Kebut Penyelesaian Kasus HAM Lewat Non-Yudisial, Pemerintah Dikritik

Arie Firdaus
2016.01.11
Jakarta
ham-1000 Maria Catarina Sumarsih, ibu mahasiswa korban penembakan Semanggi I memegang foto almarhum putranya, Wawan, dalam protes menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di depan gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, 12 Mei 2008.
AFP

Tekad pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM)  di masa lalu lewat mekanisme non-yudisial, atau tak melalui jalur hukum, sebelum penghujung 2016 menuai respons negatif dari beragam pihak. Pemerintah dinilai tak berpihak kepada korban dan keluarga korban.

"Gagasan itu (non-yudisial) justru membuka ruang impunitas bagi para pelaku, kata Direktur Imparsial, LSM perlindungan HAM,  Al Araf kepada BeritaBenar, Senin, 11 Januari.

"Padahal, korban dan keluarga korban sudah menunggu keadilan bertahun-tahun."

Pernyataan Al Araf itu didukung Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang menjadi korban peristiwa Semanggi I pada 1998. Menurut Sumarsih, opsi penyelesaian non-yudisial akan menjadi preseden buruk penyelesaian masalah HAM di Indonesia di masa mendatang.

Sumarsih pun tegas meminta pemerintah tetap membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia. "Jangan kami dihubungkan dengan dendam rasa puas atau tak puas," ujarnya kepada BeritaBenar.

Merujuk pada aturan, kata Sumarsih, pemerintah seharusnya dengan mudah bisa membentuk Pengadilan HAM, jika pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki keseriusan menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu. Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Nyatanya, lanjut Sumarsih, pemerintah malah cenderung mengabaikan aturan tersebut. "(Ini) menunjukkan bahwa penegakan HAM kita ternyata masih rendah," ujar Sumarsih lagi.

Tegaskan penyelesaian non-yudisial

Sebelumnya penuntasan pelanggaran kasus-kasus HAM di masa lalu lewat jalut non-yudisial itu dilontarkan Menteri Koodinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Selasa pekan lalu. Menurut Luhut, mekanisme non-yudisial alias tak melaui proses hukum ditempuh agar kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu segera tuntas dan tak berlarut-larut.

"Sehingga generasi muda Indonesia tak menanggung beban masa lalu," kata Luhut, seperti dikutip dari laman Kompas.com.

"Kalau yudisial, tak akan ketemu nanti penyelesaiannya. Alat buktinya di mana?"

Sedangkan Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya juga mengatakan bahwa rekonsiliasi adalah satu-satunya solusi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Presiden Jokowi memang berkeinginan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebelum penghujung  2016. Tak tanggung-tanggung, ia mematok waktu enam bulan untuk menuntaskan beragam kasus pelanggaran HAM yang ada.

Hanya saja, Presiden Jokowi tak memerinci kasus-kasus pelanggaran HAM mana saja yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Yang pasti, kata Presiden, ia telah menugaskan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Intelijen Negara untuk menggodok teknis penyelesaiannya.

"Saya tak melihat kasus tahun berapa. Pokoknya, selesaikan satu-satu pada tahun ini," kata Joko Widodo.

Jangan terburu-buru

Dihubungi terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, meminta pemerintah tak terburu-buru menuntaskan pelanggaran HAM di masa lampau. Apalagi, dengan mudah memutuskan mekanisme non-yudisial sebagai opsi penyelesaian masalah, supaya kasus-kasus pelanggaran HAM bisa selesai dalam enam bulan.

"Penyelesaian pelanggaran HAM itu adalah kewajiban negara yang harus dituntaskan dengan baik dan benar. Jangan menjadi semacam sedekah untuk korban dan keluarganya," kata  Haris Azhar.

“Bukan tak ingin ini semua selesai. Tapi jika terburu-buru, saya khawatir akan jadi proses yang miskin keadilan dan gagal memberikan kepuasan, baik dalam proses maupun substansi hukum. Hanya karena mau cepat, tapi aspek keadilan dan kebenaran jadi hilang."

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum jelas muaranya sampai saat ini, antara lain, penghilangan dan penyiksaan pada 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, kasus Tanjung Priok pada 1984, peristiwa Talangsari Lampung pada 1989, kerusuhan dan penghilangan paksa pada 1997-1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II pada 1998, dan pembunuhan di Wasior Wamena, Papua, pada 2001.

Khusus untuk tragedi Semanggi I-II dan Trisakti, pemerintah sebenarnya sempat meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menginvestigasi kasus-kasus tersebut. Komisi pun telah menyusun laporan dan menyerahkannya kepada pemerintah pada tahun 2002. Namun investigasi itu tak pernah ditindaklanjuti Kejaksaan Agung sampai saat ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.