Balik Modal Kereta Cepat Dua Kali Lebih Lama karena Proyek Ibu Kota
2022.02.14
Jakarta

Kereta cepat Jakarta-Bandung yang dibangun melalui kerja sama dengan China kembali menghadapi batu sandungan.
Setelah tertundanya penyelesaian dan biaya yang membengkak, proyek ini diperkirakan baru bisa meraih keuntungan 40 tahun setelah beroperasi - 20 tahun mundur dari prediksi sebelumnya, karena penurunan perkiraan jumlah pengguna akibat pemindahan ibu kota.
Namun pengembalian modal bisa dipercepat dengan optimalisasi pendapatan salah satunya dengan mengomersialkan area di tiap-tiap stasiun yang dibangun untuk kawasan retail maupun jasa lainnya, kata Rahadian Ratry, Manajer Umum Komunikasi PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC).
“Mengenai profit perusahaan, kami tidak hanya akan mengandalkan profit dari tiket penumpang. Tetapi ada juga komponen lain seperti pendapatan non-farebox yang kita optimalkan,” kata Rahadian kepada BenarNews, Senin (14/2).
Studi kelayakan yang dilakukan perusahaan pada tahun 2017, memproyeksi jumlah penumpang kereta cepat yang dibangun dengan biaya Rp114 triliun mencapai 61.157 orang per hari.
Prediksi itu berubah menjadi 31.215 penumpang per hari setelah dilakukan evaluasi oleh Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa (POLAR) Universitas Indonesia lantaran kemungkinan dipindahkannya pegawai pemerintah dari Jakarta dan sekitarnya ke ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi V DPR pekan lalu mengatakan dari proyeksi penurunan jumlah penumpang tersebut, perhitungan balik modal kemungkinan bisa mencapai empat dekade.
Rahadian mengaku perusahaan telah mempertimbangkan banyak opsi untuk mengatasi berbagai hambatan yang memengaruhi jumlah penumpang dari proyek kereta cepat.
“Kami menyadari bahwa diperlukan perencanaan yang matang guna memitigasi berbagai dampak yang muncul, termasuk rencana pemindahan Ibu Kota Negara,” kata Rahadian.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) akan dilengkapi dengan empat stasiun pemberhentian yang dimulai dari Stasiun Tegalluar di Bandung, Stasiun Padalarang, Stasiun Karawang, dan Stasiun Halim di Jakarta Timur.
Rahadian mengatakan perusahaan bakal mengoptimalkan stasiun-stasiun dan area di luarnya sebagai area pengembangan komersial.
“Kami tetap berupaya menggali potensi sumber-sumber pendapatan yang dimungkinan dalam proyek KCJB ini. Sehingga bukan hanya bersumber dari tiket penumpang semata,” katanya.
Kereta cepat bakal beroperasi dengan 11 rangkaian kereta. Setiap rangkaiannya akan memiliki 8 gerbong dengan total kapasitas hingga 601 kursi, yang terbagi 18 kursi untuk kelas VIP, 28 kursi kelas I, dan sisanya untuk kelas II.
KCIC dan pemerintah hingga saat ini belum menentukan berapa harga tiket yang akan dijual per kursi dari tiap-tiap kelasnya. Akan tetapi, Studi POLAR UI menghitung tarif ideal untuk satu kali perjalanan kereta cepat berkisar Rp150 ribu -350 ribu.
Proyek kereta cepat awalnya ditargetkan dapat rampung pada akhir tahun 2022, berbarengan dengan pertemuan kepala negara maju dan negara berkembang dunia, G20. Kendati demikian, pandemi COVID-19 serta problem konstruksi mengakibatkan proyek yang membentang sepanjang 142 kilometer itu diprediksi selesai pada Juni 2023.
Di sisi lain, pemerintah telah menetapkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke sebagian wilayah di Kabupaten Penajem Passer Utara di Kalimantan Timur yang dimulai dengan pemindahan sebagian Aparatur Sipil Negara secara bertahap mulai tahun 2024.
“Perencanaan kurang matang”
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, mengatakan wajar bagi proyek transportasi seperti kereta membutuhkan waktu panjang untuk pengembalian investasinya.
“Bahkan, proyek kereta di zaman Belanda dulu saja baru untung 100 tahun kemudian. Jadi pertanyaannya kenapa para kontraktor ini mau bangun kereta lagi?” kata Djoko melalui sambungan telepon.
Ia juga mengatakan wajar bila proyeksi jumlah penumpang menjadi turun dengan rencana pemindahan ibu kota. Data yang dimilikinya menunjukkan hampir separuh penumpang transportasi udara didominasi oleh pegawai pemerintah.
“Kebanyakan yang pakai pesawat itu untuk perjalanan dinas, uangnya dibiayai APBN atau APBD. Sementara, di negara-negara lain, kereta cepat itu hadir untuk mentransfer penumpang udara ke darat. Tapi, kalau posisinya jauh dari bandara ya akan sulit, belum lagi harga tiketnya yang tinggi,” kata Djoko.
Menurutnya, proyek kereta cepat disusun dengan perencanaan yang kurang matang. Bukan hanya perhitungan potensi penumpang, keberadaan stasiun awal dan akhir berada di luar pusat kota juga akan mengurangi minat calon pengguna.
Selain itu, kehadiran kereta cepat harus bersaing dengan jalur tol baik Jakarta-Cikampek maupun Trans Jawa yang memudahkan mobilitas orang baik dari segi waktu maupun biaya.
“Bahkan prediksi saya ini baru untung dalam 70 tahun,” katanya sambil melanjutkan, “tapi, proyek ini kan tidak boleh mundur, tetap harus dilanjutkan apalagi negara sudah ikut campur.”
Ia mengatakan, saat ini yang harus dipikirkan perusahaan adalah mengoptimalkan pendapatan kereta cepat yang tidak hanya dengan mengandalkan kawasan komersial di sekitarnya.
“Tidak harus semuanya mengangkut penumpang. Perusahaan bisa upayakan kereta untuk angkut logistik, yang kecil-kecil saja seperti surat atau paket kecil,” kata Djoko.
Jangan menjadi alasan subsidi
Eko Listiyanto, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan dia berharap lamanya pengembalian investasi tidak menjadi alasan perusahaan untuk kembali meminta subsidi dari APBN.
“Demi memenuhi prediksi 40 tahun tadi bisa balik modal, kemudian hal itu jadi justifikasi untuk minta subsidi harga tiket misalnya,” kata Eko melalui sambungan telepon, “kalau sudah begini, negara nombok lagi dong.”
Oktober tahun lalu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengumumkan adanya pembengkakan anggaran proyek kereta cepat karena penghitungan studi kelayakan yang tidak akurat terutama pada potensi perubahan kondisi geologis dan geografis, serta kenaikan harga tanah.
Awalnya, proyek KCJB diperkirakan memakan biaya sekitar U.S.$6,1 miliar atau berkisar Rp87 triliun, dengan alokasi U.S.$4,8 miliar untuk komponen EPC dan U.S.$1,3 miliar untuk non-EPC (di luar perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan konstruksi).
Pada revisi pembiayaan akibat pembengkakan tersebut, biaya komponen EPC dalam proyek KCJB meningkat menjadi U.S.$8 miliar dan non-EPC menjadi U.S.$2 miliar.
Dalam upaya menutupi pembengkakan biaya tersebut, pemerintah pada November memutuskan untuk mengambil sekitar Rp4,3 triliun anggaran negara demi mempercepat penyelesaian megaproyek itu.
Keputusan itu diikuti dengan merevisi Peraturan Presiden yang mengatur larangan penggunaan APBN dalam proyek KCJB.