Indonesia, Dunia Islam Serukan Kekhawatiran atas Kebijakan Imigrasi Trump
2017.02.03
Jakarta dan Kuala Lumpur

Kebijakan Amerika Serikat (AS) melarang warga negara dari tujuh negara Muslim memasuki AS sebagai langkah keamanan dapat membahayakan upaya kontra-terorisme, demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia pekan ini, sementara Malaysia sedang mengklarifikasi dampak dari kebijakan tersebut bagi warganya.
Kedua negara Asia Tenggara itu tidak termasuk dalam daftar negara yang dilarang.
Perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pekan lalu memberlakukan larangan selama 90 hari bagi warga tujuh negara - Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman - memasuki AS, juga menangguhkan penerimaan pengungsi dari seluruh dunia setidaknya selama 120 hari, dan pelarangan masuknya pengungsi Suriah ke AS hingga waktu yang tidak ditentukan.
“Meskipun ini adalah hak berdaulat Amerika Serikat, namun Indonesia sangat menyesalkan dikeluarkannya kebijakan tersebut, karena diyakini akan berdampak negatif terhadap upaya global untuk memerangi terorisme dan penanganan isu pengungsi,” demikian juru bicara Kemlu Arrmanatha Nasir, melalui pesan singkat kepada BeritaBenar.
“Merupakan hal yang salah untuk mengaitkan radikalisme dan terorisme dengan agama tertentu,” tambahnya.
Sementara Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan Indonesia tidak perlu khawatir dengan larangan tersebut.
“Kita tidak terkena dampak dari kebijakan itu, kenapa resah?" ujarnya dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Indonesia dan Malaysia, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyuarakan kekhawatiran mereka atas kebijakan AS tersebut yang dilihat sebagai diskriminasi terhadap umat Islam.
Selektif dan diskriminatif
OKI menyerukan kepada pemerintahan Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, menilai bahwa kebijakan itu akan "memperumit pengungsi yang sudah menghadapi tantangan yang sudah demikian sulit."
"Tindakan selektif dan diskriminatif seperti itu hanya akan menyebabkan memperkuatnya radikalisme kaum ekstrimis yang akan menjadi bahan bakar para pendukung kekerasan dan terorisme di saat yang kritis ketika OKI telah terlibat dengan semua mitranya, termasuk Amerika Serikat, untuk memerangi ekstremisme dan terorisme dalam segala bentuknya,” demikian pernyataan organisasi Muslim dunia tersebut, hari Selasa.
Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB yang baru, memiliki pandangan yang sama. Ia menyerukan AS untuk mencabut larangan tersebut.
"Langkah-langkah tersebut telah melanggar prinsip-prinsip dasar kita dan saya pikir itu tidak efektif jika tujuannya adalah untuk, benar-benar, menghindari teroris masuk ke Amerika Serikat," katanya kepada wartawan, Rabu, seperti dikutip di AFP.
Mengejar ekstrimis
Pemerintahan Trump membela kebijakan itu dengan mengatakan itu tidak menyasar umat Islam namun bertujuan untuk menghentikan teroris asing atau penjahat masuk ke AS.
"Konsekuensinya, extreme vetting (pemeriksaan ekstrim) ini akan semakin meningkatkan radikalisme di dalam negeri Amerika sendiri,” ujar pengamat terorisme, Rakyan Adibrata.
“Negara bertindak secara otoriter dan ini jadi justifikasi bagi negara-negara yang dari awal sudah benci Amerika, untuk tambah benci pada Amerika, terlepas ternyata banyak penolakan terhadap kebijakan ini di Amerika."