Modernisasi Alutsista dalam 3 Tahun, Kemhan Ajukan Rp1.760 Triliun
2021.06.03
Jakarta

Keterbatasan jumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk menghadapi ancaman militer seperti pelanggaran wilayah perbatasan dan intervensi asing menjadi alasan Kementerian Pertahanan mengajukan anggaran belanja pertahanan hingga Rp1.760 triliun yang bakal dialokasikan hingga 2024, demikian juru bicara Menteri Pertahanan pada Kamis (3/6).
Kementerian menyebut rencana belanja yang dilakukan secara langsung pada periode ini bakal meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam mendapatkan alat pertahanan dengan harga yang terjangkau.
“Selain itu, karena investasi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dapat dipastikan semua alat yang dibelanjakan bisa bekerja sama atau compatible dengan satu lainnya,” kata Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, melalui akun Twitter-nya.
“Seperti beli rumah, kita tidak bisa mencicil pekerjaan fisik selama 25 tahun karena kita perlu segera menggunakan rumah yang kita beli. Yang kita cicil adalah pembayarannya dengan kredit kepemilikan,” katanya.
Dahnil tidak memerinci model dan jumlah alutsista yang diincar Indonesia melalui rencana belanja itu. Pihaknya hanya mengatakan kementerian memprioritaskan investasi untuk peningkatan kemampuan intelijen, pengamanan wilayah perbatasan dan pulau kecil, sistem pertahanan udara nasional dan satuan peluru kendali strategis.
Kebijakan strategis kementerian menyebut beberapa ancaman yang dihadapi militer Indonesia meliputi pelanggaran wilayah perbatasan/intervensi asing, separatisme, radikalisme hingga terorisme. Selain itu, juga terdapat ancaman non-militer seperti perompakan, siber, spionase, hingga serangan senjata biologis.
“Sebagian besar alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan) sudah berusia tua dan tidak beroperasi optimal. Bekal pokok prajurit tidak cukup untuk bertempur dalam waktu lama,” katanya.
Sumber pendanaan akan berasal dari pinjaman luar negeri untuk mengurangi beban negara dan tidak mengganggu prioritas belanja lainnya, lanjut Dahnil.
“Opportunity cost-nya tidak mengganggu prioritas belanja lain, dengan asumsi anggaran Kementerian Pertahanan konsisten di 0,8 persen terhadap PDB selama 25 tahun ke depan. Dengan model ini, maka kita hanya belanja alutsista kembali pada Restra kelima, yakni 2044,” katanya.
Rencana pembelian alutsista tertuang dalam dokumen Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan dan TNI tahun 2020-2024.
Dalam salinan dokumen yang didapat BenarNews, disebutkan kementerian berencana mengajukan pinjaman hingga $124,9 miliar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp1.760 triliun, yang lebih dari separuhnya bakal dialokasikan untuk pembelian alutsista, sisanya adalah anggaran pembayaran bunga dan pemeliharaan.
Dinamika
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak membantah saat ditanya tentang usulan anggaran Rp 1.700 triliun dalam draf perpres beredar di kalangan publik dalam beberapa hari terakhir.
“Kok tahu kamu?” tanya Prabowo kepada wartawan sebelum rapat dengan Komisi I DPR, Rabu.
Dia mengatakan rencana belanja ini masih dalam tahap pembahasan bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan dan pemangku kepentingan lainnya.
“Banyak alutsista kita sudah tua, sudah saatnya memang mendesak untuk diganti. Kebutuhannya sangat penting untuk menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat,” kata Prabowo kepada wartawan usai rapat dengan Komisi I DPR.
Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan Mayjen Rodon Pedrason kepada CNNIndonesia.com, mengatakan pihak yang kemungkinan bakal memberi pinjaman kepada pemerintah untuk pembelian alutsista adalah negara-negara yang memiliki hak veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Yang meminjamkan justru negara-negara yang punya hak veto di PBB, yang diyakini tidak akan membiarkan Indonesia sendirian di dunia internasional,” kata Rodon, Senin.
Sejak menjabat pada 2019, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan sejumlah diplomasi pertahanan ke berbagai negara mitra, termasuk AS, Rusia, Korea Selatan dan Perancis, untuk kerja sama pengadaan alutsista.
Bulan lalu, Prabowo berada di Seoul, Korea Selatan, untuk menghadiri peluncuran prototipe pertama proyek kerja sama pengembangan pesawat tempur generasi baru KF-X/IF-X.
Indonesia menunggak pembayaran cicilan hingga U.S.$420 juta atau sekitar Rp6,2 triliun sebagai bagian dari patungan Indonesia dalam proyek pengembangan jet senilai lebih dari Rp100 triliun itu. Belum ada kejelasan apakah Indonesia bakal melanjutkan kerja sama tersebut atau tidak.
Di sisi lain, rencana pembelian 11 Sukhoi Su-35 dari Rusia juga terkendala aturan AS. Sementara pada Februari, kementerian mengisyaratkan rencana pembelian 36 Dassault Rafale dari Prancis dan F-15EX buatan Boeing di AS akan segera direalisasikan secara bertahap hingga 2024.
Transparansi
Peneliti militer senior Marapi Consulting & Advisory, Beni Sukadis, mengatakan akuntabilitas serta transparansi dari Kementerian Pertahanan terkait penggunaan anggaran tersebut lebih penting dari besaran nilainya.
“Percuma kalau bicara angka tanpa ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran untuk pengadaan alutsista,” kata Beni kepada BenarNews.
Beni menilai kementerian perlu membuka kepada publik perihal model dan jumlah alutsista apa saja yang ingin dibeli untuk melihat apakah alokasi anggaran ini sesuai dengan kebutuhan dilihat dari ancaman keamanan dan situasi geopolitik terkini.
“Proses penyiapan kontrak hingga delivered ke user untuk alutsista bisa makan waktu 3-5 tahun, bahkan 10 tahun, tergantung alutsistanya apa yang dibeli. Jangan-jangan angka itu memang untuk membelanjakan selama 10 tahun ke depan, sehingga lebih masuk akal,” katanya.
Connie Rahakundini Bakrie, seorang analis militer dari Universitas Indonesia, mengkritisi rencana itu yang disebutnya sebagai tidak transparans.
“Budget pertahanan dengan jumlah seperti ini, dalam tiga tahun, apa yang mau kita beli? Kita perang dengan siapa? ujarnya kepada BenarNews.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik Rachbini mengingatkan pemerintah atas risiko utang luar negeri yang bakal membengkak dari rencana belanja ini, terutama saat ini k
Didik mengatakan situasi pandemi COVID-19 yang menghambat kinerja ekonomi karena pembatasan mobilitas membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berada dalam situasi yang tidak ideal.
“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” kata Didik melalui pernyataan tertulis, Kamis.
Pada 2020, negara memiliki kewajiban membayar utang pokok dan bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah sebesar Rp772 triliun. “Pembayaran utang dari kantong APBN ini ke depan bisa bergerak cepat menuju Rp1.000 triliun dalam waktu yang tidak terlalu lama,” katanya.