Kekerasan Terhadap Jurnalis Masih Sering Terjadi di Papua

Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura mencatat sedikitnya 65 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Papua dan Papua Barat dalam lima tahun terakhir.
Victor Mambor
2017.05.01
Jayapura
170501_ID_PapuaWPFD_1000.jpg Jurnalis Prancis, Valentine Bourrat (kiri) dan Thomas Dandois (tengah) didampingi penerjemah mereka dalam persidangan mereka di Jayapura pada 20 Oktober 2014. Keduanya dituduh menyalahgunakan izin visa karena secara ilegal membuat dokumenter gerakan separatis di Papua untuk sebuah kanal TV di Eropa.
AFP

Saat 1.500 lebih jurnalis dari 100 negara berkumpul di Jakarta untuk memulai rangkaian kegiatan World Press Freedom Day (WPFD) 2017 dimana Indonesia menjadi tuan rumah, Senin, 1 Mei 2017, seorang wartawan di Sentani, Papua, ditangkap dan dipukul polisi saat meliput sebuah unjuk rasa.

Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi, sebuah media lokal, ditangkap saat meliput demonstrasi damai Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi yang memperjuangkan referendum untuk rakyat Papua, yang berunjuk rasa memperingati masuknya Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963.

Yance mengaku sudah berupaya menjelaskan dirinya sebagai jurnalis yang meliput aksi kepada polisi namun tak digubris aparat.

“Saya  baru mau kasih lihat surat tugas pada mereka (polisi), mereka sudah ayunkan tangan, laras senjata dan tongkat duluan kepada saya,” jelas Yance.

Bersama pendemo lain, ia diangkut ke kantor Polres Jayapura di Sentani. Yance dipukuli di bagian wajah, punggung, tangan dan kaki. Akibatnya punggung lembam dan bibirnya pecah, aku Yance.

Kapolres Jayapura, AKBP Gustav Urbinas, membenarkan Yance ikut diamankan, namun membantah Yance mengalami luka akibat dipukul anggotanya.

"Tidak ada luka. Dia bergabung dengan mereka (demonstran). Dia tidak menggunakan kartu pers. Setelah sampai di dalam baru dia mengaku wartawan. Kemudian dicek tidak ada Id Card. Yang ada hanya surat tugas yang discan. Ia langsung dipulangkan," jelas Gustav.

Pemimpin redaksi Koran Jubi, Dominggus Mampioper, kepada BeritaBenar mengatakan Yance sempat ditahan polisi selama empat jam.

“Yance wartawan baru di Jubi. Kebijakan kami, wartawan baru belum diberikan ID Card, hanya surat tugas. Fungsinya sama. Media lain juga begitu. Memang dia kami tugaskan meliput aksi KNPB,” kata Mampioper.

Kekerasan dan intimidasi

Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis masih sering terjadi di Papua. Selama lima tahun terakhir, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura mencatat sedikitnya 65 kasus kekerasan dan intimidasi terjadi terhadap jurnalis di provinsi Papua dan Papua Barat.

Rincian kasus kekerasan tersebut adalah sebanyak 12 kasus terjadi pada 2012, 20 kasus tahun 2013, 18 kasus tahun 2014, lima kasus tahun 2015, dan 10 kasus pada 2016. Tak ada satupun dari kasus tersebut yang diproses hukum.

Malah, Jumat pekan lalu, tiga jurnalis Papua sempat diancam dibunuh oleh orang-orang tak dikenal saat meliput sidang sengketa Pilkada di Pengadilan Negeri Wamena, Jayawijaya.

Seorang dari tiga korban ancaman itu, Richardo Hutahaean, mengaku mereka tak hanya diancam, tapi juga sempat disekap.

“Kamera saya dirampas dan rekaman dihapus secara paksa. Mereka mengusir kami dari ruang sidang, sehingga kami harus mengamankan diri keluar pengadilan,“ jelas Richardo yang juga Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Papua.

Dia dan kedua rekannya sudah melaporkan ancaman pembunuhan tersebut ke Polres Wamena di Jayawijaya.

Pihak kepolisian Papua belum memberikan keterangan mengenai langkah yang diambil setelah ketiga wartawan melapor ke Polres Wamena. Ketika dikonfirmasi, baik Kapolda Papua, Irjen Pol Boy Rafli Amar, maupun Kabid Humas Polda Papua, tidak memberikan jawaban.

Fabio Lopez Dacosta, kordinator Divisi Advokasi AJI Jayapura, berharap agar jurnalis yang mengalami tindak kekerasan melaporkannya pada polisi. Jika kekerasan dilakukan polisi, sebaiknya dilaporkan ke bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Papua untuk ditindaklanjuti.

"Tak boleh menggunakan aksi kekerasan untuk membatasi kegiatan jurnalistik seorang wartawan. Gunakan cara persuasif untuk menanyakan identitas wartawan tersebut," kata Fabio.

Akses jurnalis asing

Samuel Tabuni, Direktur Papuan Language Institute yang juga seorang aktivis baru-baru ini menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo, yang salah satu isinya adalah kecamannya terhadap pembatasan jurnalis asing ke Papua.

"Saya sangat kecewa, media internasional yang saya undang tidak bisa masuk ke Papua karena berbagai kesulitan terkait masalah keimigrasian yang rumit saat mereka tiba di Jakarta," tulis Samuel dalam surat tertanggal 26 April 2017 itu.

Dia mengaku beberapa waktu lalu mengundang berbagai media lokal, nasional bahkan internasional untuk datang ke Papua menghadiri peresmian lembaga pendidikan bahasa yang didirikannya. Namun tidak ada satupun media asing yang diundangnya bisa sampai di Papua.

Berkaitan dengan ini, Gubernur Papua, Lukas Enembe berpandangan tidak seharusnya jurnalis asing dibatasi untuk meliput di Papua. Menurutnya, wartawan asing juga harus melihat secara langsung kemajuan apa yang terjadi di Papua.

“Para wartawan asing harus melihat kemajuan yang terjadi di Papua. Tidak boleh kita tutupi. Kalau kita buka, mereka akan melihat perubahan luar biasa terjadi di Papua,” kata Enembe.

Human Righs Watch (HRW), sebuah lembaga hak asasi manusia internasional menilai Pemerintah Indonesia masih membatasi akses para wartawan asing untuk melakukan liputan di Papua.

“Pembatasan dengan alasan ‘keamanan’ terkesan dibuat-buat padahal 10 Mei 2015 lalu Presiden Jokowi mengumumkan wartawan asing yang telah terakreditasi memiliki akses tanpa hambatan ke Papua,” tulis HRW dalam rilisnya menjelang penyelenggaraan WPFD 2017.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.