Kemlu panggil Dubes Inggris terkait pengibaran bendera LGBT yang menuai kontroversi
2022.05.23
Jakarta

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada Senin (23/5) memanggil Duta Besar Inggris untuk Indonesia guna memprotes pengibaran bendera pelangi yang identik dengan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Foto pengibaran bendera yang diunggah kedutaan Inggris di Instagram @ukinindonesia pada Rabu pekan lalu untuk memperingati Hari International Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia itu memantik protes dari beragam kalangan Muslim dan politisi.
"(Dubes Inggris) sudah dipanggil dan diterima pejabat Kementerian Luar Negeri siang tadi," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, tanpa merinci apa isi pembicaraan Duta Besar Inggris Owen Jenkins dan pihak kementerian.
Pemerintah dalam pertemuan tadi menyatakan bahwa Kedutaan Besar Inggris telah bersikap “sangat tidak sensitif” dengan mengibarkan bendera pelangi dan mempostingnya di media sosial.
“Perwakilan asing semestinya menghormati nilai budaya, agama, dan kepercayaan yang berlaku di Indonesia," kata Faizasyah kepada BenarNews.
Sementara sejumlah kelompok agama dan pengamat menilai sikap Kedutaan Inggris dapat memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
Hanya saja, Faizasyah tidak menjabarkan tanggapan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta terkait keberatan Indonesia.
Ia hanya mengatakan bahwa Duta Besar Owen Jenkins diterima sejumlah pejabat kementerian pada Senin siang.
BenarNews menghubungi Juru Bicara Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Faye Belnis, terkait hasil pertemuan, tapi tak beroleh balasan.
Dalam keterangan foto yang diunggah di media sosial, Kedutaan Besar Inggris menyatakan bahwa pengibaran bendera adalah wujud dukungan mereka terhadap kampanye antidiskriminasi terhadap kelompok LGBT.
"Inggris menilai hak-hak LGBT+ adalah hak asasi manusia yang fundamental... Setiap orang di mana pun harus bebas mencintai dan mengekspresikan diri tanpa rasa takut akan terjadi kekerasan dan diskriminasi," demikian tertulis pada keterangan foto.
Novel Bamukmin, Wakil Sekretaris Jenderal Presidium Alumni 212, gerakan kelompok Islam konservatif yang berpengaruh, saat dihubungi mendesak Kedutaan Besar Inggris untuk meminta maaf karena telah mengibarkan bendera LGBT di Indonesia.
"Pemerintah harus bersikap tegas jika itu tidak dilakukan. Kalau perlu memutus hubungan diplomatik atau mengusir perwakilannnya dari Indonesia," ujar Novel.
Organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah mengatakan, pemerintah Inggris semestinya memahami falsafah Pancasila di Indonesia yang menghormati nilai-nilai agama.
"Tidak satu pun dari enam agama yang diakui di Indonesia menolerir LGBT, apalagi Islam sebagai agama mayoritas," kata Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas dalam keterangan tertulis.
"Muhammadiyah sangat menyesalkan sikap Kedubes Inggris yang tidak menghormati Indonesia dengan mengibarkan bendera LGBT," tambahnya.
Berbeda dengan Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), menilai pengibaran bendera LGBT sebagai hak Kedutaan.
"Urusan mereka, bukan urusan kita," ujar Ketua Umum NU Yahya Cholil Staquf, dikutip dari Tribunnews.
Polemik terkait pengibaran benderan LGBT di Kedutaan Besar Inggris ini berselang sekitar dua pekan usai kegaduhan akibat konten wawancara selebriti Deddy Corbuzier dengan pasangan gay Indonesia-Jerman di YouTube yang menerima kecaman netizen terutama dari kaum Muslim konservatif dan sebagian pejabat.
Deddy belakangan meminta maaf dan menghapus video wawancara tersebut, tindakan yang oleh banyak aktivis hak asasi manusia dinilai sebagai ketertundukan terhadap prilaku diskriminatif kelompok konservatif dan para politisi yang disebut mengambil keuntungan dari isu kontroversioal LGBT, kaum yang keberadaannya sebagian besar ditolak di Indonesia.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kepada BenarNews mengatakan langkah kementerian luar negeri yang segera memanggil Duta Besar Inggris adalah tepat.
"Pemanggilan itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak membiarkan kedutaan asing untuk tidak menghormati nilai-nilai yang berlaku di Indonesia," kata Hikmahanto.
Namun begitu, Hikmahanto meminta Kementerian segera memaparkan hasil pemanggilan kepada publik demi mencegah kegaduhan berlanjut.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menambahkan, Kedutaan Besar Inggris semestinya bersikap lebih hati-hati dan lebih dalam menganalisa kondisi sosial politik Indonesia sebelum mengampanyekan suatu hal.
Perihal itu, terang Rezasyah, juga sejalan dengan Pasal 3 ayat Konvensi Wina 1961 yang memuat bahwa diplomasi semestinya mempromosikan hubungan persahabatan serta mengembangkan hubungan ekonomi, budaya, dan ilmiah.
"Mereka semestinya paham bahwa Indonesia menangani masalah LGBT dengan sangat berhati-hati," ujar Rezasyah kepada BenarNews.
"Sudah puluhan tahun berhadapan dengan Indonesia, tapi masih tidak memahami sensitivitas masyarakat Indonesia."
Rezasyah menilai, tindakan Kedutaan Besar Inggris kemarin sejatinya dapat pula memicu kelompok garis keras untuk melancarkan aksi guna menaikkan pamor di tengah masyarakat yang ujungnya bisa mengganggu stabilitas nasional.
"Tindakan kemarin bisa memancing kelompok garis keras untuk menaikkan pamor mereka dan menciptakan konflik horizontal baru di Indonesia," ujar Rezasyah lagi.
Selain di Aceh yang merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum Syariah dan mengkriminalisasi prilaku LGBT, keberadaan kaum gay, lesbian dan transgender di daerah lain di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang melanggar hukum.
Namun demikian kaum marginal ini terus menjadi sasaran diskriminasi di masyarakat, termasuk dari sejumlah kelompok konservatif dan politisi yang terus berupaya melegalkan kriminalisasi terhadap pelaku LGBT.