat.
“Mereka juga feminim. Karena itu sangat susah mencari surfer perempuan dari Bali,” katanya.
Selain itu, berselancar memang kegiatan pantai sehingga banyak terkena sinar matahari dan air garam.
“Makanya perempuan banyak yang tidak mau karena takut hitam,” tambahnya.
Padahal, Suparta menyatakan, Bali memiliki potensi pantai bagus untuk berselancar.
“Buktinya banyak surfer asing datang ke Bali,” ujarnya.
Terus bertambah
Meskipun begitu, jumlah peselancar perempuan di Indonesia juga terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir.
Rosalita memperkirakan jumlah peselancar perempuan untuk sekadar hobi di Bali tak lebih dari 100 orang. Itu pun didominasi dari luar Bali. Kalau yang profesional, dalam artian memang bekerja sebagai peselancar, berjumlah sekitar 25 orang.
“Sampai sekarang belum ada komunitas surfer perempuan. Jadi belum bisa menghitung jumlah pastinya. Paling pas surfing ketemu mereka di air,” katanya.
Cika menambahkan berselancar memang terlanjur identik sebagai olahraga kaum lelaki. Salah satunya karena berselancar termasuk olahraga berbahaya, katanya, tanpa menjelaskan apakah itu berarti perempuan tidak boleh melakukannya.
Berdasarkan pengalamannya sebagai pendamping peselancar yang baru belajar selalu ada setidaknya seorang terluka ketika latihan setiap bulan.
“Biasanya karena kena fin atau terbentur papan,” katanya.
Sedikitnya peselancar perempuan Indonesia berkebalikan dengan banyaknya peselancar perempuan dari luar negeri.
Menurut Cika, di tempat kursus surfing tempat bekerjanya, setiap bulan ada 30-40 murid yang 75 persen di antaranya adalah perempuan.
“Tapi sebagian besar justru dari luar negeri, terutama Eropa,” katanya.
Seorang surfer perempuan asal Rusia, Elvina Ensh yang mengaku baru belajar surfing, juga berselancar mengenakan kebaya, bersama Cika dan teman-temannya.
Meski baru pertama kali memakai kebaya dan sulit bergerak, ia tetap menikmatinya.
“Kartini itu hebat. Dia pahlawan. Karena itu kami ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa surfing,” ujar Elvina.