Kayu Indonesia Raih Lisensi FLEGT dari Uni Eropa
2016.05.12
Jakarta

Indonesia menjadi negara pertama yang berhasil mengantongi lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) dengan Uni Eropa setelah tercapainya tata kelola industri kehutanan dan jaminan legalitas kayu.
“Indonesia bisa mengekspor ke Eropa dengan menghapus stigma Indonesia sebagai sumbernya kayu illegal. Jadi kalau ada kayu keluar dari Indonesia pasti kayu legal. Sekarang kalau ada kayu illegal, pasti bukan dari Indonesia,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/05).
Hadir dalam konferensi pers tersebut adalah Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Menurut Retno, keberhasilan ini merupakan diplomasi total Indonesia setelah 10 tahun berjuang mendapatkan lisensi FLEGT VPA. Saat ini terdapat 15 negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang tengah melakukan negosiasi perjanjian FLEGT VPA dengan Uni Eropa.
“Ini merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah dan memerlukan komitmen yang kuat. Tidak hanya pada tataran pemerintah tapi semua orang karena ini kan merubah suatu mindset dunia yang luar biasa,” katanya.
Dilihat dari porsi, tambah Retno, sebesar 42,96 persen tujuan ekspor produk kayu Indonesia adalah ke negara yang telah mengimplementasikan sistem tata kelola kehutanan yang baik seperti Eropa, Amerika, dan Jepang.
“Semoga manfaat lisensi ini dapat dirasakan oleh pelaku bisnis Indonesia. Kami akan jalin komunikasi dengan Uni Eropa untuk memastikan hanya kayu legal yang hanya diterima di pasar Uni Eropa,” kata Retno.
VPA merupakan perjanjian perdagangan bilateral yang menjadi elemen utama dalam skema rencana pelaksanaan lisensi FLEGT Uni Eropa, yang memanfaatkan mekanisme pasar guna memberantas pembalakan liar dan memperkuat tata kelola kehutanan.
Revisi Peraturan
Sebelumnya, kesepakatan penyetaraan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan lisensi FLEGT dinyatakan secara bersama oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, dan Presiden Joko Widodo di Brussels, Belgia, 21 April 2016 lalu.
Kesepakatan di Brussels berselang beberapa hari setelah Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Permendag itu menyatakan 15 pos tarif yang merupakan produk hilir dibebaskan SVLK yang hanya dikenakan untuk produk industri hulu.
Dalam beleid baru, Permendag No. 25/2016, SVLK kembali diwajibkan sebagai syarat ekspor untuk 15 pos tarif tersebut.
Eksport meningkat
Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong berharap penerapan lisensi ini akan mendongkrak ekspor dan bisa meningkatkan standar kualitas produk kayu Indonesia di kancah dunia.
“Sekarang produk kayu Indonesia sudah masuk jalur hijau tanpa kena inspeksi lagi, dulu kan dibongkar sana sini, hilang waktu, ongkos dan kesabaran. Ekspor ke Eropa menjadi lebih lancar,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa Uni Eropa dikenal dengan kriteria standar produk kayu dan praktik industri kayu paling tinggi dan terbaik di dunia. “Indonesia bisa membangun kepercayaan Eropa, ini sangat bagus, suatu terobosan,” katanya.
Direktur Ekspor Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Nurlaila Nur Muhammad, merinci dari total nilai ekspor produk kayu tahun 2015 sebanyak USD1 miliar, ekspor mebel mengambil porsi paling besar yaitu USD320 juta.
“Ekspor mebel sudah memiliki share meningkat 10 persen sepanjang tahun 2015, kita harapkan dengan adanya lisensi ini bisa lebih banyak lagi. Ya, dilihat sekitar kurang lebih 10 persen dulu lah, ya,” ujarnya.
Pengawasan ekstra
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yaya Nur Hidayati menyambut baik keberhasilan pemerintah ini, namun ia berharap hal ini bukan hanya sebatas lisensi di atas kertas.
“Karena masih banyak masalah mendasar negara yang mengimpor produk hutan dari Indonesia, lisensi di atas kertas tapi aspek legalitas kayu harus dilihat lebih luas, pemerintah harus memastikan kalau moratorium bukan hanya penebangan hutan saja tapi izin baru,” katanya kepada BeritaBenar.
Ia khawatir jika kebutuhan meningkat dari Eropa, maka akan memperbesar peluang terjadinya pelanggaran di kawasan hutan. Oleh karena itu ia mengimbau pemerintah untuk lebih hati-hati dalam merevisi izin baru.
“Apakah izin baru diperoleh dengan cara yang tidak benar? Kemudian banyak produk kayu dihasilkan dari konsesi skala besar, apakah mereka usai menebang melakukan penanaman kembali? Semua ini menjadi faktor yang harus diperhatikan, diperketat dan tentu saja aparat harus lebih cermat,” pungkasnya.